Chereads / Pesona Alam Desa / Chapter 8 - Episode 8: POV Hendarto Part 1

Chapter 8 - Episode 8: POV Hendarto Part 1

Pedih dan sakit rasanya tak kala orang yang dipercaya mengkhianati, harta benda dan serta perusahaan yang aku bangun hilang hanya dalam hitungan jam saja.

Satu hal yang membuat aku bingung adalah bagaimana istriku yang bernama Anita bisa ikut menandatangani surat yang dibuat oleh orang kepercayaanku yaitu Wawan.

Disaat aku kecewa dan tidak tahu harus kemana, disitu juga Anita menawarkan untuk tinggal di desa tempat dulu dia tinggal.

Aku yang tidak punya pilihan jelas tidak dapat menolak, karena jujur saja aku kini tidak punya apa-apa. Sisa uang yang aku punya saja mungkin hanya cukup beberapa hari saja ketika tinggal disana, belum lagi kami harus pergi menggunakan bus, Wawan sudah mengambil semua aset milikku dan kini aku sengsara.

Siang hari yang terik kami semua baru sampai di desa dimana dulu Anita tinggal, suasana yang asri mengingatkan aku yang memacari Anita saat masih perjaka.

Sungai dan kamar mandi umum yang aku lewati saya berjalan masih ada disana adalah tempat aku dan Anita sering memadu kasih dulu. Satu tempat sangat berkesan buat akupun masih ada, saung di tengah sawah itu menjadi saksi aku dan Anita melepaskan keperjakaan dan keperawanan masing-masing. Dengan modal janji aku akan menikahinya jelas Anita pun tidak banyak menolak saat aku menggaulinya.

Rintihan Anita yang pada saat itu aku gauli masih terngiang-ngiang, bahkan ketika membayangkan hal itu tidak terasa batang penis ku berdiri. Entah apa yang membuatnya berdiri, hanya saja memang Anita memiliki paras cantik dan enak dipandang. Sudah melahirkan anak dua tidak menjadikannya tidak merawat tubuhnya, aku yang pada saat itu memiliki kekuasaan jelas tidak ingin dia kekurangan.

Usai aku menikahinya kami dikaruniai 2 orang anak sekaligus dan aku beri nama Rio dan Ria, mereka hanya selisih dua tahun akan tetapi wajahnya begitu mirip, pada saat itu juga aku mengatakan kepada Anita agar tidak usah KB, karena jujur dengan harta yang aku miliki ingin rasanya memiliki banyak anak dan memanfaatkan harta benda yang dimiliki untuk dinikmati.

Tapi Tuhan berkata lain, karena sampai hari ini pun Anita tidak hamil-hamil juga. Aku tidak ambil pusing kendati tiap berhubungan intim pasti aku mengeluarkan sperma ku di dalam vaginanya tetap saja tidak hamil, aku syukuri dengan hadirnya dua anakku yang tampan dan cantik.

Aku tidak memberi izin bebas kepada kedua anakku, tingkat parno yang aku miliki cukup tinggi. Aku tidak mau kalau kedua anakku terjerumus dalam lubang kehancuran seperti aku yang sudah menggauli Anita sebelum menikahinya. Hingga sekolah saja aku khususkan untuk home schooling saja, aku berpikir kalau kedua anakku bisa menjaga pergaulan apabila home schooling.

Lamunanku dikagetkan dengan kami yang sudah sampai di depan rumah yang akan kami tempati, sampai hadirnya Juleha yang merupakan adik dari Anita.

Juleha sendiri memiliki kulit sawo matang dengan wajah cantik khas desa, satu yang selalu aku ingat adalah cerita Anita kalau adiknya tersebut punya bulu ketek yang lebat. Beda dengan Anita yang sama sekali tidak ada bulu di ketiaknya, hanya saja bulu pada pangkal pahanya sangat rimbun bahkan aku sering kesulitan kalau hendak menjilati bagian itu.

Tak lama berselang datang Udin yang merupakan suami dari Juleha, matanya memang agak jelalatan dan itu terlihat tak kala menatap Anita yang memakai celana panjang dan jaket tipis.

"Baru sampai?"

Juleha yang menyapa kami jelas membuat kami senang, karena Juleha adalah orang yang baik dan sayang keluarga. Mungkin kalau tidak ada Juleha, Udin sudah jadi gelandangan. Statusnya yang tidak jelas tidak menghalangi Juleha untuk tetap menikahinya, meski aku dan Anita agak tidak rela saya keduanya melangsungkan pernikahan.

Sampai satu saat Udin mengangkat tangannya dan dia yang selama posisi tidak memakai baju langsung memperlihatkan bulu ketiaknya, aroma pekat dan tidak sedap langsung tercium pada saat itu juga. Terlihat Anita dan Ria sangat tidak nyaman dengan bau yang keluar dari ketiaknya Udin, tapi aku segera mengisyaratkan kepada mereka untuk tidak terlalu menunjukkan ketidaksukaannya.

Usai berbincang-bincang aku memutuskan untuk masuk ke rumah yang akan kami tempati, wajah Rio dan Ria terlihat sangat kecewa. Bahkan terang-terangan Rio mengatakan tidak ingin tinggal dirumahnya yang sekarang ini.

