Lord menarik cepat tangan Leanore agar segera keluar dari jeruji besi tempat mayat Jordan, ia tidak ingin membuat gadis itu kembali shock nantinya.
Leanore mengikuti langkah Lord. Ia memang belum mengetahui mayat Jordan, tapi ia yakin pria itu pasti sudah mati sekarang. Bahu Leanore sedikit bergetar, tapi lengan Lord segera merangkul erat tubuh gadis itu. Lord menuntun Leanore untuk keluar dari dalam markas Righnero, memencet jarinya pada tombol yang ada di dekat pintu agar sidik jarinya bisa di deteksi.
Setelahnya, Lord berjalan keluar dari markas sedangkan Adrian dan Felix kembali menuju markas.
Lord melajukan mobilnya, meninggalkan markas Righnero. Di tengah-tengah mengemudi mobil, Lord melirikan matanya sejenak, menatap Leanore yang tengah menatap datar jalanan.
"Aku hanya ingin membalas dendam karena dia sudah kasar padamu," tukas Lord di tengah keheningan yang mendera.
Leanore mengangguk kecil.
"Terimakasih," gumamnya berbisik lirih. Lord tidak menjawab, pria itu hanya sesekali melirik ekspresi gadis di sampingnya.
"Kau sudah tidak apa-apa?" tanyanya memastikan.
Leanore lagi-lagi mengangguk kecil.
"Tolong antarkan aku ke mansion. Aku ingin pulang sekarang," pinta Leanore dengan lirih.
Lord yang hendak membantah mengurungkan niatnya, ia hanya kembali menatap datar ke depan. Pria itu pun mulai membelokkan mobilnya ke arah hutan-hutan, menuju mansion keluarga Leanore yang tersembunyi.
Tidak sampai membutuhkan waktu setengah jam, kini mobil Lord berhenti tepat di depan mansion keluarga Leanore.
Lord menatap datar ke depan, pria itu memperhatikan setiap sudut mansion berwarna emas. Tidak ada yang berubah setelah tujuh tahun terakhir. Leanore membuka pintu mobil untuk keluar.
"Terimakasih," ucap Leanore lagi. Lord kembali tak menjawab, hal itu membuat Leanore sedikit berdecak kesal. Pria di hadapannya ini memang terlalu irit bicara.
Lord memutar setir kemudi kemudian pria itu menjalankan mobilnya, meninggalkan mansion Leanore setelah sebelumnya menatap gadis itu melalui kaca spion.
Leanore menatap kepergian Lord dengan lesu, setelah mobil Lord sudah berjalan jauh meninggalkan mansionnya, gadis itu pun mulai memasuki mansion miliknya.
Leanore memasuki mansion mewahnya tanpa adanya orang-orang di dalamnya. Semuanya terasa sepi. Gadis itu menunduk seraya menghela napas, selalu seperti ini setiap saat.
"Leanore," sapa Sienna yang baru menuruni anak tangga.
Leanore tak menjawab, gadis itu terus menghiraukan keberadaan Sienna yang saat ini terlihat bingung menatapnya dan berjalan menaiki anak tangga.
"Kenapa kau baru pulang sekarang?" tanya Sienna dengan terus mengikuti langkah gadis itu.
Leanore menghela napas panjang, lebih baik ia menganggap Sienna hadir daripada terus-menerus merasa sendiri seperti ini.
"Aku lelah," sahut Leanore sambil menatap Sienna.
Gadis itu melemparkan tubuhnya di atas ranjang seraya memejamkan matanya.
"Mom, di mana?" tanya Leanore mulai berbicara dengan Sienna lagi.
"Sudah pergi berbelanja."
Leanore menghela napas, "Padahal aku ingin bertemu dengannya."
***
Leanore kini berdiri di balkon kamarnya, angin malam mulai menusuk kulitnya. Matanya menghadap ke atas, menatap bintang-bintang yang bertebaran. Leanore mengelus lengannya yang tiba-tiba merinding karena merasakan angin malam menerpa tubuhnya.
