Chereads / Angels Like You / Chapter 29 - Tabir Zona Merah

Chapter 29 - Tabir Zona Merah

Xavier menghela napasnya berat tatkala ia membaca sebuah berita yang berisi pembunuhan misterius di zona merah, tempat di mana pelelangan itu berada.

Xavier tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Xavier juga merasa bingung memikirkan apa yang salah dengan dunia ini.

Sebab, 'bumi' di dalam pikiran Xavier adalah tempat yang menyenangkan. Tempat di mana orang-orang bisa tertawa bahagia bersama dengan orang-orang terkasih.

Tempat di mana orang-orang bersenang-senang dan lain sebagainya. Akan tetapi, gambaran indah itu seakan-akan langsung luluh lantah setelah Xavier diturunkan ke bumi.

Bumi yang menurutnya tempat yang menyenangkan, beralih menjadi tempat kelam untuk beberapa alasan.

Apakah selama di surga dulu Xavier hanya melihat sisi 'terang' dari bumi saja?

Lalu, selama beratus-ratus tahun lamanya, kenapa Xavier tidak bisa melihat sisi 'gelap' dari bumi?

Apakah semua itu tertutup karena ambisinya sehingga membuat Xavier menjadi buta?

Bukan Xavier yang tidak bisa melihat sisi 'gelap' itu, melainkan Xavier sendiri yang tak mau melihatnya.

Semakin banyak menghabiskan waktu di bumi, semakin Xavier mengerti kalau ada yang salah dengan tempat ini.

Kesalahan seperti ...

Kenapa manusia saling membunuh manusia lainnya?

Kenapa manusia bisa menjual manusia lainnya?

Hal ini lah yang membuat Xavier tak habis pikir. Xavier rasa ... bumi tidaklah seindah yang ia pikir.

"Apa yang sedang kamu lihat?" tanya Daniel penasaran saat melihat Xavier tampak fokus dengan ponselnya.

Saat ini, Daniel dan Xavier sedang berada di restoran yang tak jauh dari apartemen mereka berdua. Keisha tidak mau ikut dan meminta agar Xavier membawa makanan saja untuknya.

Oleh sebab itu, Xavier meninggalkan Keisha sendirian di dalam unit apartemennya setelah mewanti-wanti agar Keisha tak keluar dari dalam sana. Keisha menurut. Karenanya, Xavier pergi berdua bersama dengan Daniel sembari mencari udara segar.

"Ini? Apakah kamu tidak membaca berita yang baru diunggah sekitar tiga jam lalu oleh portal berita ternama?" tanya Xavier balik.

Daniel menggeleng. "Aku tidak membacanya. Memangnya, ada apa? Berita apa yang sedang kamu baca?"

Xavier menyerahkan ponselnya kepada Daniel, membiarkan pria itu membaca berita yang tertuang di sana.

Setelah membaca berita tersebut dari atas sampai bawah, Daniel lantas menyerahkan ponsel itu kembali kepada Xavier lalu menyeruput kopi miliknya dan berkata, "Bukankah itu adalah hal yang biasa terjadi? Jadi, untuk apa membesar-besarkan berita seperti itu?"

Xavier berdecak tak percaya. "Kamu ... tidakkah kamu merasa kasihan pada korban yang mati itu? Kepalanya dipenggal oleh orang asing. Dan sampai saat ini, pelakunya belum diketahui."

Daniel mendelik kepada Xavier. "Hei, kejadian seperti itu bukanlah kejadian pertama yang terjadi di zona merah. Di masa lalu, ada banyak sekali kejadian serupa yang terjadi. Karena hal itu pula aku pernah mewanti-wanti mu untuk berhati-hati selama berada di wilayah itu. Tempat itu bukanlah tempat yang aman bagi siapa pun. Tak ayal ada banyak sekali peristiwa pembunuhan yang terjadi, bahkan hampir setiap beberapa hari sekali," tukas Daniel biasa-biasa saja.

"Di sisi lain, aku juga yakin kalau polisi tidak bisa berbuat banyak untuk menangani kasus itu. Dan tak lama lagi, kasus itu pasti akan segera ditutup tanpa kejelasan, sama seperti kasus-kasus sebelumnya. Aku sendiri merasa aneh mengapa berita masih menuliskan semua kasus yang terjadi di zona merah kalau pada kenyataannya kasus itu tidak akan mendapatkan perhatian khusus dari banyak belah pihak," sambung Daniel kemudian.

Xavier tertegun. Ucapan Daniel menurutnya sangat amat kasar dan tidak menunjukkan rasa simpati barang sedikit pun kepada korban yang mati itu.

