Bibir Galant menipis di balik maskernya yang berlapis. Dia sedikit pusing mencium aroma obat yang pekat memenuhi lorong rumah sakit yang sudah sepi, di tambah dengan dirinya yang merasa terhimpit dengan dinding kokoh berwarna putih monoton yang berada di sekelilingnya sekarang.
Padahal Galant telah berjanji bahwa dia tidak akan datang kembali ke sini dengan Arghi setelah vonis kejam itu pada sahabatnya yang dengan cepat menghancurkan hidup Arghi hingga dia menjadi seperti ini untuk datang kembali ke rumah sakit. Warna putih dari cat tembok yang terhampar seakan membuat Galant semakin tercekik dengan udara semakin menipis dalam rongga paru-parunya, dia membiarkan matanya hanya menatap ujung sepatu dari waktu ke waktu. Menunggu setiap detiknya untuk sebuah ketenangan yang Galant harapkan datang untuk dia raih dalam pelukannya agar dia dapat masuk ke sana.
Tangan Galant mencengkram kursi dengan erat, takut-takut kecemasannya akan menjadikan dirinya menerobos masuk ke ruang rawat Arghi dan melakukan hal-hal yang menjadikan Arghi akan semakin menjauhinya. Galant seharusnya sudah di ruang rawat inap sekarang untuk berada di sisi Arghi, menggenggam tangannya dan membuatnya untuk menjadi lebih kuat, tetapi dia adalah seorang pengecut yang tidak bisa melewati masalah dengan benar. Galant tidak bisa melakukan itu semua, dia sebenarnya tidak lebih kuat dari Arghi yang masih bertahan di tahap ini. Galant belum pernah melihat Arghi menangis satu kali pun setelah dia dinyatakan buta. Dia lebih kuat dan Galant tidak bisa serti Arghi yang selalu dia kagumi sejak kecil ini.
Galant menarik napas kasar untuk menenangkan dirinya dari banyaknya masalah yang kian menghimpit, dan kepengecutannya yang begitu mendominasi bahkan hanya untuk sekadar masuk ke dalam ruang di mana Arghi berada, Galant merasa tidak mampu. Namun, pada akhirnya juga Galant harus melakukannya karena tidak ada siapapun yang akan masuk ke sana. Galant tidak lagi punya keluarga, semuanya telah pergi meninggalkan dia bersama dengan Arghi. Begitupun juga dengan Arghi yang sudah tidak memiliki siapapun dalam hidupnya saat dia masih sangat kecil.
Ketika keberanian Galant mulai berkumpul sedikit demi sedikit, Galant bergerak ke sisi pintu, mengambil beberapa tetes cairan pembersih instan pada botol yang menempel di dinding dan mengusap pada keseluruhan telapak dan punggung tangannya. Dia menarik napasnya dan menghembuskan dengan kasar.
Galant membuka pintu dengan ujung kakinya, lalu mulai melangkah masuk bersamaan dengan detak jantung Galant yang kian memacu cepat hingga Galant harus berkedip beberapa kali untuk menormalkannya kembali agar dirinya dapat berbicara dengan benar terhadap Arghi nantinya. Mata Galant mendapati Arghi tengah menatap lurus ke arahnya membuat bahu Galant semakin menegang dengan tatapan itu. Namun, dia kembali lemas saat dia menyadari bahwa Arghi tidak benar-benar sedang menatapnya dan mengingat fakta bahwa Arghi tidak melihat Galant.
Galant diam membiarkan matanya mengembara dan berdiri di tempat yang sama dan tidak beranjak untuk segera menghampiri Argi di sana, bibir Galant terkunci rapat tidak mengeluarkan patah kata pada Arghi. Jantungnya bergemuruh seiring Galant yang semakin ingin memecah hening di antara mereka.
Galant mengamati Arghi yang kehilangan berat badannya, pipinya tirus dengan kantong mata tebal. Perban putih yang mengikat kepala Arghi tenggelam di balik rambutnya yang sedikit mulai memanjang. Galant menyalahkan dirinya sendiri karena kurangnya perhatian, dia sibuk dengan dirinya sendiri tanpa tahu bagaimana dengan kondisi sahabatnya sendiri ini.
