Chereads / ADAMMA BRUNELLA / Chapter 6 - Psikopat

Chapter 6 - Psikopat

Keesokan paginya, Adamma memasuki ruangan untuk memulai bekerja. Tak ada satupun yang menanggapnya ada, mereka tidak senang dengan kehadirannya di dalam tim. Berdiri kebingungan melihat semua tim duduk dan mengerjakan laporannya, sedangkan dirinya belum tahu tugasnya.

"Maaf apa ada yang bisa saya kerjakan?" tanya Adamma melihat semua timnya dan Pak saleh yang duduk di kursi paling depan.

"Duduklah dulu, kursimu ada di depan meja Arya. Nanti tunggu instruksi selanjutnya," jawab Pak Saleh. "Arya tolong berikan dokumen pada Adamma," perintah Pak Saleh melihat Arya yang sedang sibuk menulis laporan.

Dengan berat hati Arya menuruti perintah dari ketua timnya, lalu melemparnya di meja Adamma yang baru saja duduk di kursinya.

"Pelajari ini, jika kurang jelas bisa tanyakan Rio," ucap Arya berdiri dan melempar kertas di meja Adamma lalu pergi meninggalkan ruangan.

Setelah Arya pergi, dia membuka dokumen yang dilempar oleh Arya tadi, tak kuasa menyembunyikan kesedihannya melihat foto Ayahnya yang bersimbah darah saat di tempat kejadian. Rio yang duduk di samping mejanya, menepuk pundak Adamma untuk menyadarkannya.

"Jangan menangis! Jika ingin masuk tim kami, itulah kenapa kami disini tidak menyukai keberadaan kamu. Selain kamu itu wanita, kamu keluaga korban dan kami tidak ingin kamu tidak profesional dalam bekerja," tegur Rio meletakkan tangannya di pundak Adamma.

Adamma mengusap air matanya. "Maaf saya terbawa perasaan, dan akan bersikap profesional," jawab Adamma menyadari kesalahannya.

"Baguslah kalau begitu, lihat dan pelajari dokumen ini," ucap Rio dengan memberikan dokumen lagi pada Adamma.

Di ruang kepala kepolisian Polda metro jaya, seseorang pria tua dengan pakaian kemeja rapih mendatangi Pak Handoyo yang menjabat sebagai kepala kepolisian.

"Apa kabar Pak Wijatmoko," sapa Pak Handoyo dengan sopan kepada pria tua yang duduk di hadapannya.

"Tentu saya baik, kamu tidak lupa kan dengan saya?" tanya pria tua itu melempar senyumannya yang membuat Pak Handoyo sedikit takut.

"Mana mungkin saya bisa lupa dengan anda, tanpa anda saya tidak mungkin bisa duduk di kursi jabatan ini," jawab Pak Handoyo membalas senyumannya.

"Baguslah kalau begitu, itulah mengapa saya suka dengan anjing peliharaan di banding anjing jalanan," ucap Pak Wijatmoko meminum secangkir teh yang ada di mejanya sambil melirik Pak Handoyo yang sedang bingung.

Pak Wijatmoko melanjutkan dengan memberi perintah rahasia kepada Pak Handoyo. Setelah sepakat dia pergi meninggalkan ruangan, dengan di jemput oleh sekretarisnya.

Di parkiran Arya membuka pintu mobilnya dan bergegas memasuki ruangannya untuk memberitahukan kabar yang aneh kepada timnya.

"Aku punya kabar mengejutkan dari badan forensik, tentang kartu nama milik korban yang aku temukan waktu itu. mereka menemukan sidik jari punya pelaku," jelas Arya melihat seluruh timnya termasuk Adamma yang sangat antusias.

"Terus kamu sudah datangi tempat pelakunya?" tanya Pak Saleh dengan antusias.

"Siapa pelakunya?" tanya Adamma berdiri dari kursinya melihat Arya.

"Aku sudah datang untuk berkunjung ke rumah pelaku, tapi yang ada hanya kedua orang tuanya yang sudah renta, dia mengatakan bahwa putrinya hilang 5 bulan yang lalu." Jelas Arya,

"Siapa nama pelakunya?" tanya Rio sambil bersiap dengan laptopnya.

"Namanya Maryam, ID nya 3172029554321," jawab Arya melihat kertas nya yang berisi identitas pelaku.

Rio mengetik di laptopnya dan keluar semua laporan tentang pelaku dalam dokumen kepolisian.