Jelas itu membuat aku emosi dan tanpa sadar aku berkata sesuatu yang membuat mereka berpikir kalau mereka tidak bersyukur, aku semakin tidak tahan saja tak kala Anita menangis dan seketika kedua anakku memeluknya.

Karena badan kami sudah lelah sekali jam 8 malam kami semua memutuskan untuk segera tidur, aku tahu kalau esok hari dimana aku harus menjadi orang yang berbeda yaitu menjadi seorang petani untuk menyambung hidup.

Pagi hari sekali aku dan Anita segera pergi ke sawah, terlihat kalau Udin sudah ada disana duluan dan tidak terlihat adanya Juleha.

Sampai tiba-tiba saja Udin memberi tahu kalau aku sudah dikasih jatah untuk mengurus sawah yang dulunya dia urus, aku tidak banyak menolak begitu juga dengan Anita yang mengurusi kebun ditemani oleh Udin.

Walaupun pagi cuaca sangat terik , mungkin ini karena aku tidak terbiasa dengan panasnya matahari secara langsung. Maka aku putuskan untuk membuka baju yang aku pakai, bulu dada dan ketiakku seketika basah dan menimbulkan aroma yang tidak sedap. Aku sudah tidak memikirkan akan membeli deodoran, karena untukku sekarang uang 50 ribu saja sudah sangat berharga.

Siang harinya aku dan Anita sudah pulang, ada nampak kesal pada wajah Anita yang aku rasa karena kehidupannya yang baru.

Aku rebahkan tubuhku pada papan kayu yang aku pakai sebagai lantai, maklum saja rumah yang aku tempati sekarang ini berupa rumah panggung zaman dulu. Aku angkat kedua tanganku dan begitu nyaman tak kala angin sepoi-sepoi menghampiri bulu ketiak dan bulu dadaku yang basah akan keringat.

Aku pejamkan mataku untuk menikmati udara segar, sampai beberapa aku sempat tertidur. Tapi aku cukup sadar kalau aku harus bangun dan mandi, saya hendak membuka mata aku menyadari kalau ada seseorang didekatku dan aku bahkan yakin kalau orang tersebut sedang mengendus aroma ketiakku.

"Ria?"

Rupanya disitu ada Ria, saat aku bertanya dia sedang apa jelas Ria membalas kalau dia tidak melakukan apa-apa. Tapi aku sangat tahu dan paham kalau dia sedari tadi mengendus aroma ketiakku, entah apa yang ada dipikirannya.

Malam harinya kami kedatangan Udin dan Juleha, mereka nampak berkunjung dan ingin makan malam bersama. Saat Udin membicarakan sosis yang aku lihat Anita agak kikuk, tapi aku seolah tidak peduli karena aku merasakan badanku begitu lelah.

Jam 8 malam aku sudah terlelap, aku harus istirahat karena besok harus bertani lagi. Tapi saat pagi harinya aku merasakan badanku semuanya sakit, mungkin juga karena semalam aku yang tidak tidur di kasur. Jujur saja aku tidak terbiasa tidur tanpa kasur, aku sendiri risih kalau harus tidur dengan Rio dalam kamar yang sempit.

Saat Anita mengajakku ke sawah dengan berat hati aku menolaknya, badanku rasanya tidak nyaman selain belum mandi badanku juga terasa lelah sekali. Semalam aku tidak tega kalau harus menyuruh Anita memijit karena dia sendiri terlihat cukup kelelahan.

Aku putuskan untuk istirahat saja dan rupanya di rumahku ada Ria yang tidak ikut ke sawah, aku juga samar-samar tadi mendengar kalau Ria akan diam di rumah sembari menemaniku.

Aku cukup kaget ketika dia menawarkan dirinya untuk memijit badanku yang kelelahan, tentu saja aku tidak keberatan karena memang badanku cukup sakit. Dia sempat bertanya kepadaku kalau kapan aku akan dipijit, aku pun menyuruhnya sekarang dan menghangatkan air untuk aku mandi.

Aku kebetulan hanya memakai sarung saja dengan celana dalam tanpa memakai baju lagi, badanku rasanya lengket dan sesuai dipijit ingin langsung mandi pikir ku.

Tangan lembut Ria mulai punggungku dan mulai ke bagian badanku yang lain, beberapa kali tangannya meleset dan menyentuh area ketiakku, hingga aku merasakan gejolak birahi yang melanda tak kala dia menyentuh bagian kakiku dari bawah menuju ke atas.

Saat menyentuh bagian paha aku sudah tidak tahan lagi, penisku menegang super tegang dan gilanya lagi aku semakin terbakar tak kala jemarinya menyentuh biji kemaluanku. Dalam hatiku sudah tidak peduli lagi akan aku puaskan birahiku dan akan aku gagahi seperti ibunya dulu, tapi seketika pikiranku terbuka kalau dia adalah anakku, aku ambil alasan air sudah panas dan saya itu juga Ria pergi. Aku menghela nafas karena bisa saja aku sangat kurang ajar dan menjadi ayah yang goblok.

Malam harinya Anita seolah memberi kode untuk bersetubuh, aku yang sudah merasakan sentuhan dari Ria tadi siang jelas tidak dapat menolak keinginannya.

Birahi kami yang meluap-luap tidak dapat ditahan lagi, hingga ditengah permainan Anita mendesah begitu keras. Walaupun panik tapi aku meyakinkan dia untuk tenang karena sudah saatnya kedua anaknya tahu hal seperti ini.