Dua tahun berlalu setelah kisah kelahiranku dengan segudang keanehan yang menyertainya. Saat aku dalam timang-timang ayunan di atas pangkuan Ibu pelataran rumah tetangga.
Pagi itu beberapa Ibu sedang asyik bercengkerama mesra satu-sama lain. Entah apa saja yang mereka katakan dari maslah sang suami, tentang bumbu dapur hingga panggung politik negara. Sekiranya menarik untuk mereka bahas tentu mereka bicarakan.
Hingga hari hampir menjelang terik panasnya dalam puncak tengah perputaran surya. Mungkin waktu menunjukkan sekitar menjelang azan zuhur antara bayangan satu jangkah kaki sampai pas di tengah-tengah badan.
Satu orang bergaya tidak waras menari di tengah pertigaan. Tidak seberapa jauh dari rumah Kakek Ali dan begitu dekat dengan tempat berkerumunnya para Ibu-Ibu yang sedang asyik membahas isu-isu panas dalam negeri yang mungkin tengah viral.
Dari gaya menari India hingga gaya penari tradisional sebuah kesenian tari Jawa Timur yakni tari remo telah diperagakan si orang serupa gila. Tiada yang berani mendekati bahkan terkesan beberapa orang lewat memilih jalan menyisih agak jauh ketepian jalan agar tak sedekat mungkin jarak antara mereka dengan si orang serupa gila berbaju compang-camping serta mengoceh tentang ujung langit hingga dasar bumi.
Ketakutan akan orang ketidakwarasan tersebut untuk melangkah sedikit ke dalam rumah. Maka beberapa warga memilih menutup gerbang-gerbang besi terkadang ada yang dari kayu depan rumah mereka.
Kerumunan Ibu-Ibu akhirnya buyar mereka berjalan menuju pintu-pintu rumah mereka sendiri-sendiri. Lalu dengan alasan takut bercampur ngeri akan di datangi penari agak tak waras tengah pertigaan. Pintu-pintu terkunci rapat-rapat dari dalam.
Ibu yang waktu itu memang teramat takut bercampur khawatir sebab tengah menggendongku sebagai wadah bentuk dari bayi atau balita berusia dua tahun jalan. Apalagi dari jarak tempat iya bercengkerama dengan Ibu-Ibu tetangga menuju rumah kakek. Mau tak mau harus melewati si orang berkata tak wajar bisa disebut kurang waras dari cara iya berpakaian dengan baju compang-camping. Dari tingkah lakunya aneh bin nyeleneh di tengah pertigaan pas. Saat itu masih belum banyak mobil dan truk pengangkut pasir yang disebut dam truk.
"Diam ya sayang, anakku sayang, putraku semata wayang. Tidurlah dalam gendongan Ibu, jangan terbangun sebelum Ibu melihat tempat tidur kita di dalam kamar rumah Kakekmu. Ibu akan melewati sebuah ketakutan Ibu sendiri demi engkau, demi engkau putra ku jangankan dia serupa si tidak waras apa pun akan Ibu lalui agar kau tenang dalam lelapmu di ayunan Ibu."
Ibu terus mengayunku dalam gendongan sambil terus melangkah mencoba tak melihat bahwa dia yang meracau bak pidato presiden RI di depan mimbar majelis permusyawaratan rakyat dalam pidato pertanggung jawaban jabatan selama iya menjabat.
Bahkan sudah semakin dekat jarak antara Ibu dengan iya yang disebut tidak memiliki akal sehat cenderung tidak berakal tapi memiliki kecerdasan alami akan alam yang membimbingnya dan menghidupinya.
Saat pas di tengah-tengah pertigaan. Sesaat pas bayangan telah utuh menyatu dengan badan. Bayangan hilang bersembunyi di bawah telapak kaki yang mengartikan waktu pas tengah terang pada siang hari.
Langkah Ibu terhenti sebab si dia yang tidak waras katanya telah menghalangi jalan Ibu sambil merentangkan tangan lebar-lebar. Sambil terus meracau membuat Ibu semakin ciut nyali takut melangkah kembali dan takut melangkah untuk maju agar sampai pada rumah Kakek Ali.
