"R—rumah bordil?" tanya Xavier seakan-akan ingin memastikan bahwa dirinya baru saja tidak salah mendengar.
Telinga Xavier berdengung. Ia tahu rumah bordil itu tempat semacam apa. Semua pengetahuan itu Xavier dapatkan dari internet. Xavier sudah memiliki cukup banyak informasi tentang hal-hal paling mendasar yang ada di bumi. Bagaimana pun juga, Xavier harus membekali dirinya sendiri dengan banyak hal.
Sepoian angin pagi menerbangkan rambut coklat panjang milik Keisha.
Di bawah sinaran cahaya matahari, manik mata biru milik Keisha terlihat sangat hidup. Hidungnya yang mancung dan juga garis rahangnya yang tampak lembut benar-benar membuat visualisasi cantik Keisha tak dapat dibantah oleh siapa pun.
"Mn. Rumah bordil. Aku tidak tahu berapa lama aku berada di tempat itu. Tapi, aku rasa itu sangat lama. Mungkin ... dua bulan? Atau tiga bulan? Atau mungkin lebih dari itu? Aku juga tidak tahu," ungkap Keisha menjawab keragu-raguan Xavier.
Bagai dihantam tombak, hati Xavier tiba-tiba saja mencelos mendengar semua penuturan Keisha.
Ini benar-benar sangat jauh dari dugaan yang pernah Xavier buat di dalam kepalanya.
"Jadi, di rumah bordil itu, kamu ... kamu melayani para pria hidung belang?" tanya Xavier kecil.
Keisha tertawa kecil sirat rasa sedih yang mendalam. Hati Keisha terasa sangat hampa.
"Kenapa? Apakah kamu merasa jijik kepadaku?"
"B—bukan, bukan seperti itu maksudku. Aku tidak pernah berpikiran seperti itu untukmu. Aku ... aku hanya sekadar mencari informasi saja. Ya, seperti itulah," sergah Xavier cepat tak ingin Keisha salah paham kepadanya.
Keisha tersenyum tipis. Keisha rasa, tidak perlu ada hal lagi yang ia tutup-tutupi dari Elio. Elio sudah kembali. Dan Keisha pikir, Elio pasti akan menerima segala kekurangannya kendati saat ini Elio masih amnesia dan tak membawa ingatan apa-apa.
Keisha menarik napas dalam-dalam. Ia memutuskan kontak mata dengan Xavier lalu kembali menatap hamparan luasnya laut di depannya sembari berkata, "Bisa dikatakan seperti itu. Di rumah bordil itu, aku dipekerjakan sebagai seorang pelacur yang harus melayani nafsu belasan pria hidung belang setiap malamnya. Dan sekarang, aku merasa kalau tubuhku sangatlah kotor. Dosa-dosa menempel di tubuhku. Mereka tidak mau hilang meskipun aku sudah menggosok seluruh bagian tubuhku dengan sekuat tenaga. Elio ... aku kotor. Sudah banyak pria-pria yang menjamah setiap inci tubuhku."
Tepat setelah mengatakan hal itu, kepala Keisha tertunduk dalam menahan banyak emosi yang terpendam di dalam dada.
Hingga pada saat sebuah tangan mengusap lembut puncak kepalanya, barulah pada saat itu Keisha memberanikan diri untuk mengangkat kembali kepalanya. Kini, Keisha memusatkan atensinya pada sosok Xavier yang sedang tersenyum cerah kepadanya.
"Tidak apa-apa. Semua hal itu terjadi juga bukan karena keinginanmu, 'kan? Di sisi lain, kamu juga tidak bisa berbuat apa-apa. Melarikan diri pun terasa percuma. Bukankah seperti itu?" tanya Xavier dengan lembut, tak mau menghakimi Keisha begitu saja atau pun membuat Keisha semakin bertambah sedih.
Xavier tahu kalau saat ini Keisha pasti merasa buruk kepada Elio, kekasihnya sendiri.
Di sisi lain, Xavier sangat terkejut dengan ke-kompleksan hal yang menimpa Keisha.
"Saat ini, aku berada di sisimu. Kamu tidak perlu merasa takut untuk hal apa pun. Aku akan melindung mu, Keisha," sambung Xavier.
Pandangan mata Keisha menjadi kabur setelah mendengar ucapan sang kekasih. Wajah Keisha memerah sempurna. Dan tak berselang lama kemudian, setitik air mata jatuh dari pelupuk mata Keisha sebelum mendarat begitu saja di atas tanah.
