Irvi turun dari gendongan Nathan dan menatap tajam ponsel Zeana yang menunjukkan gambar Zeana bersama pemuda tadi.
"Maksud lo apa sih Ze? Fotonya juga kagak ada yang aneh!"
Zeana menatap ponselnya, lalu menunjuk wajah pemuda tadi, "Liat matanya!"
Nathan mengernyit, "Biru, kenapa? Lo juga pengen punya mata warna biru?" tanya Nathan bingung.
Nathan menatap keduanya kakaknya masam, "Dia ngeliriknya ke gue tahu! Gue tuh aslinya cantik, cuma ketutupan cahaya silaunya Kak Irvi aja!" sahut Zeana ngasal.
Alis Irvi menyatu, "Dih, kok lo bawa-bawa gue?"
Zeana mengangkat dagunya, "Kenyataannya maksa gue jujur kali, Kak!"
Nathan menggaruk dagunya, "Please deh, jangan bilang lo lagi insecure sama kakak sendiri?" tebak Nathan.
Zeana meringis, lalu mengangguk dengan wajah kecut.
Irvi segera mencengkram pipi Zeana, "Lo tuh cantik! Tapi ga mau ngaca aja," sambar Irvi dongkol.
Zeana melepas genggaman tangannya dan menatap Irvi malas, "Gue alergi kaca oke? Takutnya gue ga percaya sama surga kalo gue kebanyakan ngaca!"
"Kenapa?" tanya Nathan bingung.
"Emang ada kaitannya surga sama ngaca ya?" Irvi tak kalah bingung.
Zeana tergelak sebelum menjawab, "Karena gue liat bidadari waktu gue ngaca, makanya gue mikir, jangan-jangan surga udah ancur dan bidadari-bidadarinya lahir ke bumi!" canda Zeana.
Nathan terperangah ketika mendengar jawaban tersebut.
Berbeda dengan Irvi yang langsung menjewer telinga Zeana dan memonyongkan bibirnya, "Otak lo tukeran tempat sama usus ya, Ze?"
Zeana menepis tangan Irvi, "Bosen banget sih! Lain kali gue mau liburan sendiri aja lah! Ribet banget bawa Kak Irvi, sukanya main tangan mulu!" curhat Zeana.
Irvi menepuk tangannya seolah membuang debu dari telapak tangannya, lalu menatap Zeana datar, "Harusnya, lo tuh ngerasa beruntung, karena ga semua orang gue perlakuin demikian, lo tuh spesial!"
Zeana mengeratkan gerahamnya, "Kali ini gue benci lo spesialin kak!"
Nathan terbahak, lalu merangkul Zeana di sebelah kanannya, dan merangkul Irvi di sebelah kirinya.
"Cafe yang lo maksud, itu kan Vi?" Tunjuk Nathan pada suatu cafe bertema buku yang tampak unik dari luar.
Irvi mengangguk, "Bagus kan, kak? Gue searching dulu tuh! Banyak selebgram yang liburan ke sini dan singgah ke situ!" terang Irvi yang memang selalu update.
Zeana mengangguk-angguk saja karena malas menimbrung pada obrolan yang bukan tentang dirinya.
Zeana terperangah ketika memasuki cafe tersebut, bau roti bakar dan kopi menguar harum. Furnitur dari kayu nampak klasik dengan lampu gantung yang jadul. Zeana melirik barista yang nampak ahli meracik kopi, dan.. waw! Zeana bersorak dalam hati ketika mendapati banyak rak dinding yang dipenuhi buku dan beberapa vas dengan warna pastel diisi dengan beberapa tangkai bunga yang sudah dikeringkan.
Tidak kekurangan privasi, setiap tempat duduk diset untuk beberapa orang di sekat dengan rak yang berisi majalah beragam topik.
"This is true heaven!" Zeana berdecak kagum.
Irvi tersenyum bangga ketika kafe yang dia sarankan disukai Zeana yang terlalu sulit untuk mengakui kekagumannya pada sesuatu selain senja dan hujan.
"Kevsana yok!" Irvi menarik tangan Zeana menuju sudut yang tak terjamah banyak orang, pas dengan 3 kursi. Irvi tak mau ada orang iseng yang tiba-tiba duduk diantara mereka begitu saja.
Zeaana duduk di pojok samping jendela, kaktus mungil bertengger di sudut kusen jendela, membuat Zeana meringis karena gemas.
"Kak.." Zeana menyikut Nathan.
"Apa?"
Zeana memasang puppy eyes andalannya, hal yang selalu ia lakukan ketika meminta suatu barang,
"Ada maunya nih," tebak Nathan.
Zeana nyengir lebar."Gue mau kaktus kaya gini," lirih Zeana sembari menunjuk kaktus tersebut.
"Stop!" bisik Irvi dengan suara agak keras.
