Sesaat sebelum hawa Magrib menjelang masih buram di sekitar pelataran rumah semi permanen samping pertigaan desa Sentullio. Waktu itu sore hampir pukul lima dan ufuk barat berkata akulah semarai dan aku di huni ribuan dari mereka yang tak terlihat oleh mata.
Kala itu sudah dua tahun benar usia ku dan sudah berinjak seminggu aku dan Ibu menemui Bapak pada alam merah perantauan. Kota Serang adalah labuhan keluarga kami mengadu nasib perbaiki kehidupan agar layak di pandang mata bagi mereka yang memandang.
Masih riuh di sudut samping emperan sebuah rumah permanen bernama Lio. Rumah panjang berbentuk persegi panjang tanpa dinding hanya beratap rumbia. Sebuah rumah bagi kami para perantau mengadu nasib. Demi rengek si bayi meminta sebotol susu, demi kegelisahan Ibu akan jatah uang belanja. Demi Bapak akan sebungkus dan sebatang yang terbakar pada ujungnya.
Aku masih ingat benar senja kala malam minggu. Remang masih menjadi primadona tepian desa. Bahwa hujan belum jua menyapa sebulan ini kata mereka yang menanam padi pada sawah belakang desa.
Langit mengedip agak merah bata berputar kelelawar mencari tempat-tempat buah segar.
Tapak kaki beberapa anak kecil memakai sarung, memakai kokoh dan berpeci hitam serta menenteng Al Quran di tangan kanan mulai berdatangan untuk pulang. Ujung desa sebelah utara pada teras Masjid Al Hidayah adalah sumber ilmu bersahut kata taman pendidikan Al Quran.
Aku mulai suka akan suasana remang kala semarai tiba. Mulai senang berlari mengitari pelataran agak luas depan rumah bernama Lio. Dengan tawa bibir kecilku sambil mengoceh syair sebuah lagu yang di ajarkan oleh Ibu sebelum tidur.
"Effendik anak Bapak yang ganteng jangan lari-lari sayang nanti jatuh," sekedar teriakan formal akan ujaran Bapak agar terlihat nyata akan kasih sayang dimata para tetangga yang tengah asyik berbicara sebaris masa depan tepian teras rumah bernama Lio tempat Bapak mengadu nasib.
Ada burung bernama hantu bertengger ogah pada ranting pohon mangga depan jalan agak ke seberang sisi kanan. Matanya melihatku dengan tatapan tajam terkadang hanya sekedar melirik picik terkadang tiada menghiraukan.
"Hust, pergi hayo sana terbang jangan hinggap di situ," rupanya Ibu tahu akan sorot mataku beradu pandang dengan mata burung hantu.
Rupanya Ibu mengerti akan kegelisahan pikiran pada kepala kecil di tubuhku. Akan pikiran penasaran dari bentuk yang belum pernah aku mengerti akan si burung mitologi pembawa pesan kematian.
Tetapi Ibu tak mengambil ku membiarkanku akan keceriaan dalam kesendirian. Tetapi Ibu tak segera menggendongku membiarkan kaki-kaki kecilku terus berlari bersama bayangan-bayangan ku sendiri.
Sesekali Bapak melihatku sambil tersenyum. Mungkin Bapak memastikan ku bahwa aku masih ada di depan teras tengah pelataran bermain dengan suasana bernama sendiri saat tiba menguapnya siklus aneh bernama semarai.
Warna hitam belum terang-terangan memonopoli terang. Gelap belum merambat membentuk malam. Entah kenapa sore seakan masih lama bertengger pada bumi. Tapi pergesekan diantara keduanya gelap dan terang menjadi sebuah nama berjuluk remang.
Angin berbondong-bondong menerpa desa membawa dingin teratur menyapu rumah-rumah warga dengan alur semilir. Mataku semakin bosan akan pandangan yang itu-itu melulu.
Aku merasa kadang menjadi balita terasa lelah bermain sendiri. Tetapi mereka yang disebut orang dewasa hanya memandang kami dengan rasa ingin tertawa.
Mereka merasa aku adalah sebuah komedi berpanggung kaki kecil dengan senyum polos yang bermata kecil serta kaki dan tubuh bahkan kepala yang kecil.
Masjid mulai berdendang syahdu akan Shalawat tarhim.
Timbul suara indah merambat dari muka pengeras suara bernama sepiker di atas menara atau atap Mesjid ujung utara desa. Masih sepi jalanan depan rumah walau terkadang sesekali pengendara melintas dan menyapa Bapak jua beberapa tetangga sebaya Bapak yang riuh-rendah asyik bercakap-cakap akan topik kehidupan dan ribuan harapan akan masa depan.
Ibu tak kunjung berdiri dari duduk bersila bersama beberapa Ibu-Ibu sebaya Ibu dan masih bernama Ibu muda. Pada teras tetangga sebelah rumah sisi utara agak menjorok ke depan dari rumah bernama Lio yang di sewa Bapak setahun yang Lalu.
Entah apa saja yang mereka perbincangkan bisa jadi berkisar topik tentang suami. Atau bisa jadi tentang harga cabai yang semakin melambung tinggi.
Pikiranku mulai kaku dan aku mulai ogah untuk terus bermain dengan sendiri. Aku menatap Ibu dan Ibu tak memandangku, aku menatap Bapak dan Bapak tak menghiraukan. Mereka terlalu sibuk dengan mereka yang disebut para tetangga.