"Jika memang zona merah merupakan gudang dari berbagai kejahatan yang terjadi, kenapa tempat itu tidak dinetralkan saja? Bukankah itu akan menjadi jauh lebih baik? Dan dengan begitu, wilayah itu tidak akan dipanggil lagi sebagai zona merah. Kamu mengerti maksudku, 'kan?" tukas Xavier kemudian.

Daniel tertawa kecil setelah mendengar ucapan Xavier yang menurutnya terdengar konyol itu.

"Dinetralkan kamu bilang? Sekali kamu mencoba untuk menetralkan tempat itu, maka kamu akan berhadapan dengan banyak pemimpin-pemimpin mafia yang ada di kota ini. Jika semua tempat ingin dinetralkan, maka itu mengartikan tidak akan ada lagi tempat yang 'kotor', tempat di mana para mafia bisa bersenang-senang, bergerak bebas melakukan apa pun yang mereka mau. Kamu bisa bayangkan, jika hal itu terjadi, maka kekacauan akan terjadi di mana-mana. Para pemimpin mafia akan memberontak, dan itu bukanlah suatu hal yang bagus," balas Daniel tak setuju.

Sebagai orang yang sudah tinggal di tempat ini dalam jangka waktu lama, Daniel sudah memahami banyak hal. Daniel juga mengerti mengapa polisi kerap menutup segala kasus yang terjadi di zona merah begitu saja dalam hitungan hari setelah kasus tersebut terjadi. Hal itu tak lain dan tak bukan adalah karena pergerakan mafia di zona merah sangat tak bisa dikendalikan. Mereka terlalu liar untuk ditaklukkan. Oleh sebab itu, kebanyakan para polisi tidak mau memiliki keterlibatan lebih jauh dengan para mafia-mafia yang ada di sana.

Itu hanyalah dugaan Daniel saja. Namun, Daniel pikir, dugaannya sangatlah masuk akal.

"Jadi, kalau begitu, zona merah akan selamanya menjadi zona merah? Begitu maksudmu?" tanya Xavier setelah merenung sekian lama.

Daniel menganggukkan kepalanya membenarkan. "Kurang lebihnya seperti itu" balasnya pelan.

Xavier menelan saliva nya bulat-bulat. Itu terdengar sangat mengerikan.

Di sisi lain, Xavier tidak pernah tahu ada banyak mafia yang berkuasa di daerah itu. Xavier akui kalau zona merah merupakan tempat yang sangat tidak layak untuk dikunjungi. Dan untuk Xavier, orang yang pernah menjejakkan kakinya di tempat itu, Xavier tidak ingin menjejakkan kakinya lagi di sana.

Tiba-tiba saja, di saat-saat seperti ini, Xavier mengingat perihal dirinya yang pernah berdebat dengan salah seorang pria paruh baya di sebuah bar tak jauh dari tempat pelelangan berlangsung.

Sampai detik ini, Xavier masih mengingat orang itu. Orang yang bertarung dengannya untuk hadiah grand prize di akhir.

Orang yang memanggil Xavier dengan sebutan bocah.

Dan juga orang yang berlagak sengak seolah-olah ia adalah seorang penguasa.

"Daniel, menurutmu, ada berapa banyak mafia yang bergerak di zona merah itu?"

Daniel melirik Xavier sekilas sebelum menaruh atensinya kembali pada buku yang sedari tadi ia baca. Hingga tak lama setelah itu, Daniel bergumam dengan nada rendah, nada yang terdengar sangat menyeramkan, "Aku tidak dapat mengatakannya secara pasti. Namun, aku yakin itu akan menjadi lebih dari lima belas. Untuk wilayah sekecil itu, diisi oleh lima belas para pemimpin mafia, itu merupakan hal yang sangat menyeramkan. Belum lagi, di antara lima belas mafia itu, pasti ada salah satu mafia yang paling berkuasa. Mafia yang memiliki kuasa lebih besar dibandingkan dengan para mafia-mafia lainnya."

Jantung Xavier langsung bergetar setelah mendengar ucapan Daniel.

"Itu ... itu sangat—"

"Tapi, aku juga mendengar berita burung yang mengatakan kalau wilayah itu sebenarnya dipegang oleh salah satu mafia yang berasal dari California. Jadi, semua mafia yang ada di wilayah itu bisa dibilang hanya bagian terkecil saja dari pemimpin mafia asli yang berasal dari California sana."

"Benarkah?"

"Aku tidak tahu secara pasti. Namun, rumornya berkata seperti itu," balas Daniel mengecilkan suaranya, tak mau orang-orang di sekeliling mereka mencuri dengar apa yang tengah mereka bicarakan.