Chereads / Wedding Agreement With CEO (Indonesia) / Chapter 5 - Kemarahan Lucas

Chapter 5 - Kemarahan Lucas

Lucas berhasil dibuat meradang, sehingga membuat semua orang yang ada di ruangan itu terlihat ketakutan.

"Lepaskan! kenapa kau masih berdiri di situ?" Ellena yang melihat kilat kemarahan dari wajah Lucas, segera bergegas menuju ruang ganti.

"Di mana pemilik butik ini?" tanya Lucas kepada mereka yang berada di ruangan itu.

"Be-beliau sedang menghadiri acara Fashion show di luar negri, Pak." Merry menjawab dengan nada sedikit bergetar, dia bahkan tidak berani untuk menatap wajah Lucas.

"Katakan padanya, carikan aku gaun pengantin yang terindah. Bila perlu ambil gaun rancangan disainer internasional. Dua hari lagi aku akan kembali lagi ke sini. Aku harap kalian tidak akan mengecewakanku!" Lucas segera pergi, setelah Ellena selesai mengganti pakaiannya.

Ellena hanya bisa pasrah saat lucas menarik tangannya dan membawanya pergi dari butik itu.

Lucas mengendarai mobil dengan kecepatan penuh, sehingga membuat Ellena yang berada di sampingnya terlihat ketakutan. Dia tidak tahu apa yang membuat Lucas begitu marah.

Saat tiba di sebuah jalan yang begitu sepi, Lucas menepikan mobilnya dengan tiba-tiba. Hal itu membuat Ellena sangat terkejut.

"Aarrgh, sialan!" Lucas terlihat beberapa kali memukulkan tangannya pada setir mobil di hadapannya.

"Pak, cukup! Tangan Anda ...." Ellena mencoba menghentikan, begitu dia melihat tangan Lucas sudah memerah karna hantaman yang disengaja itu.

"Jangan menyentuhku!" Bentakknya.

Lucas menepis kasar tangan Ellena yang baru akan menyentuh tangannya. Sontak membuat Ellena mengaduh karena tepisan yang sangat kuat.

"Jangan pernah menyentuhku, tanpa ijin dariku!" Mata itu masih menunjukan kilat kemarahan.

Ellena membeku, tidak berani menatap wajah pria di sampingnya. Dia memalingkan wajah saat sadar ada kristal bening yang menetes dari sudut matanya. Dengan segera dia menyekanya.

"Aku akan mengantarmu pulang." Lucas kembali mengemudikan mobilnya, setelah dia berhasil melampiaskan kemarahannya.

Setelah tiga puluh menit perjalanan, Ellena membuka suara. "Terima kasih, Pak."

"Motormu akan diantarkan langsung ke rumahmu, berikan alamatnya padaku." Lucas masih fokus dengan kemudinya.

Ellena terlihat mengambil secarik kertas dan bolpoin dari dalam tas selempang miliknya.

"Saya berhenti di Halte depan saja, Pak," pinta Ellena menunjuk sebuah halte bus.

"Apa kau yakin?" Lucas menatap gadis disampingnya yang masih tertunduk.

"Iya, Pak. Bukankah masih banyak urusan yang harus Anda lakukan? Anda hanya akan membuang waktu berharga, jika mengantarkan saya." Jawaban Ellena kali ini cukup membuat Lucas terperangah.

"Terima kasih atas kebaikan Bapak." Ellena menyerahkan secarik kertas yang berisikan alamat tempat tiggalnya pada Lucas.

Lucas masih memperhatikan gadis yang tengah berjalan makin jauh dari mobilnya itu.

Lucas segera melajukan mobilnya kembali, karena ada sesuatu yang harus segera dia selesaikan. Dia tampak memasang handsfree di telinganya, lalu menghubungi seseorang melalui saluran telepon.

"Ganti barangnya dengan yang baru. Antarkan sekarang juga ke alamat yang baru saja kukirimkan!" pinta Lucas kepada seseorang di seberang sana.

Sementara itu, Ellena pergi ke sebuah taman kota yang tidak jauh dari halte bus, ketika menyadari mobil Lucas yang telah pergi jauh dari hadapannya. Dia sengaja tidak lagsung pulang menuju rumah indekostnya. Dia pikir, dia butuh waktu untuk merenungi apa yang baru saja terjadi kepadanya.

"Ya, Tuhan, Apakah aku harus bersyukur atas semua ini?" lirihnya.

