Chereads / De Pluvia / Chapter 28 - 26. Noctem Obscuram. <Kegelapan Malam>

Chapter 28 - 26. Noctem Obscuram. <Kegelapan Malam>

Suara burung hantu terdengar begitu merdu di tengah malam yang damai dan sunyi. Di suatu ruangan kamar hotel berbintang lima yang mewah, 3 bersaudara terduduk di sofa mahal.

15 menit sudah hening berhasil mengambil jeda antara mereka. Irvi memainkan kuku warna-warninya, sedang Zeana memilin ujung kemejanya yang sudah kusut. Nathan mengamati Zeana tajam.

Irvi mengambil nafas panjang, ia mulai jengah dengan keheningan yang menurutnya amat menyiksa ini. Ia mendongak ke arah Nathan, nyalinya menciut ketika aura suram menguat dari tubuh Nathan.

"Kak, bisa lo kasih tahu alasan kita langsung pulang gitu aja?" tanya Irvi pelan, takut memancing amarah sang kakak.

Irvi ingat sekali ketika mereka bertiga berjalan dengan langkah lebar dan cepat, bahkan harus menaiki taksi tanpa menunggu bodyguard membawakan mobil pribadi. Irvi merasa ada hal buruk yang terjadi, tapi ia tak punya keberanian untuk menanyakannya.

Nathan semakin menajamkan tatapannya, "Ze, gimana lo bisa jelasin semua ini?"

Irvi menelengkan kepalanya, "Kak, gue nanya ke lo, kenapa lo tanya ke Zeana?" kejar Irvi tak mengerti.

Meski demikian Irvi mengerti, gerakan gelisah Zeana saat di kafe tadi, bersama Nathan yang raut wajahnya sarat akan kekhawatiran terhadap bahaya yang seolah bisa merenggut nyawa seseorang.

Nathan melemparkan sarung tangannya ke arah meja dan mendengus, "Lo ga akan bangkit dari sofa itu sebelum lo jelasin, siapa cowok itu," putus Nathan.

Zeana terdiam, ia kembali mengingat masa lalu yang hampir ia lupakan. Perih cambuk yang menghampiri punggungnya kembali terasa, Zeana berjingkat dan menegakkan tubuhnya, merasa ngilu secara irasional. Nama ayahnya yang juga ikutan disebut 'orang itu' membuat Zeana semakin ketakutan.

'Lo ga akan bangkit dari sofa itu sebelum lo jelasin, siapa cowok itu,' ucapan Nathan kembali Zeana lantunkan dalam hati. Gejolak amarah tiba-tiba menguasai hatinya.

Zeana mendengus, "Gue aja ga kenal, Kak! Lo kenapa nuduh gue ada apa-apa sama dia sih? Lo udah gila ya?" Amarah Zeana tersulut ketika mendengar kakaknya menuduhnya.

"Tapi dia natap lo!" bentak Nathan tak terima, ia cemas berlebihan.

'Gara-gara natap doang?' lirih Zeana dalam hatinya, menatap Nathan tak percaya.

"Natap doang kan? Kali aja gara-gara gue cantik?" ujar Zeana malas. Tatapan pria berambut jingkrak itu kembali Zeana rasakan efeknya, dingin yang menyerbu tengkuknya.

Nathan meremas mantelnya, berusaha menyalurkan amarahnya, "Ini ga lucu Ze! Mereka mirip Intel! Lo bisa ga sih, ga usah bercanda di waktu yang kaya gini?!" bentak Nathan.

Zeana menggaruk lehernya, lalu meniup anak rambutnya yang menutupi matanya, "Gue tahu lo cemas, to be honest, gue juga takut. Tapi apa?! Lo malah nuduh gue aneh-aneh! Yang jernih dikit elah mikirnya! Kalo gue kenal sama dia, juga pasti udah gue samperin! Tapi gue liat dia aja ga pernah!" papar Zeana.

Nathan menggeleng pelan, kepalanya terasa pening, "Bodyguard udah nyari tahu tentang dia, tapi jejaknya ilang gitu aja!"

Zeana tersenyum sinis, "Itu bisa jadi bukti kalo dia bukan orang biasa, kak. Gue ngerasa ada ancaman di sini! Dan elo, bisa-bisanya nuduh gue nyembunyiin sesuatu!" pungkas Zeana.

Irvi menatap Zeana dan Nathan bergantian, berusaha mencerna apa yang mereka bicarakan.

Sedangkan Zeana masih menatap tajam Nathan yang bergeming. "Lo faham maksud gue kan, Kak? Kalo jejak dia ilang gitu aja, itu tandanya dia bukan orang biasa. Entah spy atau apapun. Daripada kita debat ga jelas, mending cari tahu!" saran Zeana.

Nathan mengangguk.

