Tidak ada kebahagiaan yang lain lagi bagi Lascrea kala itu. Dengan dirinya duduk di pangkuan Allail, disayangi Allail, dia serasa seperti dicintai dengan tulus oleh pria bermata merah mengkilap itu.
"Kenapa aku tak mendatangimu terlebih dahulu?" Allail pun bertanya kembali pada Lascrea sambil tersenyum dan memainkan helai rambutnya yang terurai panjang.
"Iya, apa? Aku sangat penasaran, hihi," kata Lascrea lagi sambil menggoyangkan kakinya seperti anak kecil yang kegirangan saat mendapat mainan dari orang.
"Tentu saja, karena...."
Ting, tong...!
Suara bel rumah Lascrea pun membuat mereka berdua terkaget dan langsung memberhentikan hal yang sedang mereka lakukan kala itu.
"Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?" tanya Lascrea sambil melihat ke arah pintu rumahnya.
"Allail, aku akan membukakan pintu sebentar, kamu tunggu yah," ucap Lascrea sambil mencubit pipi Allail, dan Allail pun mengangguk sambil tersenyum padanya.
Lascrea pun berjalan ke arah pintu rumahnya kemudian membukanya.
Betapa terkejutnya dia saat pria yang ada di depan pintu rumahnya itu langsung memeluk dirinya secara tiba-tiba.
"Hh, Moo-re? A-apa yang kamu lakukan?" Lascrea tak bisa bergerak dan berkutik, dia dipeluk dengan erat dan ditambah lagi dengan rasa kaget yang sontak membuat kepakanya blank karena pria yang telah menjadi sahabatnya selama ini tak pernah sekalipun memeluknya seperti itu.
"Lascrea, maafkan aku! Aku.. aku-" tiba-tiba ucapan Moore berhenti, matanya tertuju pada pria dengan celemek yang berada tepat di belakang Lascrea dan memantaunya.
Dengan wajah marah, Allail pun berjalan cepat mendekati Lascrea dan menariknya ke dalam pelukannya.
"Ughh." Lascrea tersentak dengan kaget.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Moore geram saat melihat wajah Allail, sang Raja iblis yang amat dia benci itu.
"Seharusnya aku yang harus menanyakan hal itu padamu. Untuk apa kau datang pagi-pagi ke rumah wanita yang sudah menikah dan memeluknya. Apakah kau tidak tahu batasan antara pria dan wanita?" tanya Allail kembali dengan wajah yang tidak kalah kesalnya dengan yang ditunjukkan Moore padanya itu.
"Cih? Wanita yang sudah menikah? Batasan pria dan wanita?" Moore tersenyum sinis. "Hei, dengar Yang mulia, kau itu yang telah melanggar batasan, sekarang kau mengatakan hal seperti itu padaku seakan-akan aku ini yang terlihat seperti penjahat? Pfftt, memang yah kau tidak akan pernah berubah," bentak Moore sambil menantang tatapan Allail, pria yang hampir sama tinggi dengannya itu.
Tak mau kalah, Allail pun turut menantang tatapan Moore. Mereka sudah seperti akan menerkam satu sama lain dengan Lascrea yang berada di tengah-tengah mereka sambil tersudut di pelukan Allail.
Karena sudah tak tahan dengan apa yang dia dengar kala itu, Lascrea pun melerai mereka berdua.
"Cukuuppp! Kalian berdua berhenti!" teriak Lascrea sambil mendorong dengan kedua tangannya pada masing-masing dari mereka berdua.
"Tapi Lascrea, dia itu-"
"Cukup Moore, aku sangat berterima kasih karena kamu sudah mau mengkhawatirkan aku seperti itu. Tapi, aku sekarang sudah bahagia, kamu tahu kan seperti apa dunia yang aku hadapi selama ini? Aku hidup dalam lantai kaca tipis yang jika bergerak dengan gegabah, lantai itu akan retak. Kamu yang paling tahu betapa sedih dan menderitanya aku. Sekarang... Aku sudah bahagia bersama Allail, kumohon Moore, kumohon, biarkan aku menjalani hidupku, biarkan aku bahagia bersama orang yang aku cintai," pinta Lascrea dengan mata yang seperti akan menumpahkan kristal bening kala itu.
