Chereads / Catatan Ujung Teras / Chapter 6 - Kaki di gerbong nomor 5

Chapter 6 - Kaki di gerbong nomor 5

Malam terlalu jauh dari kota Jombang ketika aku dan Ibu sudah berada di sekitar perbatasan Semarang dan Jogja. Tangan kecilku mencoba meraih ujung kerudung Ibu yang mengayun-ayun tertiup angin dari cela jendela kereta.

Suasana hening sudah mulai terasa semilir dingin hawa malam mulai merayu mata agar tak selalu terjaga. Pucuk-pucuk dedaunan dari jajaran pohon tepian hutan telah terlewati. Membuat bayangan laksana raksasa buah berjajar siap berperang.

Gerbong yang tadinya riuh dan ramai dari penjaja kaki lima sudah mulai sepi. Celoteh para penumpang sudah tidak ada lagi hanya aku dan Ibu masih terus mengawasi sekitar bangku berjajar penuh tubuh terlelap.

Ada satu keanehan merambat perlahan sebuah hawa ngeri di sekitaran kami. Ada bau aneh laksana anyir darah mulai menusuk hidung. Tetapi tiada mampu mengusik penumpang puluhan jumlahnya dengan mimpi beraneka ragam akan impian masa depan yang belum tentu terlaksana.

Sedikit amis serta anyir menyengat agak menimbulkan rasa muntah. Aku dapati Ibu menutup mulut dan hidung dengan selembar ujung kerudung warna biru agak tua.

Tampaknya Ibu terpengaruh dan mulai menguap beberapa kali. Mata Ibu sudahlah terlalu lelah ku lihat. Tapi Ibu terus menjaga keadaan baik-baik saja sebelum aku ikut terlelap di pangkuannya.

Aku bosan dengan keadaan diam dari wadah tubuh sebut saja bayi. Aku dan mulut kecilku mengoceh sebisanya seadanya, terkadang mulai meracau seenaknya. Demi menyeka yang mungkin ngeri sebelah depan atau belakang gerbong kereta akan terjadi.

"Sabar Nak putraku sayang kita akan menyusul Bapakmu di tanah perantauan," begitulah kata Ibu sedari pagi hingga hampir malam menengahi hari.

Tapi kulihat diluar jendela tiada rembulan hanya mendung dan sedikit gerimis menyertai laju kereta api.

Terkadang ada kelelawar malam yang ikut berlomba mendahului laju kereta lalu terbang menukik berlawanan arah mungkin segerombolan dari mereka sudah menyerah kalah. Terkadang aku melihat tubuh aneh diikat tali di tengah sawah.

Bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri memakai topi pak tani. Kata Bapak itu adalah patung pak tani pengusir hama bernama burung pipit.

Tapi bagiku tetap seram jikalau malam tengah petang mulai ada dan patung pak tani laksana monster menyeringai bagai pembunuh kejam. Senyum sedikit sekiranya menakut-nakuti siapa yang melihatnya.

Ibu mulai sedikit memejamkan mata lalu membukanya lagi.

Seakan ia ingin berjaga sepanjang malam demi aku putra pertama. Sambil menepuk-nepuk punggungku dan berdendang lirih-lirih tentang sebuah impian dan harapan akan kehidupan ku di masa depan. Mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi.

Mulut kecil ini kadang tak mampu berhenti mengunyah ujung dot. Seakan gigi geraham baru tumbuh dan gatal ingin memakan sesuatu. Walau aku terus berisik tetapi telinga-telinga mereka yang disebut orang dewasa pada jajaran bangku kereta.

Tetap tak terusik dan diam dengan santai sambil tetap terpejam mata. Seolah terbuai dengan mimpi-mimpi palsu akan indah masa mendatang.

Gerbong lima bangku nomor lima A, entah takdir apa di dalam gerbong nomor lima rasanya ada ketertarikan ikatan batin antara aku dan gerbong kereta. Bahkan setiap bangkunya mampu aku ajak bicara. Kata mereka hati-hati di depanmu ada sosok bahaya.

Tetapi aku adalah sebuah bayi hanya sesosok anak kecil bahkan terlalu kecil untuk mengerti bahaya. Sebab yang kutahu dari aku yang masih saja berupa bayi. Bahaya adalah satu kata opini dari kelemahan otak yang tak mampu menetralisir akan keadaan sehingga doktrin pikiran akan ketakutan yang berlebih.

Membuat sebuah kata bahaya itu ada dan terngiang masuk ke hati lalu terpompa melalui jalan darah masuk kesel-sel otak kembali menciptakan suasana ngeri yang disebut bahaya.

Tanganku asyik memainkan pegangan kursi. Masih ada beberapa penjaja kaki lima yang lewat menatapku dengan rasa gemas terkadang mata mereka serasanya ingin mencubit mataku.