Belum sempat Ellena mengakhiri lamunannya, tiba-tiba dering ponsel membuatnya tersentak. Ellena segera meraih benda pipih itu dari dalam tasnya. Entah dia harus sedih atau bahagia, ketika melihat nama Kekasihnya yang tertera di layar ponsel itu.

"Hallo, Ken!" sapa Anna kepada Keenan yang jauh di sana.

"Hallo, Sayang, apa kau baik-baik saja? Apa kau terlalu sibuk, sehingga lupa untuk menghubungiku?" cerocos Keenan seraya melontarkan beberapa pertanyaan.

"Iya, aku baik-baik saja. Maaf, tadi aku kesiangan, jadi aku tidak sempat menghubungimu, karena harus langsung pergi ke kantor," imbuhnya berusaha menjawab segudang pertanyaan dan keluhan kekasihnya.

"Kau tahu? Aku begitu mengkhawatirkanmu. Entah kenapa perasaanku tidak enak, seharian ini tidak berhenti memikirkanmu, apa kau sungguh baik-baik saja?" ucap Keenan kembali memastikan.

"Tentu, aku baik-baik saja. Maaf sudah membuatmu khawatir. Emm ... sepertinya kita harus segera mengakhiri obrolan kita, ada beberapa pekerjaan yang harus segera kuselesaikan," ujar Ellena yang jelas berbohong.

"Kau tidak merindukanku?" protes Keenan.

"Aku sangat merindukanmu, tapi—"

"Oke, aku mengerti. Jagalah kesehatanmu, jangan terlalu lelah bekerja. Aku pasti akan merindukanmu. Love you. Bye, Honey," potong Keenan yang sontak membuat Ellena seketika menerbitkan senyumannya.

Satu hal yang Ellena kagumi dari Keenan bahwa pria itu selalu bersikap lembut kepadanya dan selalu meberi perhatian yang membuatnya seolah-olah menjadi bagian terpenting dalam hidup Keenan. Dia tentu sangat bahagia memiliki kekasih yang baik seperti Keenan. Namun, makin lama berbicara dengan Keenan, makin besar pula rasa bersalah yang dia rasakan. Dia masih belum siap untuk menjelaskan semua yang baru saja terjadi kepada Keenan, meskipun dia sangat ingin bercerita.

Ellena menarik napas dalam, setelah memutuskan sambungan teleponnya.

"Maafkan aku, Ken, ini tidak akan lama, dan aku akan segera kembali padamu," lirihnya.

Tidak lama setelah dia kembali meletakkan ponselnya di dalam tas, benda itu kembali berdering. Lagi-lagi Ellena tidak bisa melanjutkan kegiatan merenungnya.

"Ellenaa!" Teriakan seseorang seketika memekakkan telinga Ellena, sehingga membuatnya seketika menjauhkan ponselnya dari telinga. Setelah dia rasa sudah cukup aman, dia kembali menempelkan benda pipih itu di teinganya.

"Ada apa, Filia?" kenapa harus berteriak seperti itu, tidak bisakah kau berbicara pelan-pelan?" jawab Ellena.

"Elle, kau di mana sekarang?" tanya Filia.

"Aku di tempat kerja, Filia."

"Bohong! Cepat pulang sekarang juga, Elle! Aku tahu kau tidak sedang di tempat kerja. Kau baik-baik saja, kan?"

"Iya, aku baik-baik saja," jawab Ellena sambil melihat pergelangan kakinya yang terlihat sedikit bengkak.

"Aku tidak mau tahu, kau pulang sekarang juga! Aku tunggu!" tegas Filia, lalu segera mengakhiri obrolan mereka.

"Ya, Tuhan, ada apa dengannya," desis Ellena sambil menatap layar ponselnya.

Ellena terlihat bingung, dari mana temannya tahu bahwa dia tidak sedang berada di kantor. Apa mungkin bosnya di kantor menghubungi Filia untuk menanyakan keberadaannya? Namun, bukankah Lucas sudah mengijinkannya untuk pulang? Pikirnya.

Ellena telihat gelisah, dia pun segera memesan taxi online untuk mengantarnya pulang.

Sepanjang perjalanan Ellena tampak tidak tenang. Tentu dia terpikirkan dengan motor Filia. Entah bagaimana dia harus menjelaskan kepada Filia tentang motor yang sudah dia rusak karena kecelakaan itu. Walaupun Lucas mengatakan akan mengurus semua, tetap saja dia bingung. Namun, begitu sampai di rumah indekost, Ellena di kejutkan oleh sebuah motor baru yang sama persis dengan motor milik temannya yang sudah terparkir di depan.

"Motor siapa ini? Kenapa mirip sekali dengan motor Filia?" batinnya saat itu