Chereads / Catatan Ujung Teras / Chapter 10 - My Vs Genderuwo

Chapter 10 - My Vs Genderuwo

Nyatanya hidup ini sudah berjalan dua puluh lima tahun lebih dua minggu. Tentang kisah-kisah Effendik bertangan kecil dengan tapak kaki dan langkah mungil serta ocehan tidak karuan khas balita berusia lima tahunan.

Memang masa seperti itu telah lama berlalu aku tinggalkan. Bahkan aku abaikan begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang.

Mungkin sesekali album kenangan berpigura pelangi dengan senyum manis khas bunga kuncup. Akan kubuka kembali sekedar melihat atau sekedar untuk mengenang. Bahwa aku pernah berlari di tanah merah, tanah para Sang Jawara dan kota para legenda kota Serang dahulu kala.

Saat ini biarlah kenangan menjadi sebuah bingkai emas akan kebahagiaan kala balita. Kusimpan rapi di pojok almari besi pada salah satu sisi ruangan hati. Bahkan mungkin lacinya terkunci rapat, ada berkas semua cerita kala masa begitu mungil.

Biarlah akan aku buka kembali suatu saat nanti, apabila nanti jauh di ujung hari menginjak masa subuhku. Akan aku ceritakan kembali pada sosok anak kecil yang memanggilku Kakek.

Namun sore ini adalah malam minggu, seperti biasa pada malam minggu seperti minggu sebelumnya. Atau minggu-minggu yang telah lalu. Bahkan mungkin saja minggu-minggu berikutnya yang akan terjadi. Ku pacu roda dua motor merah marun khas produkan negeri bunga Sakura bermodel metik tanpa gigi.

Menyusuri kota demi kota kala senja hampir semarai sambil bersenandung ala-ala penyanyi kelas nasional. Seakan jalanan dan aspal adalah sebuah panggung megah dan pengendara lain adalah penonton setia. Walau gerimis datang menyapa dengan salam redup dari mendung di langit.

Walau angin mulai kencang membelai dengan riuh-rendah suara tak beraturan. Aku tetap berjalan perlahan-lahan namun pasti membelah kabut-kabut yang terkadang ada melintasi kota-kota setelah kota Gresik hingga tujuan akhir Jombang tercinta.

Tolakan awal start menyalakan motor beroda dua ku memanglah kota Gresik. Sebuah kota impian dalam tujuan perjalanan akan cita-cita. Sebuah harapan tertumpu di salah satu pabrik yang berdiri semi permanen di salah satu desanya dan aku bekerja di sana.

Malam minggu ini entah malam minggu ke berapa aku sudah tiada menghitung lagi. Sebab terlalu sering setiap malam minggu aku beranjak pulang menuju kampung halaman sebagai perantau akan rindu pada Ibu dan Bapak.

Berkisar antara waktu satu sampai dua jam perjalanan aku beranjak dari kota Gresik hingga sampai di desaku. Sebuah desa kecil nan asri pinggiran kota santri Jombang beriman dari sebuah singkatan atau logo. Dimana logo selalu tertera pada gapura-gapura kampung bernada Jombang bersih, indah dan aman.

Tapi aku rasa slogan tinggallah slogan dan aku merasa yang lahir sebagai anal muda Jombang. Sedari dahulu Jombang adalah gudangnya berbagai macam orang sakti. Beberapa minggu yang lalu di desa tetangga sebelah selatan desaku.

Ada sebuah kejadian ganjil bin mustahil untuk diterima nalar. Ada satu peristiwa pada saat malam berkata tengah petang. Pada sebuah rumah janda yang tertangkap tengah berzina oleh warga. Sehingga di pelataran rumah warga dikepung beberapa pemuda hingga ke belakang rumah.

Walau menunggu beberapa lama, berniat untuk menyatroni maling barang sensitif janda. Nyatanya Si maling lebih cerdas dari puluhan pemuda yang mengepung.

Bahkan hingga terang hari dan matahari mulai bangun dari singgasananya. Pak Maling tiada jua kelihatan walau pun para pemuda sudah memaksa masuk ke dalam rumah tiada jua ditemukan.