"Benar apa yang dikatakan kedua orangtuanya tersebut, disini ada laporan kehilangan 5 bulan lalu," jelas Rio

"Jadi Apa yang harus kita lakukan?" tanya Adamma melihat Pak Saleh ketua timnya dan sesekali melirik Arya.

"Ini akan sulit untuk diungkapkan, pelakunya bukan orang biasa. Aku yakin sekali, ini bukan kali pertama dia membunuh, terlalu rapih untuk dilakukan oleh orang biasa," jawab Arya meyakinkan seluruh timnya.

"Dia pasti seorang psikopat! Aku pernah membaca di sebuah artikel, setiap kali dia membunuh pasti akan membawa bagian tubuh apapun untuk dijadikannya sebagai cendramata atas hasil dari perbuatan yang dia lakukan," ucap Rio melihat seluruh timnya.

"Berarti dia juga membunuh Maryam, dan menjadikan sidik jari Maryam untuk mengerjai polisi," simpul Adamma melihat Rio yang duduk disampingnya.

"Kemungkinan seperti itu," ucap Rio menganggukan kepalanya.

Pak saleh sebagai ketua tim dengan tegas memerintahkan anak buahnya untuk berpencar. Untuk segera menemukan bukti lain yang memperkuat mencari pelakunya.

"Rio dan Angga, kalian pergi kerumah sakit tempat di mana korban bekerja," perintah Pak saleh kepada Rio dan Angga.

"Arya bersama Adamma mencari lokasi dimana Maryam menghilang dan cari tahu tentang segalanya tentang si Maryam," perintah Pak Saleh kepada Arya dan Adamma.

"Rangga kamu temani saya untuk pergi ke kejaksaan bertemu Jaksa Ilyas," perintah Pak Saleh lalu pergi diikuti oleh Rangga di belakangnya.

Setelah semuanya di bagi tugas, mereka keluar untuk pergi menjalankan tugas. Di mobil Adamma mendengar suara hati Arya, yang mengeluh karna harus bertugas dengannya.

"Kenapa harus sama dia sih," batin Arya mengeluh dan sesekali melirik Adamma yang duduk di sampingnya.

"Maaf kalau kehadiran saya membuat kamu merasa terusik, saya janji akan bersikap profesional," ucap Adamma melihat Arya yang sedang fokus menyetir.

"Saya harap kamu bisa melakukannya, kita ini polisi harus bisa membedakan antara urusan pribadi dan pekerjaan. Saya tahu ini sulit untuk kamu yang baru saja kehilangan sosok Ayah, tapi ini adalah sebuah tugas yang harus kamu lakukan untuk menemukan pelakunya," jawab Arya merasa bersalah dengan sikapnya pada Adamma yang sekarang menjadi rekannya.

"Baik saya akan menjalani pekerjaan saya dengan bersikap profesional," tegas Adamma meyakinkan Arya sebagai rekan kerjanya.

"Baiklah kencangkan sabuk pengamannya, aku akan mulai mengebut," pinta Arya melihat sabuk pengaman Adamma.

Arya mulai menaikkan laju kendaraannya, untuk pergi ke tempat Maryam bekerja. Mencari tahu sosoknya dari orang yang berada di sekitar Maryam.

Di ruang jaksa Ilyas, Pak Saleh yang ditemani Rangga menyerahkan bukti dari sidik jari Maryam yang berhasil ditemukan oleh Arya.

"Ini bukti yang di temukan oleh anak buah saya Arya, dan kami akan secepatnya menemukan bukti lain untuk menangkap pelakunya," ucap Pak Saleh yang kurang suka pada jaksa Ilyas yang suka memarahi timnya.

"Lambat sekali pekerjaan tim mu, kalian di bayar oleh negar untuk menangkap pelaku dengan cepat," omel Pak Ilyas dengan menerima bukti yang diserahkan oleh Pak Saleh.

"Maafkan kami, saya ijin pamit untuk menyelesaikan ini secepatnya," pamit Pak Saleh yang malas mendengarkan jaksa Ilyas mengomel.

Setelah Pak Saleh dan anak buahnya pergi, jaksa Ilyas menerima panggilan dari seseorang di telfon.

"Mendengar"

"Tenang saja, mereka belum juga menemukan bukti yang kuat untuk menangkap pelakunya," jawab jaksa Ilyas tersenyum sendiri di ruangannya.

"Mendengar"

"Baiklah saya akan selalu mengabari pada anda," jawab jaksa Ilyas menutup panggilan telfonya.