"Panggil paman saja, biar paman yang periksa. Aku pasti akan menjadi lebih baik," kata Arghi tiba-tiba mengagetkan Galant. Mata Galant langsung melebar, tenggorokannya menjadi kering dengan jawaban dari Arghi yang spontan itu.
"Arghi," bisik Galant dengan suaranya yang hampir tak terdengar.
Begitu juga Arghi yang tampak sadar dengan apa yang telah dia katakan barusan, seakan menguak luka lama kembali untuk hadir menyela pikiran dan perasaan Galant yang kian hancur dalam hitungan detik saja.
Arghi hendak membuka mulutnya, tetapi Galant tidak tahan berada di sini lebih lama lagi. Galant bangkit berdiri, tanpa kata meninggalkan Arghi begitu saja sendirian.
***
Galant terus berjalan dengan cepat melintasi koridor yang panjang seakan tak ada habisnya. Dia ingin menjauh-sejauh mungkin dari Arghi untuk sementara. Dia tidak tahu apakah Arghi sebenarnya sadar ataukah tidak bahwa sebenarnya ayah Galant sendiri telah tiada. Memang sangat sulit untuk menerima kenyataan seperti ini, termasuk bagi Galant sendiri.
Ketika Arghi seperti itu Galant lebih tahu sahabatnya yang kali ini benar-benar rapuh dan butuh dukungan di sekitarnya.
"Astaga," gumam Galant saat dia sudah berada jauh dari ruang rawat Arghi. Dia mengacak rambutnya kencang dan bernapas tidak beraturan dia bersandar pada dinding serta membenturkan pelan belakang kepalanya ke dinding untuk menyadarkan dirinya sendiri bahwa yang Galant lakukan dengan melarikan diri adalah sebuah kesalahan.
Tidak seharusnya Galant melarikan diri dan meninggalkan Arghi sendirian di sana, ruangan itu adalah asing bagi Arghi, apalagi dalam kondisinya seperti ini.
Mata Galant terasa panas semakin lama ketika mengingat kembali bagaimana ekspresi Arghi kala itu saat dia sadar bahwa ayah telah tiada. Kehidupan yang mereka jalani memang tidak berjalan sebagaimana mestinya dia dan Arghi rencanakan karena roda terus berputar dalam kehidupan yang kadang di bawah dan terkadang di atas. Namun, mereka tidak harus berhenti dan menyerah.
Galant akan selalu ada untuk Arghi memberikan apa yang Arghi inginkan di sini. Dahulu Arghi lah yang selalu merawat Galant di saat ayahnya pergi untuk bekerja di rumah sakit dari pagi hingga malam, maka kenapa Galant tidak dapat melakukan hal yang serupa?
Dia menyayangi Arghi lebih dari dirinya sendiri selama bertahun-tahun sejak mereka saling mengenal dan tumbuh di bawah atap yang sama. Jadi, mengapa Galant harus bersikap kekanakan seperti ini. Galant dan Arghi telah berbicara normal kembali dan karena tingkah Galant yang langsung lari dari ruangan untuk menghindari masalah yang tercipta justru Galant malah membuat jarak panjang kembali tercipta di antara mereka.
Dengan sekali sentakan Galant menegakkan tubuhnya. Akhirnya Galant memutuskan untuk kembali ke ruang Arghi dan mendapati Arghi masih dalam posisi yang sama. Berabaring dengan pandangan yang menghadap ke langit-langit. Galant rasanya ingin menangis saat ini juga.
"Aku ingin pulang," kata Arghi tanpa ekspresi yang sangat mengagetkan Galant yang masih diam membeku.
Namun, dengan cepat Galant membalas, "Tidak boleh, Ghi. Itu —,"
"Aku ingin pulang," potong Arghi seketika dengan nada dingin yang dia gunakan.
Galant menghembuskan napas kasar dan dia yakin melihat satu tetes air mata jatuh dari Arghi yang mengusap asal dengan cepat. Galant telah menyakiti Arghi? Hingga menyebabkan dia menangis seperti ini?
Arghi adalah dua tahun lebih tua dari Galant dan Galant tahu Arghi selalu menutupi tangisnya di depan siapapun. Kali ini Galant melihat untuk pertama kalinya Arghi menangis itu karena Galant sendiri.