Kata sesepuh desa setempat, dia sudah jauh berlari menggunakan kecepatan angin adaptasi dari ilmu sepi angin. Sebenarnya aku paham apa itu sepi angin dan kemana lari Si Maling. Bahkan aku sempat melihatnya. Tetapi waktu itu aku baru datang dan tak mengira kalau itu sosok maling yang sedang dicari.

Malam minggu kali ini sama seperti malam minggu kemarin. Aku pulang menuju kampung kelahiran dan sedikit lagi hampir sampai pada pelataran rumah sederhana buah karya Bapakku.

Rumahku sangat sederhana yang penting dapat ditinggali dan kami jua bukan keluarga yang terlalu berada. Lebih baik berucap syukur akan pemberian Allah Taala dan nikmati apa yang diberikan. Daripada bermewah-mewahan tetapi semua hasil menghutang.

Rumahku menghadap ke barat dengan kanan, kiri dan belakang sudahlah bangunan rumah milik tetangga. Desa Mojokembang tempatku di lahirkan sekarang memang sudah rapat dan berjubel rumah penduduk.

Pemahaman para orang tua untuk membuatkan rumah anak-anaknya yang telah menikah di samping kanan dan kiri rumah mereka itulah yang membuat desa semakin padat. Supaya tak jauh-jauh kalau rindu dengan cucu alasan mereka.

Jadi ibarat kata punya sanak-saudara di kampungku. Mungkin bisa dibilang dua rukun tetangga semua masih berbau saudara. Entah saudara kandung entah keponakan ataupun sepupu bahkan sudah agak jauh silsilahnya tapi tetap jalur saudara.

Depan rumah berjajar pohon-pohon budidaya buah hasil tanam Bapak dan Ibu. Pas di utara depan jendela kamarku, ada tiga buah pohon jambu kelotok varietas super dari Pujon Malang yang bergabung menjadi satu. Mungkin karena posisi pohon berdekatan, sehingga pohon menyatu seakan menjadi hanya satu pohon.

Agak sebelah selatan samping teras ada dua pohon sirsak berjajar setelah itu belimbing dan paling ujung. Pas berdiri di pojok pertigaan ada pohon mangga peninggalan Kakek Ali.

Dahulu sebelum besoknya meninggal Kakek Ali berpesan padaku, "Effendik cucuku, kakek besok mau pulang kembali pada Allah. Maaf Kakek tidak bisa meninggalimu apa-apa, hanya pohon mangga pojok rumah pas pertigaan itu. Rawatlah dengan baik jangan sampai kau tebang walau sebesar apa pun jua."

Begitulah pesan Kakek Ali atau Kakek Kasnam dan kala itu hari terakhir aku bertemu dengan Kakek. Karena hari besok pas setelah salat Subuh Kakek meninggal dunia. Sampai sekarang di usiaku ke dua puluh lima tahun pohon tersebut masih berdiri tegak di pojok pertigaan.

Sudah hampir magrib aku baru tiba di pelataran rumah Bapak yang nyatanya rumah Bapak tiada memiliki pelataran. Depan rumah sudahlah jalan raya hanya menyisakan sedikit bahu jalan dimana tempat itu dibuat Ibu menanam bunga.

Puluhan pot dan macam bunga berjajar di sana. Kata beliau agar rumah indah dan sebagai hobi jua terkadang menghasilkan saat bunga dibeli para tetangga.

Setelah memarkirkan motor di teras rumah bagian selatan. Aku bergegas masuk mengucap salam. Lalu meminta rahmat dari menjabat tangan Bapak dan Ibu seraya mengecup punggung tangan mereka.

Setelahnya bersua guyuran demi guyuran dinginnya air dalam bak mandi yang kini sudah terbiasa agaknya sudah tak terasa dingin. Menerpa kulitku dari ujung rambut kepala hingga mata kaki.

Menunaikan salat Magrib barang tiga menit untuk menggugurkan kewajiban menjadi rutinitas wajib setelah mandi. Kini segelas kopi hitam agak pahit sedikit gula barang kali satu sendok makan tak penuh masuk beradu dengan bubuk kopi di campur air panas-panas kuku dalam satu wadah gelas telah tersedia di sampingku.