"Arghi?" Galant tidak tahu suaranya akan terdengar kasar seperti ini karena tenggorokkannya menjadi kering, padahal Galant sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya menginginkan agar eksistensi membuat Arghi tahu bahwa yang datang adalah Galant bukan orang lain.
Arghi tidak tampak terkejut dengan kehadiran Galant di kamar ruang inap, membuat Galant merasa perasaan lega dan juga tampaknya Arghi telah mengetahui bahwa dialah yang datang sejak awal bukannya dokter. Galant hampir goyah saat melangkah ke sisi Arghi dan berdiri kaku. Keraguan melintas saat dia ingin membuka suaranya kembali, tapi Arghi tetap bungkam dengan bibir yang ditarik lurus. Tidak, ini bukan seperti Arghi yang Galant kenal yang selalu dengan senyum menghiasi bibir itu dan juga juga Arghi kehilangan rona pada wajahnya yang sekarang pucat layaknya kekurangan sinar matahari dalam hidupnya untuk beberapa lama.
Galant berjanji pada dirinya sendiri tidak akan mengungkit kejadian Arghi yang terjatuh dari tangga lagi, dia tahu bahwa Arghi tidak akan melupakan kejadian itu dengan mudah. Namun, Galant harus tahu diri bahwa ada saatnya hal-hal seperti itu tetap harus tersimpan di dalam.
"Arghi ingin makan apa? Nanti aku akan memesannya." Semuanya menjadi canggung. Galant hanya berbasa-basi, dia sebenarnya tidak tahu harus mengatakan apalagi mengenai Arghi sekarang. Ini tampaknya telah membuat hubungan mereka merenggang dan Galant tidak ingin itu terjadi. Galant ingin Arghi yang dulu dengan sifatnya yang hangat.
Namun, Arghi tidak menjawab kepalanya hanya lurus ke depan dengan pandangan kosong yang Galant harap mata hitam itu melihat Galant dengan berbinar seperti biasanya, tetapi nyatanya itu hanyalah angan yang berada di dalam kepala Galant sekarang. Galant menarik kursi untuk dia duduki menciptakan derit yang yang mengisi setiap sudut ruang untuk cukup menarik atensi Arghi kembali.
Galant akan terima dengan semua kemarahan Arghi padanya, tapi bukan yang seperti ini. Bukan diam yang dia inginkan. Dia menginginkan Arghi yang berteriak, mengoceh seperti dia biasanya memarahi Galant setiap hari. Bahkan Galant rela melakukan banyak kesalahan agar Arghi untuk marah padanya, tetapi kesalahan ini sama sekali tidak dia buat, Galant tidak menginginkannya sama sekali.
"Aku sekarang bisa melihat cahaya," kata Arghi hampir tidak terdengar. Galant hanya mampu berkedip beberapa kali memproses perkataan Arghi dan membuat suara tersedak di belakang tenggorokannya. Pasalnya Galant tidak tahu apakah ini kabar baik atau buruk bagi Arghi, dia tidak ingin salah bicara.
"Ini kabar baik." Bibir Arghi melengkung membentuk sebuah senyuman yang seketika membuat Galant terdiam menatapnya seolah ada jeda di antara mereka sehingga menciptakan perut Galant seolah melilit dengan hanya melihat senyuman itu bertengger di sana. Seakan telah bertahun-tahun Galant tidak melihat senyum itu lebih lama dan dia tidak tahu bahwa dirinya begitu merindukan momen ini bagi mereka berdua.
Galant merasakan suasana ruangan menjadi lebih ringan dari sebelumnya terlepas dari semua yang terjadi pada mereka, setidaknya Galant bisa menyingkirkan sejenak beban itu di pundaknya untuk dunianya hanya fokus pada Arghi sekarang. Ragu-ragu Galant ikut tersenyum lebih tulus dari manapun, walaupun Arghi tidak bisa melihatnya yang membuat Galant sedih.
"Galant sekarang lebih pendiam." Suara Arghi kembali mengisi indera pendengaran Galant hingga mata Galant bergulir dari bibir merah itu untuk kembali menatap wajah Arghi dengan benar. Galant terbatuk kecil dengan reaksinya yang entah mengapa merasa sangat aneh dengan dirinya sendiri.