"Baik. kamu tunggu di sini sebentar, Aku akan izin ke dokter atau perawat dahulu," kata Galant dengan suaranya yang pelan dan lemah.
***
Arghi mengurung diri di kamarnya sejak pulang dari rumah sakit, jujur saja Galant sangat khawatir. Dia telah mengetuk pintu untuk mengantarkan makanan yang telah dia pesan dari internet. Tapi tidak ada jawaban dan pergerakan dari dalam. Semuanya hanya keheningan di dalam sana.
"Arghi buka, setidaknya kamu harus makan," bujuk Galant dengan sabar. Dia tahu ini semua karena kesalahannya. Dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu terjadi pada Arghi kembali.
Galant berjalan dengan cepat menuruni tangga kemudian menaruh makanannya sejenak di atas meja dan berlari ke halaman rumahnya dia mendongak dan merasa sedikit lega saat mendapati Arghi yang berdiri di balkon seperti biasanya.
"Galant?" Galant berbalik mendengar suara tetangganya yang memanggil dari balik tembok pagar yang setinggi perutnya.
Dia memaksakan sedikit senyuman untuk kesopanan. "Tante Rina? Lagi apa di luar?"
Wanita paruh baya itu tersenyum ramah pada Galant. "Tante lagi bersihin halaman yang sedikit kotor. Lihat Arghi, ya?"
Galant mengangguk kecil, dia kembali mendongak menatap balkon dan tidak menemukan Arghi lagi di sana. Apa Arghi mendengar dirinya?
"Iya, Arghi mengurung diri di kamar dari kami pulang dari rumah sakit." Galant cukup akrab dengan Rina untuk menceritakan tentang Arghi.
"Tante turut berduka, tentang Ayahmu dan Arghi."
"Tidak apa-apa, Tante. Tapi mungkin Arghi masih sedih tentang dia yang kehilangan penglihatannya."
Rina menatap Galant dengan lembut, Rina kemudian tersenyum tipis. "Tante malah tidak merasa Arghi seperti itu, coba tanyakan pada diri Galant sendiri. Arghi itu tidak mungkin tenggelam dengan kesedihannya sendiri, Tante melihat antara Galant dan Arghi selama ini. Arghi itu selalu mementingkan orang lain ketimbang dirinya sendiri."
Galant diam mendengarkan, masih belum mengerti benar apa yang Rina katakan padanya itu.
"Galant, wajar jika masih sedih kehilangan Ayah. Ini baru satu minggu. Galant jangan pernah menyerah, Galant bisa meminta bantuan Tante jika butuh sesuatu. Tante juga nggak mau kejadian seperti malam itu terjadi lagi."
Galant mengangguk dan sedikit lega seolah beban terangkat di pundaknya. "Iya, Tante. Makasih banyak Tante, Galant pikir, Galant benar-benar sendiri sama Arghi sekarang."
Rina tersenyum simpul. "Galant nggak perlu sungkan, ada Tante sama Om."
Galant mengusap-usap belakang lehernya. "Iya, Tante. Galant masuk dulu ya. Terima kasih."
Ketika mendapati anggukan kecil dari Rina Galant berbalik dengan sopan dan melangkah.
"Galant?"
"Iya, Tante?" Galant mengangkat alisnya bertanya.
Senyum keibuan muncul dari wajah Rina. Andai saja Bunda seperti ini, pikir Galant dalam hati. "Ketika kalian sudah kembali baik, ajak Argi untuk berjalan-jalan di luar. Tante yakin Arghi akan senang."
Galant mungkin terlalu sibuk dengan kesedihannya sendiri samai membuat Arghi tidak ingin berbicara dengan dirinya dan lebih memilih untuk mengurung dirinya di kamar. Sepanjang Galant dan Arghi hidup bersama Arghi sama sekali tidak pernah marah dengan cara seperti ini seberat apapun dia marah, Arghi masilah tidak mendiamkan Galant dalam waktu lama.
Galant kemudian berkata, "Terima kasih Tante. Tante bisa datang ke rumah kapan saja, jika Tante mau."
Rina berwajah cerah dengan bibir melengkung dengan kekehan terselip di kata selanjutnya. "Iya."
Bersambung.