Kala setelah magrib usai aku lebih suka duduk di ujung teras sebelah selatan memandangi pohon mangga bersama Bapak duduk bercengkerama saling tukar cerita. Bercerita tetek-bengek semua hal yang terlintas di pikiran kami ceritakan. Mulai dari kisah lumrah Bapak dan anak hingga ihwal kisah Nabi dan Rasul.

Terkadang kami mengenang masa dimana rumah Kakek Ali masih berdiri menghadap selatan dari pertigaan. Dimana jalan utama membujur dari utara ke selatan lalu dibelah pertigaan pas samping rumah Bapak yang sekarang menghadap Barat. Dahulu ada rumah Kakek di selatan rumah Bapak menghadap selatan pas menghadap rumah Pakde Sunawi di depannya.

Tiba-tiba Bapak bercerita tentang beberapa orang yang memberitahukan bahwa ada penghuni makhluk astral di dalam pohon mangga.

"Tole kata Mbok Jum kemarin saat bertemu Bapak. Katanya di pohon mangga kita ini ada penunggunya loh Le. Sosok tinggi besar hitam dan berbulu lebat. Apa makhluk sejenis itu bukannya Genderuwo Le?" ucap Bapak bertanya ihwal penunggu pohon mangga yang diberitahu Mbok Jum tetangga sebelah.

"Sebenarnya waktu kapan hari aku sudah ada yang memberitahu tentang hal ini Pak. Aku diberi tahu temanku depan rumah kita Si Khotib. Dia kan juga bisa melihat sosok-sosok gaib juga seperti aku Pak. Tapi sayangnya dia tak mau memiliki kelebihan yang dititipkan Allah yang sering disebut mata indigo itu," timpal ku menegaskan tentang pemberitahuan Bapak akan makhluk gaib penunggu pohon mangga.

"Kalau memang benar ada penunggunya biarlah yang penting tidak mengganggu dan kalau bisa ikut membantu mencari rezeki bagi keluarga kita," ucap Bapak mulai agak takut dan pesimis akan hantu genderuwo yang menempati pohon mangga pojok rumah.

"Loh ya tidak bisa begitu Pak. Tanah ini milik Allah dan kita sudah menempatinya turun temurun. Aku tak mau Pak kalau rezeki dibantu oleh setan. Rezeki ya berasal dari Allah dan Allah yang menetapkan bukan setan!" ucapku agak emosi mendengar argumentasi salah kaprah Jawa kuno yang muncul dari ke tidak tahuan akan hubungan setan dan manusia.

"Lah terus bagaimana Le, apa kita bisa memindahnya. Apa mungkin kita bisa mengusirnya agar tidak menempati pohon mangga lagi?" tanya Bapak semakin pesimis, tetapi bagiku lumrah sebab yang dibicarakan adalah tentang sosok genderuwo.

"Biar aku yang bertindak kali ini Pak. Bapak cukup tidur cepat saja malam ini," jawabku masih dengan agak marah.

Pada malam harinya setelah sore yang tadi aku dan Bapak bercakap tentang gendruwo yang menunggu pohon mangga pojok rumah. Aku berdiri di ujung teras paling selatan agak dipojok sisi Barat. Aku terus memandangi pohon mangga lekat dengan mata Indigo yang aku kuasai.

Tiba-tiba ada sinar aneh begitu merah selayaknya merah darah keluar. Membentuk utuh menjadi dua buah mata besar, sebesar ukuran baskom tempat berkat diacara kenduri. Mata tersebut seakan melotot begitu marah, ia seakan ingin melahapku yang terus memandanginya.

"Hei anak manusia, kenapa kau terus menatapku dengan pandangan jengkel. Seakan kau ingin mengusirku dari pohon mangga ini? Aku sudah lama tinggal disini dan pohon mangga ini rumahku," walau tanpa suara nyata, walau tiada orang dapat mendengar. Tapi aku mendengar teriakan dua mata besar secara terang-terangan menghardikku marah.

"Tunjukkan wujudmu utuh, aku tahu kau adalah genderuwo. Aku tahu kau adalah kodam dari isi batu akik milik Pakde Sumadi. Jadi aku pun marah kenapa kau tak menempati tempat aslimu. Malah kau bergelantungan di atas pohon mangga milikku?" aku mulai kesal dengan arogansi si genderuwo akan klaim sepihak akan pohon mangga.

