Kring, kring.
Bel 2 sholat jama'ah dhuhur berbunyi, Davio yang berdiri diambang pintu kamar mendengus sinis. Pintu utama asrama telah ditutup. Menatap para murid berlarian tergesa-gesa untuk membobol pintu yang telah ditutup membuat Davio merasa jengah.
'Percuma aja lari-larian kaya dikejar banteng gitu, sampe dibawah juga dihukum,' cibir batin Davio.
Keluar dari lorong komplek, Nathan keluar dari arah berlawanan, menatapnya lekat seolah ia mangsa yang menggiurkan. Davio abai, meski ia menyadari tatapan itu memang tertuju untuknya, dalam hati ia merutuk, 'kenapa orang selalu datang diwaktu yang ga pas sih?!'
Tepat di balkon samping komplek Turki, Davio menghentikan langkah malasnya dan menoleh kebelakang, lebih tepatnya kearah junior yang memanggil namanya dengan nada riang.
"Mau ngomong sebentar ga papa kan, Kak? Di bawah juga masih rame pastinya, dari pada desak-desakan kan?" ucap Nathan mendekati Davio yang berjalan kearah salah satu tiang terdekatnya lalu bersandar dan bersendekap.
"Kak, aku pengen ngomong tentang mimpiku," lirih Nathan membuka obrolan.
"Mimpi?" tanya Davio memastikan.
Nathan mengangguk, "Mimpi yang bagiku aneh, aku sering mimpi gitu berkali-kali sejak dulu, tapi mimpinya buram," nada bicara Nathan agak menggantung.
"Terus?"
"Waktu itu, aku.. berada di suatu ruangan. Aku tak tahu apakah disitu cat temboknya sudah kusam, atau pandanganku yang buram, yang pasti ruangan itu suram. Di ruangan itu banyak kubus, atau... kardus gitu. Warnanya hanya tiga macam, kalo ga putih, hitam, ya abu-abu. Mereka berserakan. Disitu aku berdiri diam, kadang liat ke sekeliling yang rasanya ga asing," papar Nathan berusaha menjelaskan.
"Lalu?"
"Tiba-tiba, kubus-kubus itu bergerak sendirinya, satu persatu bergeser ketengah ruangan, lalu saling tumpuk menumpuk. Anehnya, langit-langit ruangan itu seolah ikut meninggi dengan semakin banyaknya kubus-kubus yang tumpang tindih."
Davio menyimak dengan seksama ucapan Nathan, mata Davio menatap tajam dan menelisik mata Nathan yang seolah menyimpan banyak sesuatu.
Sebuah kilasan kejadian melesat cepat, mendesak memasuki jalan pikiran Davio. Membiarkan Davio melihat semuanya.
***
"Kak Nathan, gue udah bilang dari, kak Irvi nungguin elo dari tadi, elah! Kasihan dia, kedinginan di kolam renang!" Gadis berambut coklat terkepang menatap Nathan dengan pipi mengembung.
"Suruh dia udahan lah Ze," ujar Nathan yang masih betah dengan ponsel miringnya.
"Gimana mau udahan?! Handuknya aja elo sembunyiin!" sorak gadis tersebut. Kini ia sedang lompat-lompat tak sabaran.
Nathan memutar bola matanya jengkel, 'kenapa gue selalu dihadapkan sama cewek-cewek secerewet ayam yang kelaparan?!'
"Iya-iya, gue kesana!" balas Nathan membentak.
Gadis didepannya mendengus, "Jangan cuma iya-iya doang lo kak! Sampe kak Irvi demam gara-gara elo, gue bunuh elo!"
"Berani lo nyentuh gue, warisan elo gue yang punya!" Nathan mengancam balik.
"Bodo amat! Gue punya banyak penghasilan selain dari perusahaan yang katanya bakal jadi warisan gue," ejek gadis itu dengan lidah terjulur diujung kalimatnya.
Setelah gadis itu melenggang, Nathan memijat pelipisnya, merasa bingung dengan gadis bar-bar yang harus ia hadapi setiap harinya.
"KAK! HANDUKNYA KAK IRVI, ANTERIN CEPETAN!"