"Panggil paman saja, biar paman yang periksa. Aku pasti akan menjadi lebih baik," kata Arghi tiba-tiba mengagetkan Galant. Mata Galant langsung melebar, tenggorokannya menjadi kering dengan jawaban dari Arghi yang spontan itu.
"Arghi," bisik Galant dengan suaranya yang hampir tak terdengar.
Begitu juga Arghi yang tampak sadar dengan apa yang telah dia katakan barusan, seakan menguak luka lama kembali untuk hadir menyela pikiran dan perasaan Galant yang kian hancur dalam hitungan detik saja.
Arghi hendak membuka mulutnya, tetapi Galant tidak tahan berada di sini lebih lama lagi. Galant bangkit berdiri, tanpa kata meninggalkan Arghi begitu saja sendirian.
***
Galant terus berjalan dengan cepat melintasi koridor yang panjang seakan tak ada habisnya. Dia ingin menjauh-sejauh mungkin dari Arghi untuk sementara. Dia tidak tahu apakah Arghi sebenarnya sadar ataukah tidak bahwa sebenarnya ayah Galant sendiri telah tiada. Memang sangat sulit untuk menerima kenyataan seperti ini, termasuk bagi Galant sendiri.
Ketika Arghi seperti itu Galant lebih tahu sahabatnya yang kali ini benar-benar rapuh dan butuh dukungan di sekitarnya.
"Astaga," gumam Galant saat dia sudah berada jauh dari ruang rawat Arghi. Dia mengacak rambutnya kencang dan bernapas tidak beraturan dia bersandar pada dinding serta membenturkan pelan belakang kepalanya ke dinding untuk menyadarkan dirinya sendiri bahwa yang Galant lakukan dengan melarikan diri adalah sebuah kesalahan.
Tidak seharusnya Galant melarikan diri dan meninggalkan Arghi sendirian di sana, ruangan itu adalah asing bagi Arghi, apalagi dalam kondisinya seperti ini.
Mata Galant terasa panas semakin lama ketika mengingat kembali bagaimana ekspresi Arghi kala itu saat dia sadar bahwa ayah telah tiada. Kehidupan yang mereka jalani memang tidak berjalan sebagaimana mestinya dia dan Arghi rencanakan karena roda terus berputar dalam kehidupan yang kadang di bawah dan terkadang di atas. Namun, mereka tidak harus berhenti dan menyerah.
Galant akan selalu ada untuk Arghi memberikan apa yang Arghi inginkan di sini. Dahulu Arghi lah yang selalu merawat Galant di saat ayahnya pergi untuk bekerja di rumah sakit dari pagi hingga malam, maka kenapa Galant tidak dapat melakukan hal yang serupa?
Dia menyayangi Arghi lebih dari dirinya sendiri selama bertahun-tahun sejak mereka saling mengenal dan tumbuh di bawah atap yang sama. Jadi, mengapa Galant harus bersikap kekanakan seperti ini. Galant dan Arghi telah berbicara normal kembali dan karena tingkah Galant yang langsung lari dari ruangan untuk menghindari masalah yang tercipta justru Galant malah membuat jarak panjang kembali tercipta di antara mereka.
Dengan sekali sentakan Galant menegakkan tubuhnya. Akhirnya Galant memutuskan untuk kembali ke ruang Arghi dan mendapati Arghi masih dalam posisi yang sama. Berabaring dengan pandangan yang menghadap ke langit-langit. Galant rasanya ingin menangis saat ini juga.
"Aku ingin pulang," kata Arghi tanpa ekspresi yang sangat mengagetkan Galant yang masih diam membeku.
Namun, dengan cepat Galant membalas, "Tidak boleh, Arghi. Itu—,"
"Aku ingin pulang," potong Arghi seketika dengan nada dingin yang dia gunakan.
Galant menghembuskan napas kasar dan dia yakin melihat satu tetes air mata jatuh dari Arghi yang mengusap asal dengan cepat. Galant telah menyakiti Arghi? Hingga menyebabkan dia menangis seperti ini?
Arghi adalah dua tahun lebih tua dari Galant dan Galant tahu Arghi selalu menutupi tangisnya di depan siapapun. Kali ini Galant melihat untuk pertama kalinya Arghi menangis itu karena Galant sendiri.