Dia baru sadar dengan perkataan yang Arghi ucapkan padanya hingga dia baru merespon dengan mulut Galant menganga tak percaya, Arghi sekarang seperti sahabatnya lagi. Hingga Galant sulit berkata. "Tidak, aku tidak."
Bodoh.
Kata Galant pada dirinya sendiri, dia salah tingkah dengan reaksinya sendiri. Dia melihat kemanapun menjauhi pandangan Arghi dan pada akhirnya mata Galant kembali ke sahabatnya ini yang Galant bisa melihat dengan jelas bibir sudut bibir Arghi yang melengkung tipis. Apakah Tuhan menjawab doa Galant sekarang?
Dia merasa sangat gugup sekarang dan tanpa sadar dirinya meraih tangan Arghi untuk dibawa masuk ke dalam genggamannya. Mata Galant menjadi melebar ketika dia menyadari dengan apa yang telah dia lakukan sekarang saat tangan Arghi yang lainnya membungkus tangan mereka dengan sebuah kehangatan lainnya. Galant tidak ingin kehilangan kehangatan ini dan dia hanya bisa diam merasakan momen ini.
"Kenapa?" tanya Arghi. Galant yakin pastilah ada sesuatu yang menyebabkan Arghi datang dengan sikap ini sekarang. Namun, seharusnya hal ini dapat Galant syukuri dibandingkan dengan dia yang mengeluh sepanjang waktu.
Galant hendak menjawab dengan membuka mulutnya hanya untuk dia tutup kembali. Dia ragu mengatakannya, tetapi Galant tidak ingin percakapan mereka yang canggung ini hanya berhenti di Galant yang tidak mengatakan sepatah kata apapun untuk menanggapi Arghi.
"Mmm..., Arghi kepalanya masih sakit?" tanya Galant yang pada akhirnya menanyakan keadaan itu setelah sekian lama yang seharusnya dia tanyakan lebih dahulu sebelumnya. Dia melihat Arghi berkedip dan lengkungan yang berada di bibir Arghi tidak luput dari pengamatan Galant yang kembali lurus kehilangan ekspresinya. Tampaknya Arghi kembali mengingat kejadian itu lagi yang membuat mereka sampai di rumah sakit ini dan hal itu membuat Galant merasa bersalah. Dia meremat tangan Arghi lebih erat lagi, Galant seharusnya tidak mengatakan perihal ini kembali.
"Iya, sedikit," jawab Arghi seolah suaranya yang diseret keluar dari tenggorokannya.
Hening kembali membungkus. Canggung rasanya dengan suasana seperti ini. Namun, diam-diam Galant menikmatinya dengan tangan Arghi yang tengah dia genggam, ingin rasanya Galant mentransfer semua kekuatannya dan semangatnya pada Arghi seperti ini agar dia bangkit kembali.
"Arghi, mau aku panggil dokter?" tanya Galant merasa khawatir dengan kondisi Arghi yang tengah merasakan rasa sakit di kepalanya ini. Dia tahu jarak tangga dari lantai dua ke lantai satu sangat panjang dan tinggi, itu pastilah sangat sakit di tambah dengan kepalanya yang membentur pecahan guci.
"Panggil paman saja, biar paman yang periksa. Aku pasti akan menjadi lebih baik," kata Arghi tiba-tiba mengagetkan Galant. Mata Galant langsung melebar, tenggorokannya menjadi kering dengan jawaban dari Arghi yang spontan itu.
"Arghi," bisik Galant dengan suaranya yang hampir tak terdengar.
Begitu juga Arghi yang tampak sadar dengan apa yang telah dia katakan barusan, seakan menguak luka lama kembali untuk hadir menyela pikiran dan perasaan Galant yang kian hancur dalam hitungan detik saja.
Arghi hendak membuka mulutnya, tetapi Galant tidak tahan berada di sini lebih lama lagi. Galant bangkit berdiri, tanpa kata meninggalkan Arghi begitu saja sendirian.
***
Terima kasih telah membaca