Leanore menurunkan tatapannya menjadi menatap kosong ke depan. Jujur saja, apa yang di lakukannya sekarang sangatlah membosankan.
Leanore menghela napas panjang, gadis itu kembali masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu balkon.
Leanore berjalan keluar dari kamarnya, menuruni undakan tangga yang sangat panjang. Hari ini, ia ingin mengelilingi mansion saja daripada terus menerus terdiam diri di kamarnya. Hidupnya memang sangat membosankan.
Leanore berjalan melewati setiap kamar. Langkah gadis itu terhenti ketika melihat kamar mom dan daddy-nya.
Tangan Leanore dengan perlahan terulur, menyentuh gagang pintu kamar itu. Pintu terbuka, keadaan hening pun menyapa. Gadis itu dengan perlahan melangkahkan kakinya memasuki kamar kedua orangtuanya dengan lebih dalam. Entah kenapa ia sangat ingin ke sini.
Leanore tersenyum menatap seisi kamar mom dan daddy-nya walaupun beberapa tahun terakhir hanya daddy-nya saja yang tertidur di sini. Tidak ada yang berbeda, hanya saja kamar itu mulai berdebu karena Leanore tak pernah menyuruh pelayan untuk membersihkannya, dan itu ia lakukan atas perintah daddy-nya sehari sebelum dia di bunuh oleh Lord, pria kejam dan jahat namun beberapa kali selalu menyelamatkannya.
Leanore kembali melangkahkan kakinya, menyusuri kamar yang sangat besar itu. Leanore terhenti ketika melihat sebuah foto mom dan daddy-nya saat menikah. Kembali tangannya Leanore terulur memegang bingkai persegi empat itu.
"Mom, Dad," gumam Leanore tercekat, sambil mengusap wajah yang ada di foto itu satu persatu. Leanore memperhatikan wajah mommy-nya dan beralih menatap wajahnya di depan meja rias mommynya. Leanore terkekeh, ternyata ia dan Sienna sangat mirip dengan mom.
Leanore kembali mengembalikan foto itu. Tapi tangannya terhenti ketika menemukan sebuah tombol berwarna merah yang ternyata ada di balik foto tadi.
Dahi Leanore berkerut samar, dengan perlahan tangan gadis itu menekan tombol itu. Sekali dua kali menekan tombolnya, tapi ia tidak menemukan tanda-tanda ada yang terjadi. Leanore memperhatikan lekat tombol berwarna merah itu, matanya mengerut ketika menemukan ukiran sidik jari kecil di atas tombol.
Leanore mulai menganalisa maksud dari tombol itu, setelah mengerti artiny, Leanore menekan tombol itu dengan menggunakan semua jarinya secara bergantian. Saat menekan tombol dengan jari telunjuk kanannya dan saat itulah Leanore bisa merasakan reaksinya.
Sret.
Leanore dibuat terlonjak kaget hingga mundur beberapa langkah ketika melihat ranjang mom dan daddy-nya langsung terangkat ke atas hingga menempel ke dinding dan lantai marmer yang tadinya menjadi tempat ranjang langsung tergeser.
Leanore tercengang. Baru tau jika ternyata terdapat sebuah ruangan rahasia di bawah lantai marmer tempat ranjang orangtuanya.
Leanore terus menatap ruangan itu, ia masih bimbang, ingin masuk ataukah tidak. Melihat ruangan gelap itu Leanore jadi ngeri sendiri. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, tapi rasa penasarannya yang tinggi membuat dia terpaksa memasuki ruangan itu.
Leanore menghirup napas panjang dan menghembuskannya dalam sekali hentak sebelum benar-benar pergi untuk memasuki ruangan itu.
Leanore berjalan masuk dengan jantung yang berdebar-debar. Kakinya terus melangkah, menuruni anak tangga yang menjadi ruang pertama.
Leanore mengerjap-ngerjapkan matanya ketika kakinya tepat berpijak di lantai dasar, lampu langsung menyala di seluruh ruanganmu itu.