"Kenapa kau ingin melihat wujudku utuh, apa dengan itu kau telah menantangku berkelahi? Kalau demikian baiklah akan aku layani. Jangan lari ketakutan sambil menangis ya wahai anak manusia. Saat aku menampakkan wujud asliku dan jangan kau kabur sebab kau telah menantangku. Maka akan aku kejar kau walau kemanapun jua kau berlari. Bahkan kau tak memiliki kodam untuk melawanku," ucap sosok dua mata mulai menampakkan wujud aslinya sebagai sosok genderuwo.

Akhirnya pas di depanku pada ujung teras rumah Bapak paling selatan agak ke pojok barat. Berdiri sosok tinggi besar berambut panjang acak-acakan. Memiliki badan lebar serta berbulu lebat hitam warnanya. Memiliki taring panjang dan kukuh-kukuh panjang berdiri pas di depanku sambil menggeram menakutkan.

Lalu terlihat tangannya mulai mengepal ingin menghantam wajahku. Sebelum iya menghantamku aku sudah melayangkan dahulu sebuah ajian pukulan Brajamusti yang aku dapat diturunkan dari Kakek Ali.

Dar,

Tubuh sosok genderuwo mental beberapa meter menerima pukulanku. Sambil menggeram kesakitan iya terlihat bangkit kembali. Tanpa banyak bosa-basi kulayangkan kembali pukulan Aji Brajamusti pas di dadanya.

Brak,

Iya kembali tersungkur kini iya agak sempoyongan untuk kembali berdiri. Namun ia tetap berusaha berdiri untuk melawanku sambil terus berceloteh, "Aku memang disuruh oleh Pakdemu Sunawi menempati pohon mangga milikmu. Katanya agar keluargamu tidak bisa berkembang masalah rezekinya."

"Dasar orang tua tidak tahu apa itu arti dari usia tuanya. Bahkan sifatnya tidak menunjukkan kalau ia orang yang kami tuakan. Terima ini pukulan terakhir dari ku, kalau kau masih mendiami pohon mangga milikku awas kau.

Bahwa Allah adalah pemilik semua bukan kau saja yang diciptakan menghuni bumi ini. Maka pergilah jangan mendiami pohon manggaku lagi terima ini aji Brajamusti!" teriakku melayangkan sebuah pukulan gaib kepada sosok genderuwo.

Bak, duar,

Sosok tubuh genderuwo terpelanting kembali ke rumah Pakde Sumadi. Keesokan harinya aku bercerita tentang pertarunganku semalam dengan sosok kodam genderuwo yang sebenarnya menempati batu akik milik Pakde Sunawi.

Tapi karena iri dengki kepada keluarga kami. Iya menempatkan sosok genderuwo di pohon mangga titipan Kakek Ali di sebelah pojok rumah pas pertigaan. Aku berkata pada Bapak, "Pak kalau besok ada yang jatuh sakit selama tiga hari itu berarti pemilik genderuwo yang semalam melawanku," lalu aku kembali pergi ke kota Gresik untuk bekerja lagi. Sambil menunggu malam minggu berikutnya untuk pulang.

Seminggu berikutnya pas malam minggu berikutnya. Memang aku benar-benar pulang lagi. Benar pula apa yang Bapak sampaikan tentang Pakde Sunawi yang pingsan terus menerus selama tiga hari. Pakde Sunawi jua menderita sakit muntah sambil terus buang air besar. Bapak yang semula belum yakin akan omonganku soal gaib akhirnya bertambah yakin akan ocehanku tentang hal-hal gaib yang selama ini aku sampaikan.

Kejadian ini menandakan bahwa orang tua belum tentu berpikir lebih tua dari usianya. Terkadang ia lupa diri akibat terlalu banyak bergaul dengan sosok setan durjana. Bahkan ia melupakan sisi kemanusiaannya dan tak menganggap saudara seseorang padahal sesama muslim kita bersaudara hanya mengedepankan iri dan dengki sebagai penyakit hati.