Ellena tampak berdiri di ambang pintu rumah kostnya. Dia hendak berangkat ke kantor, tetapi tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Tampak sebuah panggilan dari nomor tidak dikenal. Ellena mengabaikannya, tetapi ponsel itu terus saja berdering.
"Halo."
Ellena terpaksa menerima panggilan dari nomor asing itu.
"Kenapa kau lama sekali mengangkat telepon dariku?"
Suara bariton yang sangat Ellena kenal, tampak berbicara dengan nada tinggi. Ya, dia adalah Lucas.
"Ma-maaf, Pak," desis Ellena sedikit gugup. "Memangnya ada apa?" tanyanya kemudian.
"Mulai hari ini, kau tidak perlu lagi datang ke kantor!" tegas Lucas.
"Tapi, Pak—"
"Besok asisten pribadiku akan menjemputmu jam tujuh pagi. Ada yang harus kita bicarakan tentang perjanjian itu," potong Lucas tidak memberi Ellena kesempatan berbicara.
Tanpa menunggu tanggapan dari Ellena, Lucas segera mengakhiri panggilan itu. Mulut Ellena yang baru saja ternganga akan menanggapi, tiba-tiba ditutupnya kembali
"Apakah semua orang kaya memang seperti itu? Selalu saja berbuat seenaknya, huh!" gerutu Ellena seraya menatap layar ponsel di tangannya.
"Siapa orang yang kau maksud?"
Suara tidak asing seketika membuat Ellena tersentak, lalu menoleh ke belakang. Entah sejak kapan Filia berdiri di sana.
"Filia?" Ellena tampak menatap datar wajah sahabatnya.
"Siapa orang yang baru saja kau bicarakan?" Filia menatap penuh curiga.
"Ahh, ti-tidak. Itu ... orang yang menagih utang kepadaku," jawab Ellena berbohong.
"Kau yakin?" Filia tampak mengernyitkan dahinya seolah-olah masih tidak percaya.
"Ya, tentu," jawab Ellena seraya menurunkan tatapannya, menghindari tatapan Filia.
Sikap Ellena tentu membuat Filia makin curiga. Filia menganggap bahwa Ellena sedang tidak serius dengan ucapannya, seakan-akan ada yang sedang disembunyikan oleh Ellena. Entah itu apa.
"Elle, kau tahu kita sudah berteman sejak lama?"
Pertanyaan Filia kali ini berhasil membuat Ellena mendongak, lalu menatap sayu wajah wanita di depannya.
"Tentu, Filia," lirih Ellena datar.
"Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?" Filia menatap penuh mengintimidasi.
"Ti-tidak ada, Filia." Lagi-lagi Ellena berbohong.
Filia sudah mengenal betul siapa sahabatnya. Entah kenapa sejak peristiwa kecelakaan itu terjadi, Ellena lebih sering menyendiri di kamar daripada berbicara dengannya. Hal itu membuat Filia merasa bahwa telah terjadi sesuatu kepada Ellena.
"Apa kau tidak sedang berbohong kepadaku?" tanya Filia memastikan.
"Aku? Berbohong? Mana mungkin aku berbohong padamu?" Ellena menunjuk wajahnya sendiri dan berusaha meyakinkan Filia.
"Baiklah, aku percaya. Kalau kau memang sedang membutuhkan bantuan, bicaralah padaku!" pinta Filia seraya melebarkan senyuman.
"Pasti, Filia. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku," jawab Ellena lirih.
"Baiklah. Ayo, kita berangkat!" Filia hendak melangkahkan kaki. Namun, melihat Ellena yang masih berdiam di tempat, membuat Filia mengurungkan niatnya.
"Filia, sepertinya aku tidak bisa pergi ke kantor sekarang." Ellena memasang wajah memelas.
Filia mengangkat sebelah alisnya seolah-olah merasa heran. "Kenapa? Ada masalah?"
"A-aku ...." Ellena menggantung perkataannya sejenak. "Kakiku masih terasa sakit," lanjutnya kemudian.
Untuk yang ke sekian kalinya Ellena berbohong. Ini tentu bukan keinginannya. Namun, dia juga tidak mempunyai pilihan lain. Untuk saat ini, biarkan saja seperti itu. Jika sudah waktunya nanti, dia akan menjelaskan semua masalahnya kepada Filia.
Bahkan bukan hanya Filia, ibunya pun belum tahu tentang masalah yang tengah dia hadapi. Sungguh dia masih belum memiliki keberanian untuk mengakui semuanya, kepada mereka orang-orang terdekatnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi dengan Ellena? Kenapa dia baru bilang, kalau kakinya masih sakit? Bukankah tadi jalannya terlihat baik-baik saja?" batin Filia saat itu.