Nathan mengelus dadanya kuat-kuat, suara gadis itu memang tidak main-main untuk menghancurkan gendang telinga siapapun yang membuatnya jengkel.
{()()()}
"Kak Irvi, elo bakal nerusin perusahaan papa ga? Kalo iya, elo ambil aja jatah gue deh. Gue males!" Gadis yang sama seperti yang di bayangan tadi menekuk wajahnya didepan gadis cantik yang disebutnya Irvi.
"Kenapa Ze? Ada masalah?"
Yang dipanggil 'Ze' hanya menggeleng.
"Terus elo kenapa?"
"Perusahaan itu pembawa sial kak, gue benci!"
{()()()}
"Kamu Zeana Arvarenzya Maldwyn?" Seorang lelaki bertuxedo hitam mengelus puncak kepala seorang gadis mungil yang cantik.
"Iya om," sahut Zeana antusias.
"Mau ikut om? Tadi mama sama papa kamu datang ke rumah om buat makan siang, kakakmu ada disekolah, pasti di rumah sepi. Ikut om ya?"
Zeana berpikir, menimang-nimang.
Beberapa detik kemudian, lelaki itu berpura-pura menelpon seseorang. Setelah berpura-pura memutus sambungan, lelaki itu menepuk pundak Zeana. "Mama dan papa sudah nunggu, masuk yuk!" Lelaki itu mendorong punggung Zeana kearah mobil berwarna hitam.
"Nama om, Arnold, kamu panggil om Ar aja."
Zeana mengangguk dengan wajah datar.
Dari bangku belakang sebuah tangan terulur, membekap hidung Zeana dengan sapu tangan berlumur obat bius, sebentar kemudian, Zeana terkulai, ia kehilangan kesadarannya.
Lelaki bernama Arnold tersenyum puas, menelpon seseorang yang langsung mengangkatnya di dering pertama.
"Bagaimana dengan gadis itu?"
"Aman bos, kita bawa dia ke markas."
{()()()}
"Bunuh dia!" Lelaki bersuara bariton melempar kaleng birnya kasar.
"Jangan!"
Mendengar suara itu, semua orang yang berada di ruangan berdiri dan menunduk hormat.
"Siksa, tahan dia lima hari, lalu lepaskan. Biar dia bercerita pada Evan tentang kita."
"Bos, bukannya itu malah jadi ancaman buat kita?"
Lelaki yang merupakan bos di organisasi gelap tersebut terkekeh, "Itu ancaman keras untuk mereka. Tanda bahwa aku tak ingin banyak bermain-main."
"Siap bos!"
Untuk kemudian, suara pekikan seorang gadis menggema dalam ruangan itu, membunuh senyap yang sedari tadi menguasai.
***
Davio merasa otaknya dihimpit oleh sesuatu yang menyakitkan. Hingga..
"Kak Davio.."
Davio tersentak, menatap Nathan gelagapan, "Kak Davio denger ga sih?"
Davio mengangguk spontan, "Tentu."
"Tadi ngelamun gitu?!" balas Nathan tak percaya.
"Aku nyoba cari penafsirannya Than," lirih Davio, yang kaget ketika mendapat banyak informasi dalam sekejap.
"Kak Davio bisa ngasih tahu aku apa artinya?" tanya Nathan memohon.
Davio menelan ludahnya.
"Ya, teman-temanmu bakal menyatu, ikatan kalian bakal menguat. Jaga solidaritas kalian."
Nathan melongo, mimpi sedahsyat itu artinya masa seremeh ini?
"Makasih kak," ucap Nathan.
***
Davio bergerak gelisah di atas kasurnya. Jam dinding telah menunjukkan pukul 1 dini hari, tapi matanya enggan untuk terpejam.
Ingatannya kembali pada percakapannya bersama Nayaka sore tadi.
"Kamu tahu artinya apa?"
"Tahu, tapi aku ga mau ngomong yang sebenarnya ke dia. Takutnya dia malah nolak dan semuanya hancur berantakan!" Davio menyobek bagian tengah buku Nayaka dan menggambar sebuah kubus.
"Terus gimana?"
"Gengnya dia itu emang udah nyatu, tapi belum benar-benar rekat. Aku bilang ke dia kalau mereka bakal benar-benar nyatu."