Setelah menyesuaikan retina penglihatannya, Leanore kembali melangkahkan kakinya. Keberaniannya sedikit bertambah sekarang karena semua lampu-lampu sudah menyala.
Leanore meneguk ludahnya dengan susah payah ketika menyusuri lorong-lorong itu, ia menemukan beberapa tulang-tulang dan kerangka manusia, beberapa peta juga coretan-coretan di dinding juga berbagai rakitan-rakitan bom, jantung Leanore berdebar kencang.
Meski lampu menyala, tapi tetap tak menghilangkan suasana mencekam dari ruangan itu.
Leanore terus melangkah menyusuri lorong-lorong itu, ingin mencari tahu hal lebih karena sangat tidak mungkin daddy-nya membuat ruangan ini jika tidak ada sesuatu di baliknya.
Langkah Leanore terhenti ketika menemukan sebuah kotak kaca bening dan keras berbentuk persegi empat, tepat di tengah-tengah dan ujung ruangan. Gadis itu mengerutkan keningnya dan semakin mendekatkan diri untuk melihat lebih jelas.
Leanore berusaha menggapai kotak kaca yang berisi remote di dalamnya. Leanore berhenti meraih kaca itu ketika matanya tidak sengaja menatap sebuah kursi tak jauh darinya.
Leanore pun berjalan mengambil kursi itu dan menaruhnya tepat di bawah kaca itu. Gadis itu pun menaikinya dan segera mengambil kotak kaca berbentuk persegi empat dan berisi remote pengontrol itu.
Leanore bernapas lega ketika akhirnya berhasil mendapatkan kotak itu. Ia memperhatikan isinya dengan kening mengerut. Leanore tengah berpikir saat ini.
Bagaimana caranya membuka kotak itu?
Ia terus menelisik kacanya, dan tepat di ujung kaca, terdapat sebuah sidik jari. Ia tersenyum, gadis itu kembali mencoba menekan ukiran sidik jari itu dengan jari telunjuk kanannya.
Leanore tersenyum senang ketika dengan tiba-tiba kotak kaca itu langsung terbuka sendiri. Walau sedikit bingung, kenapa sidik jarimya bisa membuka ruangan dan kotak kaca ini.
Apa daddy-nya sudah merencanakannya dari awal?
Leanore memegang remote itu dan mendekatkannya di wajahnya. Keningnya mengerut, dan dengan keberanian yang ia miliki Leanore menekan salah satu tombol yang ada di sana.
"Hati-hati dengan tanganmu, Nona!"
"Aaaa!" Leanore di buat terlonjak kaget ketika dengan tiba-tiba seorang robot dalam bentuk manusia mendekatinya. Mata robot itu memerah, menatap Leanore.
"Terimakasih telah mengaktifkanku. Aku akan merawat alat itu dengan baik, sesuai dengan perintah Mr. Richard," ucap manusia robot itu dengan suara kaku, persis robot.
Bukannya mengangguk, Leanore malah melempari robot itu dengan remote controlnya karena wajahnya yang sedikit menyeramkan.
"Pergilah! Menjauh dariku! Jangan mendekat!" Bukannya menjauh, robot itu malah semakin mendekat.
"Aaaa!" Leanore mengambil kursi yang tadi di gunakannya untuk mengambil kotak kaca itu dan melemparnya pada manusia robot itu.
"Menjauhlah!"
Setelah mengucapkan kata itu Leanore segera berlari untuk bisa keluar dari ruangan itu dengan nafas yang tidak teratur. Nafasnya bahkan terengah-engah tapi laju langkahnya tak berhenti. Setelah mendapat tangga yang menunjukkan pintu keluar Leanore pun segera menaikinya untuk bisa keluar, dan saat itu juga lantai marmer itu langsung tergeser dan tertutup kembali. Ranjang pun langsung kembali pada tempatnya seperti semula.
Leanore bernapas lega.
Ini kamar rahasia yang benar-benar mengerikan!
***
Bersambung.