"Baik. kamu tunggu di sini sebentar, Aku akan izin ke dokter atau perawat dahulu," kata Galant dengan suaranya yang pelan dan lemah.
***
Arghi mengurung diri di kamarnya sejak pulang dari rumah sakit, jujur saja Galant sangat khawatir. Dia telah mengetuk pintu untuk mengantarkan makanan yang telah dia pesan dari internet. Tapi tidak ada jawaban dan pergerakan dari dalam. Semuanya hanya keheningan di dalam sana.
"Arghi buka, setidaknya kamu harus makan," bujuk Galant dengan sabar. Dia tahu ini semua karena kesalahannya. Dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika sesuatu terjadi pada Arghi kembali.
Galant berjalan dengan cepat menuruni tangga kemudian menaruh makanannya sejenak di atas meja dan berlari ke halaman rumahnya dia mendongak dan merasa sedikit lega saat mendapati Arghi yang berdiri di balkon seperti biasanya.
"Galant?" Galant berbalik mendengar suara tetangganya yang memanggil dari balik tembok pagar yang setinggi perutnya.
Dia memaksakan sedikit senyuman untuk kesopanan. "Bibi Rina? Sedang apa di luar?"
Wanita paruh baya itu tersenyum ramah pada Galant. "Bibi lagi bersihin halaman yang sedikit kotor. Lihat Arghi, ya?"
Galant mengangguk kecil, dia kembali mendongak menatap balkon dan tidak menemukan Arghi lagi di sana. Apa Arghi mendengar dirinya?
"Iya, Arghi mengurung diri di kamar dari kami pulang dari rumah sakit." Galant cukup akrab dengan Rina untuk menceritakan tentang Arghi.
"Bibi turut berduka, tentang Ayahmu dan Arghi."
"Tidak apa-apa, Bibi. Tapi mungkin Arghi masih sedih tentang dia yang kehilangan penglihatannya."
Rina menatap Galant dengan lembut, Rina kemudian tersenyum tipis. "Bibi malah tidak merasa Arghi seperti itu, coba tanyakan pada diri Galant sendiri. Arghi itu tidak mungkin tenggelam dengan kesedihannya sendiri, Bibi melihat antara Galant dan Arghi selama ini. Arghi itu selalu mementingkan orang lain ketimbang dirinya sendiri."
Galant diam mendengarkan, masih belum mengerti benar apa yang Rina katakan padanya itu.
"Galant, wajar jika masih sedih kehilangan Ayah. Ini baru satu minggu. Galant jangan pernah menyerah, Galant bisa meminta bantuan Bibi jika butuh sesuatu. Bibi juga tidak ingin kejadian seperti malam itu terjadi lagi."
Galant mengangguk dan sedikit lega seolah beban terangkat di pundaknya. "Iya, Bibi. Makasih banyak Bibi, Galant pikir, Galant benar-benar sendiri sama Arghi sekarang."
Rina tersenyum simpul. "Galant tidak perlu sungkan, ada Bibi dan paman."
Galant mengusap-usap belakang lehernya. "Iya, Bibi. Aku masuk dulu ya. Terima kasih."
Ketika mendapati anggukan kecil dari Rina Galant berbalik dengan sopan dan melangkah.
"Galant?"
"Iya?" Galant mengangkat alisnya bertanya.
Senyum keibuan muncul dari wajah Rina. Andai saja Bunda seperti ini, pikir Galant dalam hati. "Ketika kalian sudah kembali baik, ajak Argi untuk berjalan-jalan di luar. Bibi yakin Arghi akan senang."
Galant mungkin terlalu sibuk dengan kesedihannya sendiri samai membuat Arghi tidak ingin berbicara dengan dirinya dan lebih memilih untuk mengurung dirinya di kamar. Sepanjang Galant dan Arghi hidup bersama Arghi sama sekali tidak pernah marah dengan cara seperti ini seberat apapun dia marah, Arghi masilah tidak mendiamkan Galant dalam waktu lama.
Galant kemudian berkata, "Terima kasih. Bibi bisa datang ke rumah kapan saja, jika Bibi menginginkan."
Rina berwajah cerah dengan bibir melengkung dengan kekehan terselip di kata selanjutnya. "Iya."
Bersambung.