Keisha membagi seulas senyum tipis pada Xavier. Hati Keisha merasa sangat lega karena Xavier dapat mengerti posisinya.
Jika bisa melarikan diri dari rumah bordil itu, maka Keisha sudah melakukannya sejak lama. Tapi, dengan banyaknya penjaga yang berjaga di sekeliling rumah bordil, pun dengan kaki dan tangan yang diikat menggunakan rantai di atas ranjang, Keisha sungguh tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis, menangis, menangis, dan menangis saat pria-pria busuk itu menyentuh tubuhnya.
Keisha tidak tahu dosa macam apa yang ia buat di kehidupan sebelumnya sampai-sampai ia menerima penghinaan semacam itu.
Xavier segera membawa Keisha ke dalam pelukannya, membiarkan Keisha terisak di sana.
Beberapa orang yang melintas tak jauh dari sana memandang Xavier dan Keisha dengan bingung. Mungkin, mereka berpikir kalau Xavier sudah menyakiti Keisha dan membuatnya menangis seperti itu. Padahal, kenyatannya tidaklah seperti itu.
"Aku meminta maaf karena bertanya mengenai banyak hal seperti ini kepadamu. Dengan segala ingatanku yang hilang, aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Beruntung aku dapat bertemu denganmu lagi. Karenanya, setelah ini, mari kita hidup dengan baik. Aku akan menjagamu dan tak akan membiarkan orang-orang jahat menyakitimu barang sehelai rambutku. Selama aku ada bersamamu, aku akan selalu melindungi mu. Melindungi mu dengan cara apa pun," ungkap Xavier menenangkan Keisha seraya mengusap lembut rambut coklat panjang milik Keisha yang terasa sangat halus bila disentuh.
Satu pertanyaan sudah Xavier dapatkan jawabannya, lagi. Mungkin, setelah ini, misi Xavier akan segera dimulai.
Xavier memiliki perasaan yang kuat untuk hal itu.
Dan yeah, kemungkinan besar, semuanya baru akan dimulai pada saat Xavier dan Keisha keluar dari unit apartemen sewa milik Xavier.
"Jangan tinggalkan aku lagi, hiksss ... aku takut, Elio. Mereka sangat jahat kepadaku," racau Keisha di dada Xavier dengan suara teredam.
Xavier mengangguk. "Aku tidak akan meninggalkanmu lagi, Keisha," balasnya.
Dan dengan begitu, Xavier memeluk Keisha lebih erat lagi. Membiarkan Keisha menumpahkan semua kesedihannya di dadanya. Xavier tidak peduli jika bajunya menjadi basah berkat air mata Keisha. Menurutnya, itu bukanlah masalah yang besar.
Sampai sepuluh menit kemudian, Keisha berhasil menenangkan dirinya sendiri. Kedua mata Keisha terlihat sembab. Matanya memerah karena terlalu lama menangis.
Xavier menyeka air mata yang masih bersarang di wajah Keisha dengan senyum menggantung di paras tampannya.
"Bagaimana? Sudah merasa jauh lebih tenang?" tanya Xavier kemudian.
Keisha menganggukkan kepalanya membenarkan. "Mn. Aku merasa jauh lebih tenang."
"Baguslah kalau begitu. Aku senang mendengarnya. Maaf karena sudah membuatmu menangis pagi-pagi begini. Tapi, jika aku diperbolehkan untuk bertanya satu hal lagi. Hanya satu hal untuk saat ini. Apakah kamu bersedia menjawabnya?" tanya Xavier hati-hati.
Keisha mengangguk. "Aku pasti akan menjawabnya."
"Kalau begitu, semenjak kamu ada di rumah bordil itu, apakah kamu pernah melihat siapa bos yang sebenarnya?"
"Aku bertemu dengannya hampir setiap tiga hari sekali. Dia selalu datang untuk menemui ku."
"Lalu, kamu tetap tidak mengenal siapa pria itu?"
Keisha menggeleng. "Tidak. Dia adalah pria paruh baya. Aku rasa, usianya tidak jauh berbeda dengan usia Ayahku. Pun, sejauh yang aku tahu, rumah bordil itu merupakan bisnis pribadi miliknya. Jadi, di sana bukan hanya aku saja yang digunakan sebagai ladang mencari uang untuknya, melainkan ada sekitar dua puluh perempuan lainnya yang mengalami nasib sama sepertiku. Rumah bordil itu sangat mengerikan," bisik Keisha lemah.
Xavier berhasil dibuat terbungkam. Ia jadi penasaran. Sebenarnya, seperti apa rumah bordil itu?