Chereads / Catatan Ujung Teras / Chapter 8 - Janji tatapan mata

Chapter 8 - Janji tatapan mata

Waktu itu sudah teramat malam untuk dikatakan hari masih terang. Pukul 21:00 sudah tertera pada jam dinding tembok tetangga, sebab kala itu aku dan Ibu tengah ikut menonton acara televisi bertajuk Sunan Kali Jaga di rumah tetangga.

Maklumlah Bapakku hanya bekerja sebagai pembuat genting tanah liat dengan penghasilan per bulan tak seberapa. Malah sebulan harus pula dipotong untuk uang sewa tempat Bapak dan Ibu tinggal sambil membuat genting dialam perantauan.

Seminggu kemarin Kakek Ali datang dari desa menemui Bapak. Aku berdiri di sampingnya kala itu dengan tubuh masih teramat kecil untuk tahu tentang percakapan orang dewasa. Tetapi aku masih mengerti apa yang mereka ucapkan, sebab waktu itu aku sudahlah menginjak usia enam tahun berjalan. Aku Effendik berusia enam tahun dan sudah menginjak tingkatan sekolah dasar kelas pertama.

Walau aku terus menggelayut bermain di samping Kakek Ali berdiri di ujung teras. Satu sisi rumah semi permanen yang di sewa bapak berbentuk segi tiga beratapkan penuh daun rumbia. Aku masih mampu menangkap arah percakapan Bapak dan Kakek Ali kala sore setelah azan Ashar berkumandang.

Kata Kakek Ali, "Nak menantuku Bapak sudah semakin tua usianya. Jikalau tak ada satu dari kalian yang tinggal di Jombang, lalu siapa nanti yang merawat jenazah Bapak dan Ibumu saat kami tutup usia?"

Bapak hanya terdiam tak menyahut sepatah kata pun dan hanya bersandar tenang pada sebatang bambu penyangga teras. Seperti biasa Bapakku Kastury adalah sosok orang yang tak banyak berjanji, tetapi selalu menepati keinginan dari orang terdekatnya walau tiada pernah berjanji. Begitulah Bapakku Kastury dengan sikapnya yang begitu disiplin dalam hidup.

Bapak hanya berkata, "Insya Allah Pak, biar saya rundingkan dahulu dengan Dek Amanah."

Siang kemarin Kakek Ali sudah berpamitan pergi dan kami sekeluarga ada pula keluarga Pakde Sumadi menantu pertama dari Kakek Ali. Beliau suami dari Bude Kasmani, kakak dari Ibuku Amanah. Kami mengantar Kakek Ali pulang di setasiun Pasar Senen Jakarta Pusat.

Suasana haru-biru tergambar dari mimik dua keluarga melepas Kakek Ali pergi di balik kereta api Gaya Baru Malam pukul 14:30 WIB. Aku hanya memandang wajah-wajah orang tua ku tampak menetes air mata dari sudut wajah Ibu serta Bude Kasmani. Namun dari sisi Bapak serta Pakde Sumadi tidak tampak meleleh air mata mereka. Aku sebut saja mereka adalah para lelaki tangguk dialam perantauan sang panutan.

Malam ini sudah begitu larut bagiku Si Kecil yang masih perlu memegang genggaman tangan lentik Ibu. Si Kecil Effendik dengan langkah gemai berpipi tembam terus berceloteh, "Bu ayo pulang, ayo pulang," begitulah terus aku merengek pada Ibu yang masih asyik menonton acara televisi di rumah tetangga samping kanan Lio atau rumah semi permanen yang disewa Bapak.

"Baiklah anak tampanku tersayang ayo pulang. Rupanya sudah mengantuk ya kamu Nak, ya sudah mau gendong atau jalan kaki saja?" senyum Ibu tipis memberi aku pilihan dengan penuh memanjakan aku Si Kecil Effendik yang saat itu masih teramat kecil untuk menjatuhkan pilihan akan satu masalah hidup.

"Jalan kaki saja Bu," ocehan bibir kecil nan mungil ku mulai melambat dari raut wajah di dera rasa kantuk berat dan Ibu hanya tersenyum manis meraih tanganku lalu menuntunku pulang.