Saat malam kereta terus melaju kencang memasuki kota Jogja. Kabut mulai ada datang tanpa aba-aba dan mulai merayap perlahan bagai hewan melati perlahan mendekati mangsa.

"Kenapa ada kabut di dalam kereta, dan kenapa penumpang lain hanya diam tak merasakan dingin yang dibawa oleh kabut," Ibu terus menggerutu tiada jelas sambil menutupi kepalaku dengan kain gendongan. Mungkin maksud Ibu agar aku tidak kedinginan dari semilir angin yang ditimbulkan saat malam bersua tengah petang di dalam gerbong kereta nomor lima.

Walau kepala hingga seluruh badan bayi yaitu aku sendiri tertutup kain gendongan. Aku masih bisa mengintip di sela-sela pembatas antara gendongan dan penutup kepala yang juga kain gendongan. Mataku mulai melihat ke arah kanan dan ke arah kiri mencoba menikmati suasana hening dari ujung ke ujung gerbong kereta.

Kabut semakin tebal saja seakan sang kabut tiada memperbolehkanku menatap apa yang mereka bawa dan sembunyikan dibalik kegelapan warna yang dimiliki. Tetapi mataku adalah mata anugerah pemberian Sang Kuasa. Tetapi mataku adalah mata produksi langit dimana ke dua mataku sejak masih dalam gendongan selalu terang walau terpejam kedua-duanya.

Ada derap langkah sepatu pantofel terdengar sampai ke telinga kecilku. Ku rasa Ibu jua melihatnya itu sebab Ibu mulai tak tenang dari posisi duduk dan mulai memejamkan mata dan pikiran. Entah berpura-pura atau benar terpejam. Jelasnya aku terus didekap tangan-tangan Ibu agar aku tak takut lalu menangis.

"Tenang Nak Putraku sayang ada Ibu disini jangan takut mereka jua makhluk Allah. Kita lebih tinggi derajatnya dari pada mereka. Sebab mereka yang disebut setan dan kita yang disebut manusia," gumam Ibu menutupi mataku dengan kain gendongan sisa yang terikat di belakang punggung ibu sebagai pengait agar aku tak jatuh.

Kaki-kaki itu semakin mendekat berjajar rapi bak acara sekolah dalam pelajaran olah raga. Dari bidang study baris berbaris. Kaki-kaki itu berseragam lengkap berwarna hijau bak seragam pasukan negeri sakura saat masih berkisar kurang dari tahun empat lima. Hanya kaki berjalan ya hanya kaki sebab tubuh mereka tiada. Entah tiada atau ada sebab dari lutut ke atas tertutup kabut.

Hawa dingin mulai bertambah dingin terlihat dari jemari Ibu semakin menggigil tak karuan. Harum anyir darah semakin menyengat aku tahu dari hidung Ibu yang terus ditutupi kain gendongan ujung kain sama yang menutupi kepalaku.

Ingin rasanya aku meloncat lalu menendang satu persatu kaki serupa tentara lama sekitar kurang dari tahun empat lima. Agar mereka tahu bahwa melindungi Ibu adalah salah satu keharusan menjadi anak. Tetapi apa daya wadah tubuhku masih dalam bayi. Sedangkan niatku tak sebanding dari tubuh-tubuh dewasa yang hanya terus berkutat dalam otak tentang mimpi-mimpi sebagai bunga tidur belaka.

Kaki-kaki dengan derap langkah semakin mendekat ke arah kami. Mencoba menghitung akhirnya aku dengan suara lirih agak menggerutu tak jelas sebab lidahku belum terbiasa akan kosa kata baku dari otak dan tubuhku masih berlabel dua tahu jalan.

"Catu, ua, iga, mpat, ima. Hore-hore ima kaki," celoteh aku bayi lelaki berusia dua tahun dalam gendongan Ibu.

Beberapa mata menoleh akhirnya mereka tergugah dari tubuh-tubuh dewasa malas dan tidur ogah atas bangku kereta.

Aku hanya tersenyum menatap mata dari mata-mata mereka yang baru saja menguap dari mulut-mulut lelah mengoceh dengan dunia dewasa.

Setelah kaki-kaki dan hanya kaki entah apa ada badan atau tidak. Sebab kaki-kaki itu tertutup kabut telah melewati kami. Aku mulai tertidur dan Ibu tertidur, kami tertidur dalam gerbong kereta api nomor lima bangku lima A.

Dalam pikiran kecilku berkembang imajinasi liar dan berandai-andai belaka. Andai aku menjadi mereka yang dewasa tentu akan aku ajak berkelahi dari derap kaki-kaki dan hanya kaki yang lewat tertutupi kabut. Sebab mereka telah menakuti mata dan hati Ibuku.