"Hayo mau kemana Ibu, mau pulang ya. Sudah puas membicarakan orang satu kampung atau dua kampung atau tiga kampung bahkan bisa jadi satu kecamatan, hehehe," terkekehlah wajah si tidak waras sambil terus meracau dan merentangkan tangan menghadang langkah Ibu untuk pulang.
Tangan Ibu menepuk-nepuk punggungku berisyarat bahwa jangan sampai aku terbangun lalu bisa jadi aku menangis. Ibu tak menginginkan bahwa mataku melihat apa yang seharusnya tidak aku lihat.
"Tenang ya sayang, jangan bangun ya Nak. Tetaplah terlelap dengan mimpi tentang bermain bersama Ibu dan Bapakmu. Ibu akan menjagamu selalu dari pandangan buruk seorang tanpa kewarasan ini," Ibu terus mengumpat dan memaki serta berkata sumpah serapah seketika pada si orang penyandang tak waras di mata Ibu.
Bahkan Ibu tak mengerti bahasa akan tiada elok memandang permukaan sebelum mengenal kedalaman. Bahwa yang gila belum tentu gila dan yang waras bisa jadi lebih menggila dari pada yang gila.
Si yang disebut tak waras malah memandang Ibu dengan rasa iba dan kasihan. Mengelilinginya beberapa kali sambil berteriak, "Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar."
Akhirnya Ibu menatap wajah si agak mungkin juga memang tak waras wallahualam. Pas di depan Ibu berdiri mematung semakin tidak mengerti harus bagaimana. Harus berkata apa dan melakukan apa Ibu tidak mengerti hanya bisa diam seribu bahasa dan seribu perkataan.
"Bapak ini siapa?" pada akhirnya dari bibir Ibu tergetar pertanyaan klasik dari kata tidak tahu akan suatu hal yang belum iya mengerti atau belum pernah iya jumpai sebelumnya.
"Kata Ibu aku yang disebut gila bin edan atau tidak waras. Apa Ibu sudah gila bertanya siapa pada orang gila?" bahkan Ibu berhasil diputar balik akan silat lidah dengan kecerdasan kata dan intelektual tinggi tanpa harus memandang dia adalah gila.
"Lalu Bapak ini hendak kenapa dan mau apa?" Kembali terlontar dalam rasa penasaran di hati Ibu hingga terlahir lewat mulut bersua lidah dalam getaran bibir yang disebut perkataan. Sedangkan pertanyaan adalah bagian dari penggabungan rasa ingin tahu dan kata penasaran sehingga menjadi jelas dudukannya dalam kalimat pertanyaan.
"Ibu sudah salah malah bertanya lagi. Jangan bilang salah Ibu dimana begitu," oceh si dia yang merasa waras tapi sebenarnya tidak dalam pandangan secara lahiriah umumnya.
Ibu tidak mengerti akan pernyataan dari perkataan bersahut pertanyaan dalam kemasan sindiran oleh dia yang disebut tidak waras. Serasa otak Ibu buntu berpikir akan semua hal tak terkecuali bertanya kembali.
"Apa salah saya Pak?" semakin pemahaman Ibu bagai diaduk-aduk lalu terkuai tak beraturan bagai dia yang kalah perang lalu tak pernah pulang kembali.
"Salah Ibu membawa bayi saat berhibah berarti Ibu mengotori titipan Illahi dan mengajarkan keburukan pada si bayi dalam ayunan gendonganmu. Tidakkah Ibu berpikir Al Quran itu salah akan Neraka itu nyata," begitulah ocehan akan pembicaraan yang sebenarnya bermakna dalam tapi dikemas dalam tubuh dan mulut dia yang serupa tidak waras saja.
Si dia yang dianggap Ibu adalah orang dalam tahap tidak waras. Tiba-tiba memegang telapak tanganku. Seakan iya ahli dalam membaca garis tangan. Tiba-tiba itu jua lalu si dia yang disebut tidak waras meloncat-loncat kegirangan seakan dia adalah orang yang menerima lotre atau bak dia ditugaskan untuk mencari satu pertanda.
"Allahuma Shalli Ala Muhammad, Allahuma Shalli Ala Muhammad. Trah panglima sudah ketemu dia sudah lahir hore dilahirkan," si dia yang menyerupai gila akhirnya pergi menjauh sambil terus berteriak-teriak.
"Panglima sudah lahir, panglima sudah lahir,"