Lalu kakiku mulai pegal dan entah bisikan atau hanya ide dari otak secara terlintas sesaat. Merayuku dengan jalan mengiming-iming akan kesenangan yang lain. Tubuhku mulai bereaksi secara otomatis menyahut sebuah perkataan-perkataan aneh di atas otak di bawah tempurung kepala.
"Yuk main ke dalam rumah saja kita ambil satu belati dari dapur. Kita bermain layaknya sebuah film jagoan pada serial televisi yang kau minati kemarin. Saat kau menumpang menonton pada tipi tetangga sebelah selatan rumah," sekiranya begitulah perkataan aneh terlintas terus membengung menjadi sebuah kalimat-kalimat rayuan atau ajakan bermain pada sisi bagian belakang telinga.
Ada daya tarik menarik seperti layaknya lambaian tangan dari dalam rumah bernama Lio tempat ayah membuat genting tanah liat. Ada senyuman aneh menyeringai pada bibir kecilku seakan ada sesuatu hal menarik mata dari sudut dapur. Saat aku berjalan sendiri agak sedikit berlari tanpa ada yang mengikuti. Tanganku mencoba meraih belati di atas meja kecil sebelah bakul tempat nasi.
"Oh ini namanya belati bagus ya seperti pada film-film," ungkapan otak hampir tak wajar dimiliki aku yang baru berusia genap dua tahun benar.
Aku berlari keluar menampakkan wajah senang serta riang gembira. Memanggil-manggil Bapak dengan terus berteriak tapi bukan nada dari suara ku sebenarnya. Si kecil Effendi yaitu aku mulai memperagakan seni bela diri dalam ketangkasan memainkan belati dapur pada teras rumah sambil terus tertawa.
"Hiak, hiak, akulah si buta dari gua hantu. Akulah raja Angling Darma yang gagah perkasa," semakin keras tawa bibir mungil dari wajahku. Pada akhirnya sampai jua di telinga Bapak yang tampak terkejut akan permainan baruku.
Wajah Bapak begitu ketakutan akan ku apa bila terjadi satu hal yang tak diinginkan. Bapak berlari menghampiri ku walau tak benar-benar mendekat padaku.
Akhirnya Ibu menghentikan ocehan pada teras rumah tetangga dengan para Ibu-Ibu tetangga. Wajahnya muram durja matanya semakin sembab akan tetesan air mata bagai hujan pun berlari menuju ku. Walau jua tak benar-benar mendekat padaku.
"Nak buang Nak itu Belati berbahaya jangan dimainkan begitu. Itu Belati sayang bukan mainan buang Effendik," Bapak terus mencoba mengambil Belati. Tetapi aku terus berusaha bermain dengan cara menusuk-nusuk namun hanya bergaya dengan sebuah belati ke arah Bapak.
Suaraku semakin berat dengan intonasi kasar. Suaraku semakin bukan suaraku terkuasai sebuah energi jahat hasil dari suasana remang dan kengerian kala semarai.
"Lihat Bapak, lihat Ibu, Effendik bisa seperti jagoan di film-film," aku terus meracau tiada menentu seperti bukan aku dalam usia balita dua tahun genap.
Beberapa saat para tetangga mulai berkerumun mendekat padaku. Walau tiada benar-benar mendekat kepada ku. Ada yang bergumam dan ada yang berusaha membujuk membantu Bapak di depanku tapi aku tiada memedulikan. Aku semakin asyik dengan permainan belati. Ibu hanya bisa menangis memanggil manggil namaku dengan imbuhan kata anakku ingat Nak ini Ibu.
Ketika tiba masanya terdengar merdu Muadzin berkumandang dari rangkaian lafaz panggilan salat bernama azan. Ketika itu aku merasa sudah tidak menyenangkan belati dan permainan jagoan di tangan ku. Ketika itu belati aku lemparkan begitu saja pada rerumputan basah dari embun yang mulai ada.
Ibu seketika merengkuh tubuh kecilku membawaku berlari ke dalam rumah. Sedangkan Bapak dan para tetangga yang berstatus Bapak-Bapak mulai mencari jatuhnya belati tapi tidak diketemukan jua.
Padahal tak seberapa jauh belati dapur terjatuh, padahal tangan kecil milikku dalam wadah bernama balita pada usia dua tahun genap. Seharusnya tiada mampu melempar begitu jauh sekiranya menjatuhkan tak terlalu jauh.
Tetapi belati lenyap tak di temukan jua walau terus mencari tak ada pula. Akhirnya cerita belati dapur berakhir ketika Masjid sudah berdendang merdu Ikomah sebagai awal terlaksana Fardu Magrib. Semenjak kala itu, semenjak waktu semarai di ujung barat pulau Jawa bernama kota Serang dimana perantauan berlabuh bagi Bapak dan Ibu.
Sejak peristiwa cerita belati dapur di buat sebagai peringatan para orang tua akan sebuah bahaya dikala semarai. Sejak itu Bapak dan Ibu selalu menutup pintu, menutup semua jendela dan ventilasi udara depan rumah.
Tak membiarkan aku untuk bermain sendiri kala waktu berkata akulah semarai dan aku dihuni ribuan makhluk yang kalian tak bisa melihatnya dengan mata kepala telanjang.