Saat itu kami tiada memiliki televisi, jangankan untuk membeli televisi. Untuk makan sehari-hari saja kami sudah bersyukur atas pemberian rezeki oleh Allah Taala.

Dalam perjalanan pulang aku terus mengoceh tak karuan. Dari nyanyian bintang kecil hingga bintang besar telah aku lahap sambil menari ala-ala anak kecil umumnya penuh kegembiraan.

"Bu kata Bapak besok kita hendak pulang ke rumah Kakek Ali di Jombang apa benar demikian Bu?" tangan kecilku menarik-narik sisi bawah baju Ibu. Sebab Ibu hanya melamun saja berjalan sambil menenteng tangan kanan ku. Sebab itu tangan kiriku aku pergunakan untuk memecah konsentrasi Ibu sambil melontarkan pertanyaan.

"Oh iya sayang, besok kita akan pulang dan tidak kembali lagi ke sini. Nanti Effendik akan tinggal di rumah Kakek Ali selamanya ya. Tidak apa-apa kan sayang, Ibu juga akan menemani Effendik kok di sana. Tinggal bersama Effendik dan Bapak di rumah Kakek di Jombang. Tetapi Effendik harus berjanji akan selalu menjaga Ibu dan Bapak serta menjaga Adik Effendik yang masih dalam perut Ibu Ini ya sayang?" mata Ibu tampak berlinang seakan iya tak rela meninggalkan alam rantau yang sudah seperti desanya sendiri.

Ibu tampak berjongkok dengan perutnya yang sudah membesar dari usia kehamilan delapan bulan berjalan. Ibu menatapku mencoba meyakinkanku bahwa dimana pun berada semua akan baik-baik saja.

Jari-jemariku tiba-tiba seakan bergerak sendiri tanpa perintah. Tangan kecilku mengusap air mata yang sempat jatuh di pipi halus Ibu seraya berkata pada Ibu, "Ibu dimana pun Effendik anak Ibu berada ingatlah sampai tua nanti. Effendik akan terus menjaga kalian, menjaga Bapak dan Ibu serta bakal Adik Effendik nanti, ya Adek Mas akan selalu menjaga mu. Cepat keluar ya Adek nanti kita main bareng."

Sampai di ujung rumah tepatnya di depan pintu Lio kami. Ada satu hawa menelusuk membawa rautan kengerian. Seakan ada hawa aneh menyelimuti Lio atau rumah semi permanen kami. Sebenarnya Ibu menangkap keadaan ganjil yang datang secara tiba-tiba di tempat Bapak dan Ibu membuat genting. Sekaligus rumah tempat kami beristirahat malam harinya.

Tetapi rupanya Ibu tak ingin aku merasa takut. Ibu ingin anak lelaki pertamanya menjadi sosok yang pemberani dan tangguh walau menghadapi sosok selain manusia. Ibu tahu kalau sedari lahir aku terlahir tiada umum seperti anak kebanyakan. Ibu jua tahu kalau mataku bisa menerobos alam-alam bawah sadar yang sering orang bilang alam tak kasat mata atau alam gaib.

Tangan Ibu menggenggam tanganku erat, bermaksud agar aku tak takut dan tak menangis. Sejenak Ibu membuka pintu Lio yang dibuat dibuka ke atas oleh Bapak dengan kedua sisi di sangga bambu-bambu kecil.

"Bu itu apa, aku takut itu ada separuh orang, tapi separuh lagi berbadan ular. Dia duduk di atas tumpukan tanah liat Bu," tangan kecilku mulai gemetaran memeluk Ibu. Ku tenggelamkan wajah dibalik kaki-kaki Ibu begitu ketakutan.

"Tenang sayang itu hannyalah bayangan, kalau Effendik tak membayangkannya pasti dia hilang," ucap Ibu walau Ibu sendiri begitu ketakutan. Tetapi Ibu selalu berusaha tenang menunjukkan wajah tiada takut demi membentuk aku menjadi anak yang pemberani.

"Baik Bu, Effendik adalah anak yang tangguh tidak takut," teriak ku membusungkan dada kecil berjalan di depan Ibu. Berharap dapat menjadi perisai dan tameng bagi Ibu saat ada mara bahaya menghampiri Ibu.