"Tapi bakalan nyatu emang?"
"Suatu saat nanti, lagian aku udah bilang ke dia, kalo dia ga seharusnya bocorin cerita mimpinya itu ke sembarang orang. Dan aku minta ke dia agar aku jadi orang yang terakhir yang dia ceritakan tentang mimpinya." Davio mengangguk mantap.
"Emang arti sebenarnya apa?" tanya Nayaka penasaran.
"Huoh... harusnya dia ga cerita ke siapa-siapa termasuk aku, karena artinya itu, ih.. hubungannya kuat banget sama masa depannya, masalah dan pemecahnya," terang Davio, merasa dadanya berdebar gelisah.
Davio gelisah, tapi tak seharusnya dia menjadi sekacau ini. 'Oh ayolah Dav! Kan lo udah ambil keputusan kalo lo ga bakalan nunjukin tafsir yang sebenarnya, kok lo jadi seruwet gini sih?!' Davio merutuki kinerja otaknya.
Setelah rasa otaknya semakin panas dan seolah akan terbakar dan meledak, Davio meraih buku kosong yang sudah ia siapkan sedari tadi di bawah bantal. Kesempatan kecil harus ia ambil, atau jika tidak, ia akan kehilangannya.
Davio membuka tutup pulpennya dengan gerak pelan, sesaat bimbang, sesaat kemudian memutuskan, sedetik kemudian pulpennya menari di atas kertas yang belum ternoda.
'DE PLUVIA'
***
Davio menatap Nathan yang berdiri kaku didepannya, matanya jelas-jelas menyiratkan kebingungan. Tangan Davio semakin mendorong tumpukan buku miliknya kearah Nathan.
"Sorry, aku bohong soal arti mimpimu yang kamu beri tahu ke aku dahulu, kalo kamu memang ingin tahu, baca ini!"
"Tapi kak," elak Nathan. Ia tiba-tiba merasa tak enak.
Davio mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan, perpustakaan yang selalu sepi kini semakin sepi karena hanya ada 2 manusia yang mengisinya. Jam menunjukkan pukul 12 malam, pintu perpustakaan telah ditutup 1 jam yang lalu.
Bagaimana Nathan dan Davio bisa disana sekarang?
Pertanyaan klasik, dan membutuhkan jawaban yang tak kalah klasik. Davio dan Nathan memang sengaja bermalam di perpustakaan malam ini, tepatnya hanya Davio, karena Nathan disini akibat paksaan Davio dengan iming-iming makna mimpi misteriusnya.
"Baca!"
Davio menunjuk buku yang kini berada didepan Nathan.
Nathan mengangguk, membuka halaman pertama dan mulai membaca. Davio berjalan ke rak sastra dan mengambil beberapa buku tebal dari sana. Melihat Nathan mulai membaca, Davio menghela nafas lega. Akhirnya ia tak perlu mengungkap segala fakta menyakitkan melalui mulutnya. Buku itu, novel yang ia tulis, akan membongkar semuanya.
Apa yang akan terjadi, kepada siapa maut menjemput, kepada apa saja yang rusak dan tak dapat diperbaiki.
'Semoga tanggungan gue lunas dengan selesainya Nathan merampungkan bacaannya,' doa Davio dalam hati.
***
Dari celah buku yang berjajar tak rapat, Nathan diam-diam menatap wajah Davio yang terlihat lebih bersinar ditengah cahaya yang remang-remang.
Gadis itu seolah membaca buku, tapi dimata Nathan yang mudah mengenal seseorang lewat mata, Nathan faham. Davio mempunyai banyak beban yang harus ia pikul sendirian.
Kening Davio yang berkerut membuat Nathan ikutan berkerut, apa yang sekiranya Davio pikirkan sekarang? Nathan menatap tak yakin pada tumpukan buku yang Davio berikan.
Memang buku tulis biasa, tapi Nathan yakin, apa yang Davio tulis didalamnya amat tak bisa dikatakan biasa. Tulisan kecil yang rapi milik Davio menyihir Nathan untuk terus membacanya. Berjanji, bahwa novel Davio yang dibuat dengan tulisan tangan ini akan ia rampungkan.