Tekanan dari tempat kerja memang selalu ada. Di semua tempat kerja. Tanpa terkecuali!
Memangnya ada pekerjaan tanpa tekanan? Katakan di hadapan Evelyn! Gadis yang sudah mengalami asam pahit kehidupan itu, selalu merasakan hidupnya penuh dengan tekanan di tempat kerja!
Dan kini, saat waktunya dia pulang dari tempat kerja, mestinya Evelyn pulang saja ke kondominiumnya.
Tetapi, gadis itu malah meleng. Otaknya yang sudah letih, ingin merasakan tegukan alkohol. Merindukan sensasi mabuk yang muncul untuk meredakan amarahnya.
Padahal dia tahu, kalau alkohol adalah sebuah candu. Alkohol adalah minuman yang tak pantas dijadikan pelarian!
Tetapi, siapa lagi yang bisa menahan beban hidupnya ini?
Dengan demikian, Evelyn datang dan masuk ke dalam sebuah bar. Dia pun mulai memesan sebuah alkohol dengan konsentrasi tinggi. Tak peduli bahkan dirinya yang datang seorang diri.
Seorang bartender di sana melirik ke arah Evelyn dengan hati-hati. Dia sudah menyiapkan minuman untuk Evelyn. Akan tetapi, dia merasa ragu. "Nona, Anda datang sendirian lagi?"
Kemarin, Evelyn juga datang ke bar ini. Dia datang sendirian juga. Sepertinya, kemarin Evelyn menciptakan keributan. Ah, apa pedulinya? Buktinya, dia bisa pulang dengan selamat walaupun tak ingat apa yang terjadi semalaman. "Tidak peduli apa urusanmu. Berikan aku gelas itu."
Evelyn menarik paksa minuman yang ada di tangan si bartender, lantas menenggaknya dalam sekali minum!
Gluguk, gluguk, gluguk!!
"Ah!!!" Evelyn mengelap mulutnya sendiri dengan punggung tangan. Dia mengarahkan gelas alkoholnya kepada si bartender. "Isi lagi!"
"Nona…" Si bartender tampak keberatan. Tetapi, di ujung sana Sang Boss memelototinya. Matanya mengisyaratkan, 'Isi saja! Kita akan meraup keuntungan!'
Mengalahkan hati nurani si bartender, ia kembali mengisikan gelas kosong Evelyn.
Gadis itu terus minum sampai akhirnya mabuk. Pikirannya melayang-layan ke mana-mana. Dia melemas dan bersandar di meja.
Lalu tertawa seorang diri. "Hikikikiki."
"Aku bahkan bermimpi menjadi seorang ratu…" dia memulai monolognya soerang diri. Tanpa ada yang mendengarkan, tanpa ada yang diajak bicara. Sendirian.
Si bartender juga hanya menggelengkan kepalanya dari kejauhan, di sela-sela pesanannya yang membludak menjajaki malam.
Evelyn merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Gadis itu… kasihan saja.
Bagaimana tidak? Dia mimpi sangat indah. Berada di sebuah istana berlatarkan putih bersih. Dengan posisi sebagai ratu di sebuah kerajaan antah berantah.
Dan lagi, dia juga memimpikan lelaki yang berstatus sebagai raja.
Walaupun Evelyn belum pernah melihat lelaki tersebut, seperti apa rupa wajahnya, Evelyn tahu … kalau lelaki itu memiliki tubuh yang bidang dan tegap.
Untuk ukuran raja, sepertinya dia cukup menawan, berwibawa, dan bijaksana.
Sudah pasti, wajahnya cukup bagus.
"Kenapa hidupku menyedihkan sekali sih…"
Di saat itulah, Evelyn bangkit dari tempatnya. Gadis tersebut pun berteriak dengan sangat amat keras. Membahana di bar. "Aaarrrggghhh!"
"Aaarrggghhh!" Dia berteriak lagi layaknya berada di perbukitan yang kosong tanpa orang!
Padahal apa? Di sana banyak sekali orang!
Evelyn stress berat. Gadis itu sudah mabuk dan sempoyongan. Dia pergi ke luar tanpa peduli beberapa orang yang memandanginya dengan tatapan aneh. Termasuk si bartender yang sudah menggeleng-gelengkan kepalanya.
Di saat itulah, Evelyn keluar dari bar. Kepala Evelyn dirasuki oleh berbagai tekanan kehidupan. "Hidup ini sangat menyedihkan…"
"Aku sudah tidak punya pacar… Tidak ada orang yang peduli denganku, menanyakan kabarku, dan mengatakan kalau hidupku akan baik-baik saja." gumam Evelyn pelan sambil berjalan.
Di kegelapan malam, gadis itu berjalan di antara pertokoan yang sudah hampir tutup. Ketika orang-orangnya bersiap untuk pulang dan beristirahat.
Evelyn menghela napas panjang, "Ekonomiku juga buruk. Kehidupan pekerjaanku juga tak berjalan mulus. Semuanya berantakan …"
"Aku kira, hidup menjadi orang dewasa itu enak. Bisa membeli barang-barang yang tidak bisa kubeli saat aku kecil…"
"Tetapi, menjadi orang dewasa malah tidak enak. Kata siapa aku bisa membeli barang-barang seenaknya sendiri?"
Evelyn menghela napas panjang lagi. "Aku harus memisahkan antara keinginan dan kebutuhan. Memenuhi pembayaran uang sewa. Dan juga perkara ini itu yang tiada habisnya."
Segala permasalahan yang pelik memasuki lorong otaknya. Percintaan. Ekonomi. Keluarga. Semuanya semrawut dan membentuk angin puting beliung yang sangat besar dalam otaknya.
Gadis itu berhenti berjalan. Dia mendadak lelah.
Gadis itu memandang ke arah langit yang gelap. "TUHAAAN!!! Apakah aku harus hidup gila?"
"Apakah aku harus hidup seperti ini?"
"Apakah … apakah aku harus bunuh diri saja … supaya aku berhenti memikirkan permasalahan hidupku?!!"
Evelyn mengeluh. Ia berteriak di antara kegelapan malam. Meskipun Evelyn berteriak, kesunyian yang datang setelahnya jauh lebih menyakitkan. Tak ada orang. Tak ada jawaban. Hanya ada sepi yang merambat.
Di saat itulah, Evelyn berpikir … Bagaimana … Bagaimana kalau ia mengakhiri hidup saja?
Bukankah, sekarang apa nanti akhirnya akan sama saja? Dia akan bertemu dengan Tuhan?
Daripada Evelyn harus melewati hidup dengan cobaan yang seberta ini, dengan pemikiran-pemikiran gila yang melingkupi otaknya.
"Apakah … apakah aku harus mencobanya? Untuk … bunuh diri?" gumam Evelyn. Gadis itu menatap kosong ke arah langit. Dengan mata berkaca-kaca. Dan hati yang meretak luar biasa.
* * *