Tapi keadaan berbalik agak sedikit remang, tiba-tiba lampu templek yang terbuat dari botol bekas minuman energi. Sebuah lampu atau damar rakitan tangan Bapak sendiri padam secara tiba-tiba. Nyala api pada sumbu yang terpasang di atasnya seakan ada yang meniup.

"Astagfirullah Hal Adzim, bibir tipis Ibu bergumam komat-kamit seakan mengeja lafaz-lafaz ayat-ayat pendek dari Al Quran semampunya sambil terus mendekapku.

Ada sosok kobra besar muncul entah dari mana di depan kami. Kepalanya hampir menyentuh langit-langit Lio rumah semi permanen yang disewa Bapak. Badanya merayap begitu panjang hingga ekornya keluar dari Lio entah sampai dimana.

Tiba-tiba ada hawa dingin menjalar di tubuhku, sesuatu yang belum aku pahami. Seakan ada yang masuk ke dalam raga kecilku entah apa itu aku jua tak mengerti. Tapi yang jelas Effendik kecil begitu berani malam itu. Tangan kecilnya meraih sebuah batu lalu melemparkannya pas mendarat pada moncong kobra raksasa.

Ajaibnya kobra raksasa hilang seketika dengan lemparan batu yang dilempar tangan kecil Effendik. Nyatanya waktu itu yang aku rasakan antara sadar dan tidak sadar masih ingat betul aku waktu itu. Sebab usiaku jua sudah beranjak enam tahun berjalan tentu ingatanku sudah baik benar.

Kuraih tangan Ibu yang tengah terduduk sambil mendekap kepalanya ketakutan dengan sangat. Ku katakan pada Ibu, "Ibu sudah hilang Ibu ularnya, sudah Effendik usir dengan batu. Sekarang sudah aman Ibu, Ibu lihat bukan anak lelaki Ibu pemberani."

Ibu mendongak lalu berucap syukur sebab ular cobra raksasa sudah benar-benar pergi. Tangan-tangan Ibu kembali memelukku dan air matanya kembali pecah menetes pada kaos kecil yang aku kenakan.

Keesokan harinya kami sekeluarga benar-benar akan pergi untuk pulang kampung ke Jombang. Kami sempat berpamitan pada keluarga Pakde Sumadi di ujung teras Lio atau rumah semi permanen yang sudah tak disewa lagi oleh Bapak. Kami hendak meninggalkannya menitipkan kenangan-kenangan indah alam rantau di dalamnya.

"Dek apa tekadmu sudah bulat benar meninggalkan Mas dan Mbakyumu di sini?" ucap Pakde Sumadi memeluk Bapak penuh haru.

"Sudah Mas, ini kemauan Bapak, mungkin ada cerita tersimpan dan ada maksud baik dari gusti Allah akan ceritaku ini. Mas Sum baik-baik disini dan sering-sering kasih kabar pada kami. Sebab aku, Dek Amanah dan Effendik anak lelaki gantengku adalah saudara kalian," ucap Bapak masih dengan posisi saling berpelukan dengan Pakde Sumadi.

"Baiklah Dek dan pasti aku akan sering berkirim surat kepada kalian. Kalau memang sudah bulat tekad kalian pergilah semoga ada jalan yang terbaik di Jombang untuk kalian," ucap Pakde Sumadi melepaskan pelukannya pada Bapak.

Akhirnya kami sekeluarga meninggalkan bumi merah tanah perjuangan serta desa perantauan Sentullio, kecamatan Keragilan kota Serang. Bapak masih melambaikan tangan pada Pakde Sumadi yang terpaku melepas kami pergi. Aku hanya terdiam menatap Mas Duwi anak pertama Pakde Sumadi dan saling memandang dengan tatapan penuh arti.

Bahwa akan kembali bertemu suatu hari nanti bukan sebagai anak kecil. Bukan sebagai Si Kecil yang menggemaskan, tetapi sebagai jawara-jawara Dikdaya dan telah punya nama. Begitulah sekiranya janji yang tersirat dari tatapan mata kami penuh makna dan penuh arti dengan kesungguhan hati.