Begitu banyak pertanyaan yang ada dalam benak Filia. Namun, entah kenapa semua pertanyaan itu seolah-olah tertahan di mulutnya. Di satu sisi dia ingin sekali percaya kepada Ellena, tetapi di sisi lain Ellena begitu mencurigakan menurutnya.
"Kau—"
"Sepertinya aku tidak bisa memaksakan kondisiku yang seperti ini. Aku takut kalau nantinya aku malah tidak fokus bekerja." Ellena memotong pembicaraan dan berusaha menghindari pertanyaan Filia.
"Sungguh?" Filia menatap penuh selidik.
"Apa aku terlihat sedang bercanda?" Ellenan bertanya balik.
Filia menghela napas. Dia makin yakin bahwa sedang terjadi sesuatu pada sahabatnya, meski sekeras apa pun Ellena menyembunyikan hal itu. Entah harus bagaimana caranya agar Ellena berkata jujur kepadanya.
"Baiklah, aku pergi sekarang. Bye, Elle."
***
"Elle, apa hari ini kau akan pergi bekerja?" teriak Filia sembari mengetuk pintu kamar Ellena.
Sudah Ellena duga sebelumnya, bahwa Filia akan menanyakan hal itu. Entah dia harus memberi alasan apa lagi kepada sahabatnya itu.
"Elle, kau mendengarku?" tanya Filia lagi, ketika Ellena tidak menjawab pertanyaan sebelumnya.
"Iya, Filia." Ellena yang masih duduk di atas kasurnya terpaksa menyahuti Filia. Bahkan, dia masih dalam kondisi memakai piyama.
"Baiklah, aku tunggu. Segeralah keluar, sekarang sudah hampir jam tujuh!" balas Filia.
Seketika Ellena menutup mulutnya dengan tangan, ketika mendengar ucapan terakhir Filia saat itu.
"Apa aku salah memberi jawaban?" ucap Ellena.
Entah Ellena atau Filia yang salah paham. Yang jelas, Ellena bermaksud menjawab pertanyaan kedua, sedangkan Filia tampak menganggap itu sebagai jawaban atas pertanyaannya yang pertama.
"Akh, ada apa denganku, kenapa aku begitu gugup menghadapinya?" Ellena mendesah frustrasi.
"Tapi, dia pasti curiga, kalau tahu aku tidak masuk kerja lagi."
"Apa aku katakan saja yang sebenarnya?"
"Ahh, tidak! Dia pasti akan syok mendengarnya."
"Tapi ... aku harus bagaimana?"
"Arrggh! Kenapa hidup kejam sekali padaku?" teriak Ellena makin frustrasi.
Meskipun Filia sudah pergi dari depan pintu kamar Ellena, tetapi dia masih bisa mendengar teriakan Ellena saat itu.
Filia yang baru saja akan mengolesi roti tawar dengan selai strawberry, langsung berlari menuju kamar Ellena. Segera diketuknya pintu kamar itu.
"Elle, apa kau baik-baik saja?" Filia tampak begitu khawatir dengan Ellena.
Ellena melirik ke arah pintu, lalu mendengus kasar.
"Aku baik-baik saja, Filia!" teriak Ellena, lalu berniat untuk bergegas ke kamar mandi.
"Lalu, kenapa kau ...."
Filia tidak melanjutkan perkataannya, ketika mendengar suara ketukan pintu dari luar. Entah siapa yang bertamu sepagi ini.
Akhirnya, Filia mengabaikan Ellena dan bergegas untuk membuka pintu itu.
"Selamat pagi, apa benar ini kediaman Nona Ellena?" tanya seorang pria yang mengenakan pakaian resmi ala pegawai kantor.
Filia tampak mengamati pria berambut cepak itu, sebelum dia menanggapi pertanyaannya. Wajah pria itu seperti tidak asing baginya. Namun, dia pun masih belum bisa mengingat siapa pria itu.
"Betul. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Filia ingin tahu.
"Bisakah saya bertemu langsung dengan Nona Ellena?" balas pria itu.
Filia tampak mengerutkan keningnya. Dia masih berusaha mengingat wajah familiar pria di depannya. Seketika dia teringat dengan sosok pria yang beberapa kali pernah dia temui dengan Lucas, atasannya di kantor. Ya, dia yakin bahwa mereka adalah pria yang sama.
"Kalau boleh tahu, anda siapa?" Filia tampak menatap pria itu penuh penasaran.