"Elle, maaf, aku tidak bisa membantumu. Aku yakin, kau bisa menghadapi semua masalah ini dengan baik. Please, jangan menangis lagi!" Filia kembali merengkuh tubuh Ellena, setelah dia mengetahui semua masalah sahabatnya itu.
"Iya, Filia, aku mengerti. Terima kasih, kau sudah mengkhawatirkanku dan juga sudah bersedia mendengarkan ceritaku." Dielusnya kembali punggung Ellena oleh Filia.
Sekuat mungkin Filia membendung kristal bening yang sejak tadi sudah memenuhi sudut matanya. Rasanya dia menjadi sahabat paling tidak berguna saat ini. Ketika Ellena sedang berada di tengah keterpurukan, dia justru tidak bisa membantunya sama sekali. 'Sahabat macam apa aku?' pikirnya.
Namun, kendati pun begitu, dia tetap akan berada di samping Ellena, sekadar untuk menemaninya bercerita dan mendengarkan setiap keluh kesah wanita itu. Terlebih ketika nanti Ellena sudah menjadi istri kontrak atasannya.
"Lalu, bagaimana dengan ibu dan adikmu? Apa kau tidak berniat memberi tahu mereka?" Filia melepaskan kembali pelukan itu, lalu menatap serius wajah Ellena.
Ellena hanya menggelengkan kepalanya. Dia pun bingung, entah harus memberi tahu mereka atau tidak.
"Entahlah, aku bingung, Filia." Ellena tertunduk lesu.
"Apa tidak sebaiknya ibumu diberi tahu hal ini?" tanya Filia.
"Jika ibu tahu soal ini, lalu aku harus memberi alasan apa? Sementara, ibu tahu kalau satu-satunya pria yang sangat aku cintai adalah Keenan. Lagi pula, Keenan adalah pria yang baik dan selalu menyempatkan waktu untuk menengok ibu ke rumah setiap minggunya, aku tahu itu," jelas Ellena seraya memberengutkan wajahnya.
"Ya, aku mengerti, tapi ibumu tetap harus tahu pernikahan kalian. Apa pun alasannya." Filia meraih tangan Ellena, lalu menggenggamnya.
"Jika nanti ibu malah khawatir, bagaimana? Apa aku harus berbohong, kalau aku sama Keenan sudah tidak memiliki hubungan apa pun?" Ellena menatap ragu wajah Filia.
"Terserah bagaimana caranya, yang jelas ibumu harus tahu. Aku yakin, kau tahu apa yang harus kau lakukan." Filia menganggukkan kepalanya pelan, sebagai isyarat agar Ellena melakukan apa yang dia sarankan.
Ellena tampak terdiam beberapa saat, memikirkan saran dari Filia. Perkataan Filia memang benar. Walau bagaimana pun ibunya harus mengetahui tentang pernikannya dengan Lucas. Namun, dia tetap tidak akan meminta ibunya untuk hadir di acara pernikahan itu. Mengingat status sosial keluarganya dengan keluarga Lucas sangat jauh berbeda. Bukan karena malu. Dia hanya tidak ingin jika keluarganya dikucilkan oleh orang-orang besar seperti mereka. Sebab, bagi mereka, penampilan pun sangat diperhitungkan.
"Baiklah. Sepertinya kau benar, aku memang harus memberi tahu ibu tentang pernikahan itu." Ellena meraih ponsel yang terletak di atas nakas yang berada di samping tempat tidurnya.
"Tapi, bagaimana dengan Keenan?" Ellena mengurungkan niatnya, ketika dia baru saja akan mencari nama kontak sang ibu di dalam ponselnya.
"Kurasa ibumu bisa diajak berkompromi," jawab Filia dengan santai.
Sepertinya, Ellena langsung paham dengan maksud perkataan Filia.
"Baiklah." Ellena tampak menempelkan ponsel itu di telinganya.
"Aku akan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam kita," pamit Filia yang hanya mendapat anggukkan kepala dari Ellena.
"Hallo, Bu," sapa Ellena, setelah sang ibu menerima panggilan telepon darinya.
"Elle, bagaimana kabarmu, Nak? Kenapa kau baru menghubungi ibu sekarang?" Suara Briana terdengar sangat senang menerima telepon dari putrinya.
"Aku baik-baik saja, Bu. Ibu dan Martin apa kabar?" Ellena sedikit memaksakan senyumnya. Namun, matanya tampak berkaca-kaca. Rasanya berat sekali untuk memberi tahu ibunya perihal pernikahan itu.
"Maaf, aku baru menghubungi Ibu lagi. Kerjaanku sangat banyak, jadi jarang punya waktu untuk menghubungi Ibu," jelasnya berbohong.