Moore tak bisa berkata apa pun lagi. Dia benar-benar kehilangan kata-katanya saat mendengar permintaan yang menyayat hatinya dari wanita yang dia sayangi itu.
"Hiiss, baiklah. Aku tidak akan membahas ini lagi, Lascrea. Tapi ingat, kalau kamu sampai disakiti oleh Allail, katakan padaku! Akan kuhajar dia sampai neraka pun menolak untuk menerimanya pulang," kata Moore pada Lascrea sambil memegang bahunya tetapi tatapannya yang tajam itu ditujukan bagi Allail yang sama kesalnya.
"Tanpa kau bilang pun, aku tidak akan melukai Lascrea," gumam Allail.
"Terima kasih Moore, terima kasih." Lascrea tersenyum pada sahabatnya itu, dia merasa sahabatnya telah melakukan hal terbaik untuknya.
"Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu. Ingat Lascrea, saat kamu dalam bahaya panggil namaku, aku akan langsung menghajar siapa pun yang melukaimu."
"Iya, tentu saja." Lascrea pun melambaikan tangannya sambil mengatar kepergian Moore yang bergegas meninggalkan rumah Lascrea kala itu.
Setelah Moore pergi, sekarang Lascrea dihadapkan pada Allail yang merajuk karena melihat kedekatan Lascrea dengan Moore kala itu.
Wajahnya masam, mulutnya cemberut, akan tetapi dia sangat manis dan imut kala itu. Lascrea tak dapat menahan dirinya untuk tersenyum tiap kali melihat ekspresi Allail yang sama sekali baru dilihat olehnya itu.
"Allail, kenapa kamu cemberut?" tanya Lascrea dengan sengaja, padahal dia sudah tahu bahwa Allail sangat cemburu pada Moore.
"Tidak, aku tidak apa-apa," balas Allail dengan wajah yang masih cemberut.
"Aduh, apalagi yang harus aku lakukan untuk menghadapi keimutan priaku ini?" pikir Lascrea dalam hatinya, dia memutar otak beberapa saat kemudian, dia pun mendapat ide cemerlang yang pasti membuat Allail semangat kembali.
Lascrea pun mendekati Allail dan mengecup lembut bibir merahnya itu.
Allail kaget dan langsung melihat ke arah Lascrea. Seketika saat mata mereka bertemu, mereka saling tersenyum kemudian tertawa dengan dengan kerasnya seperti ada sesuatu yang sangat lucu terjadi.
"Hahaha, hahaha. Ya ampun, aku sama sekali tak dapat menahan rasa lucu ini."
"Hahaha, dasar kamu yah." Allail pun mencubit pipi Lascrea karena sangat gemas dengan wanita itu.
"Hehe, kamu tidak marah lagi kan?" tanya Lascrea sambil memegang pipi Allail untuk memastikan perasaan pria itu.
"Hufft, bagaimana aku bisa tahan marah lama-lama dengan permaisuriku yang satu ini. Kamu benar-benar yah," jawab Allail sambil mencubit hidung Lascrea dan tersenyum manja padanya.
"Hehe, aku sangat mencintaimu, Allail."
"Aku tahu, permaisuriku. Aku tahu," balas Allail sambil mendekatkan dahi mereka satu sama lain dan tersenyum bahagia.
***
Sementara mereka berdua sedang bermesraan, Moore telah dihadang oleh ketua malaikat yang menjaga perdaian kedua alam, manusia dan iblis.
Dia-Bahkil, adalah salah satu malaikat terkuat yang sangat membenci Allail dan menfitnahnya sehingga semua malaikat yang berada di bawah perintahnya turut buta dan ikut membenci Allail.
"Moore, jawab panggilanku!" kata Bahkil sambil mengacungkan satu tangannya pada Moore.
"Siapa pria ini?" Moore tak mengenalnya sama sekali, karena ingatan dari tubuhnya yang masih menjadi malaikat dahulu tersegel oleh takdir. Sekarang Bahkil ingin membangkitkan ingatan dari panglima terkuat dari seluruh prajurit langit miliknya.
"Aku, Bahkil sebagai tuanmu, memanggilmu, Almooresius!"
Seketika tubuh Moore tak dapat digerakkan lagi, kepalanya sakit, penglihatannya buram.
"A-apa yang kau lakukan? Aggh, GRAAAAAAAA!"
Bersambung...