Nathan dan Zeana langsung mengalihkan pandang ke arah Irvi dengan tatapan aneh.
Irvi menunjuk tangan Zeana, "Tangan lo diem dulu! Mau gue foto! Gue mau atur pencahayaannya dulu!" peringat Irvi.
Zeana menarik tangannya ketika Irvi masih sibuk mengotak-atik ponselnya, "Kenapa harus tangan gue? Tangan lo kan juga bagus, kuku lo aja warna-warni gitu!"
Irvi merotasikan bola matanya, "Ayolah Ze! Kuku gue warnanya Lilac sama Grey, ya kali pantes buat foto aesthetic bareng kaktus yang warnanya ijo! Lah lo kan netral! Tangan lo mulus juga!"
Zeana mendengus, "H gimana nih posisi tangan gue?" Pada ujungnya pun, Zeana memutuskan untuk patuh agar permasalahan foto kaktus aesthetic itu segera selesai.
"Nah, gini!"
Nathan yang tak mau ikut ribut membuka ponselnya, dan mencari tahu tentang cafe yang saat ini mereka tempati.
Selagi melakukannya, Nathan melirik ke sekelilingnya, kagum, tapi seolah terbiasa dengan hal-hal indah tersebut, Nathan tak bisa kagum terlalu lama.
Suasana hangat di kafe ini seolah terbentuk dengan kesan yang begitu kental dengan ilmu, terbukti dengan beberapa buku yang berisi tentang kiat-kiat hidup sehat, dan trik-trik kecil dalam kehidupan sehari, novel-novel motivasi, dan artikel penuh manfaat.
Insting tajam Nathan merasa ada yang salah, ia merasa ada yang memandanginya dari suatu arah yang jarang dijangkau oleh banyak orang.
Nathan menajamkan indra perasanya, lalu melirik ke arah pintu masuk, dibalik rak-rak buku yang berdiri berjajar, sudut ruangan.. tak ada yang mencurigakan satu pun.
Zeana yang menyadari bahwa Nathan tak fokus segera menepuk pundak Nathan.
Zeana memutuskan untuk bertanya. "Kenapa kak?"
Nathan menggeleng pelan lalu melirik Irvi yang masih fokus mengedit foto yang diambilnya.
Nathan merunduk, menyejajarkan mulutnya dengan tinggi telinga Zeana.
"Gue tahu insting lo kuat, lo nyadar ga, kita ada yang ngikutin?" lirih Nathan.
Bulu kuduk Zeana meremang ketika mendengarnya, ia lalu melirik ke tempat-tempat yang mungkin di duduki oleh spy, dan aura kegelapan kental Zeana rasakan.
Rasa menekan yang pernah ia rasakan beberapa tahun silam kembali menerpanya. Zeana menegang, lalu melirik ke arah lantai dua yang dapat dilihat melalui celah tangga kayu.
Zeana menajamkan pandangan ketika mendapati seorang laki-laki berkulit putih serta berambut merah jingkrak menatap mereka, lebih tepatnya menatap ke arahnya tajam.
Zeana berusaha untuk mengumpulkan keberaniannya untuk menatap mata itu lebih lama. Semakin kelam dan menakutkan. Tatapan mata lelaki itu seolah pusaran air yang menyedot Zeana ke dasarnya.
Dan Zeana semakin takut ketika lelaki itu menatapnya seolah ia begitu tersiksa dalam sebuah belenggu yang Zeana tak ketahui wujudnya. Zeana menangkap sorot takut dan harapan dalam matanya.
Zeana terguncang. Mata lelaki itu seolah penuh dengan rasa bersalah, alisnya yabg turun seolah ia punya kekecewaan yang begitu dalam
Zeana memejamkan matanya, berusaha meredakan ketakutan yang menguasai hatinya. Setelah berusaha mengendalikan gemetar tangannya, Zeana menepuk tangan Nathan pelan.
"Kak, kita balik sekarang!" perintah Zeana dengan suara berat
Nathan melihat buliran keringat di pelipis Zeana, lalu mengangguk tanpa banyak kata.
"Vi, kita pulang sekarang!" gumam Nathan.
Irvi yang kaget hampir saja menjatuhkan ponselnya, lalu menatap Nathan tak percaya, "Hah? Lo bilang apa, Kak?"
"Kita pulang sekarang," tegas Nathan.
Irvi menggeleng tak mengerti, "T-tapi kenapa? Kita aja belum pesen minuman?" tanya Irvi.
Nathan menatap Irvi tajam, "Please, nurut tanpa banyak tanya!"
Irvi menelan ludah, lalu mengangguk dengan berat hati. Ia langsung merapikan barang-barangnya dengan cepat dan bangkit menyusul Nathan yang merangkul Zeana.
Irvi faham, tanpa sepengetahuannya, ada sesuatu yang baru saja terjadi.