***

Malam yang sunyi, beberapa kelelawar berterbangan di langit malam. Di trotoar sebuah jembatan, seorang lelaki terduduk melipat kaki. Hawa dingin yang berhembus di kota itu seolah tak mempan untuk membuat dirinya membeku seperti kebanyakan orang.

Lelaki berambut jingkrak tersebut mendongak menatap langit, di layar ponselnya yang hidup terpampang gambar seorang gadis berambut coklat bergelombang duduk tenang di sebuah kursi kafe yang aesthetic.

Sebuah Porsche hitam menghampirinya, diikuti suara dehaman yang berat.

"Sudah dapat fotonya?" tanya pria berwajah sangar yang berada di mobil mahal itu.

Lelaki berambut jingkrak mengangguk pelan.

"Jangan lupa segera kirim ke bos! Dia juga ingin tahu kabar gadis itu segera!" perintah pria berwajah sangar.

Lelaki berambut merah jingkrak itu mengangguk dan segera mengotak-atik ponselnya.

"Sudah," lapornya pada akhirnya.

"Good, uangnya bisa kamu ambil di gedung tua lantai sepuluh. Setelah itu kamu bisa bebas."

Lelaki berambut jingkrak tersebut mengangguk lagi, kali ini dengan wajah datar, sedatar hatinya yang seharusnya sudah mati rasa saat melihat orang tuanya mati terbunuh di hadapannya.

Porsche hitam itu melanjutkan jalannya menyisakan angin yang menerbangkan debu-debu ke wajah lelaki berambut merah jingkrak tersebut.

Lelaki itu menatap bawah jembatan dengan wajah sendu, wajah gadis yang ia ambil fotonya kembali terngiang. Tawa riangnya, gigi gingsulnya, dan cahaya yang berbinar dari matanya.

Dada lelaki itu terasa sesak, merasa bersalah karena menjadi perantara kesialan yang berada antara gadis manis itu dengan orang jahat yang ingin mengincar nyawanya.

"Beruntung banget hidupnya, kaya dan punya keluarga." Pria itu tersenyum miris.

Binar mata gadis itu terus menerus terngiang di pelupuk matanya, membuat rasa bersalahnya semakin dalam dan seolah mencekiknya hingga mati.

Ia bersalah telah bekerja pada orang gelap yang tak punya hati, lelaki itu tahu bahwa umur gadis itu tak akan lama lagi.

Pria itu menaiki pagar pembatas dengan gerak pelan, besi yang dia duduki terasa sangat dingin. Senyum gadis itu kembali terbayang, membuat lelaki tersenyum, hatinya menghangat ketika mengingat hal itu.

Tepat pada hitungan ketiga, lelaki itu terjun ke bawah.

***

Vando menghentikan langkahnya di sisi sebuah toko yang akan tutup. Toko bunga yang dipadukan dengan toko buku yang melayani peminjaman buku tampak aneh jika masih buka selarut ini, tapi Vando menguatkan hatinya untuk tetap mengetuk pintu.

Seorang pria paruh baya membuka pintu tersebut dengan pandangan bertanya, "Apa kau memerlukan sesuatu nak?"

Vando berdeham gugup, "Bisakah toko ini tetap buka sampai esok pagi?"

Alis lelaki paruh itu menyatu, "Jadwal tutup toko ini sebenarnya dua jam yang lalu, Nak, maaf.. aku tak bisa mengabulkan permintaanmu."

Vando menghela nafas pelan, "Apakah tujuh ratus euro cukup untuk membuat toko ini tetap buka, Pak?"

Pria itu menganga ketika jumlah uang yang di sebutkan Vando cukup fantastis untuk sebuah toko kecil miliknya. Tujuh ratus euro setara dengan sebelas juta tujuh ratus delapan puluh satu ribu rupiah.

"Bagaimana? Aku akan menetap untuk membaca beberapa buku, hanya untuk malam ini," tegas Vando mengulang permintaannya.

Pria itu menelan ludahnya, "Tidakkah itu terlalu banyak, Nak?"

Vando tersenyum kecil, "Kemurahan hatimu lebih mahal dari harga yang kuberi. Apa kau mengizinkanku untuk bergadang disini malam ini?"

Pria tua itu tersenyum, "Tentu, aku juga akan menemanimu berbincang jika kau perlu."

Pria itu membuka pintunya lebar-lebar dan menyalakan lampu terang setelah mematikan lampu-lampu kecil serta mematikan lampion.

Ketika Vando melangkahkan kakinya masuk, ia merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sejak meninggalnya sang ibunda, sejak ia pertama dan terakhirkalinya bertemu Zeana.

"Masuklah, Nak! Duduklah di tempat yang kau sukai, aku akan membuat teh hangat untukmu. Kau pasti perlu tempat cerita bukan? Orang tua yang sudah merasakan seluruh pahit manis kehidupan ini adalah tempat yang tepat untukmu mencurahkannya," ucap pria tersebut dengan tawa jenaka.

Vando tersenyum kecil, lalu mengangguk.