Ellena memang sudah tiga hari tidak menghubungi ibunya. Namun, bukan karena sibuk bekerja, melainkan karena masalahnya dengan Lucas yang membuat dia enggan untuk menghubungi sang ibu. Dia tidak ingin jika tiba-tiba tidak bisa membendung emosinya, kemudian menangis ketika berbicara dengan Briana, ibunya.
Ya, bahkan sekarang pun dia berusaha keras membendung air mata dan isak tangisnya, demi tidak membuat sang ibu khawatir akan dirinya.
"Pasti kau sangat lelah. Maafkan ibu, Nak. Kalau saja ibu bisa—"
"Sudahlah, Bu, jangan terlalu mengkhawatirkanku. Lagi pula, secepatnya utang itu akan segera terlunasi," potong Ellena.
"Utang sebanyak itu, mana mungkin bisa kita lunasi dalam waktu singkat?" Briana seolah tidak percaya dengan perkataan Putrinya.
"Setelah ini, aku akan melunasi semuanya, Bu," jawab Ellena sedikit menyunggingkan senyumnya.
"Dari mana kau mendapatkan uang sebanyak itu, Elle?" Briana sedikit meninggikan nada bicaranya, tentu karena dia merasa terkejut dengan ucapan putrinya yang tiba-tiba akan melunasi utang almarhum suaminya yang tidak sedikit.
Alih-alih menjawab pertanyaan Briana, Ellena justru terdiam beberapa saat, sehingga membuat ibunya merasa heran.
"Elle, kau tidak menjawab pertanyaan ibu?"
Suara Briana seketika membuat Ellena tersentak, lalu mengakhiri lamunannya.
"Calon suamiku, Bu," desis Ellena seraya meneteskan air matanya yang sudah tidak bisa lagi terbendung.
Ellena langsung menjauhkan ponsel itu dari telinganya, lalu menyeka kembali air mata itu. Beberapa detik, dia berusaha menetralkan perasaannya. Bahkan, di tidak peduli dengan sang ibu yang sedari tadi berbicara padanya.
Sementara di depan kamar itu, tampak Filia yang sedari tadi memperhatikan Ellena. Hati Filia seakan ikut tertusuk melihat sahabatnya menangis seperti itu. Tanpa disadari, air mata pun menetes dengan perlahan.
Andai dirinya bisa membantu Ellena untuk mengganti rugi mobil Lucas, mungkin sudah dia lakukan tanpa harus diminta. Sayang sekali, itu terlalu berat baginya. Mengingat kondisi ekonomi yang juga pas-pasan, membuatnya tidak bisa berbuat banyak, selain menguatkan.
"Iya, Bu?" tanya Ellena, setelah berhasil menetralkan perasaannya.
"Kenapa kau diam saja? Apa calon suami yang kau maksud itu Keenan?"
Ellena sudah menduga jika sang ibu akan menganggap bahwa orang yang dia maksud adalah Keenan. Rasanya ingin sekali dia menjerit saat itu juga. Mengeluarkan semua amarahnya, sebelum menjelaskan kepada ibunya. Namun, tidak dilakukan sama sekali. Dia hanya berusaha memendam semua rahasianya.
"Bukan, Bu," lirih Selena.
"Lantas, siapa orang yang kau maksud? Kenapa kau tiba-tiba menyebut calon suami kepada pria selain Keenan? Bukankah satu-satunya pria yang kau cintai adalah Keenan, tetapi kenapa kali ini tiba-tiba berubah? Apa kau sengaja mengkhianati Kekasihmu?"
Sederet pertanyaan dilontarkan oleh Briana tanpa jeda. Dia sungguh penasaran dengan calon suami yang diamksud oleh Ellena. Jika bukan Keenan, lalu siapa? Pikirnya.
Lagi-lagi Ellena tak bisa membendung air matanya. Ya, mungkin benar apa yang dikatakan sang ibu, bahwa dia sudah mengkhinati Kekasihnya. Namun, sampai detik ini hanyalah Keenan yang menjadi pemilik hatinya.
Ellena tidak mungkin menjelaskan hal itu kepada ibunya, karena sang ibu pasti akan sangat bersedih dan merasa bersalah jika tahu bahwa dia menikah karena sebuah kesalahan dan juga karena uang.
"Dia atasanku, Bu," jawab Ellena parau.
"Kau menangis?" tanya Briana saat menyadari suara Ellena yang serak. "Apa telah terjadi sesuatu padamu, Elle? Jangan katakan pada ibu, kalau kau menikah hanya karena uang?" imbuhnya.