Bab 3
"Kenapa dia, Joy?" tanya Robert sambil membantu membopong tubuh Erik.
"Gak tau, Bang. Tiba-tiba pingsan," jawab Joya sambil mengekori langakah Robert yang panjang.
"Bawa kemana, nih?" Kantor kan udah tutup jam segini?" tanya Robert lagi.
"Bawa ke rumahku aja, Bang. Itu mobilnya, kita pakai mobilnya saja. Abang bisa bawa mobil kan?"
Robert pun membawa tubuh Erik ke mobilnya. Sampai di sana , Joya segera membuka pintu dengan kunci yang ditemukannya di tangan Erik tadi.
Mereka meletakkan Erik di kursi belakang, Joya ikut masuk dan kemudian memangku kepala Erik.
Robert segera mengemudikan mobil menuju ke rumah Joya yang terletak tak jauh dari pantai. Sampai di depan rumahnya, Robert membantu Joya mengangkat tubuh Robert ke dalam rumah.
Emaknya Joya, Hindun terkejut melihat putrinya pulang dengan mobil. Dia lebih terkejut lagi saat melihat Robert membopong sesosok tubuh dan membawanya ke dalam rumah.
"Eh, siapa itu, Joy? Kenapa dibawa kemari?" tanyanya panik. Hindun mengikuti Joya yang sedang membantu Robert membaringkan Erik diatas sofa dengan hati-hati.
"Pangeranku, Mak!" teriak Joya di dalam hati.
Hindun masih menunggu jawaban dari Joya.
"Pengunjung, Mak. Kantor udah tutup, jadi aku bawa aja kemari," jawab Joya. Hindun mengangguk dengan bibir membentuk hurup O.
"Aku balik dulu, Joy. Gak ada yang jaga parkiran kalau kita dua-dua ada di sini." Robert yang diam saja sejak tadi pamit pada Joya dan Hindun
"Iya, Bang. Maaf, ya, aku jadi gak bisa nemenin Abang jaga!" kata Joya.
"Iya, aku pulang dulu! Mak, aku pamit, ya?" pamitnya.
"Iya, hati-hati di jalan!" jawab Hindun.
Robert mengangguk kemudian menyalami Hindun lalu berjalan pulang ke pantai.
"Eh, itu orang gimana?" tanya Hindun karena Joya masih berdiri di luar memandang kepergian Robert yang sudah tak kelihatan lagi tubuhnya.
"Oh, iya, aku lupa, Mak!" Joya masuk ke dalam rumah, dia melihat Erik masih terbaring tak sadarkan diri.
Kemudian Joya mengambil minyak angin milik Hindun yang ada di atas meja tv. Dia mengoles hidung Erik dengan minyak angin tersebut.
"Mas, bangun dong. Kamu kenaapa sih, tiba-tiba pingsan, lemah amat jadi cowok!" gerutu Joya karena usahanya gak berhasil.
"Ngapain kamu ngomel sama orang pingsan, Joy? Coba buka kancing bajunya tiga biji. Biar agak lega dadanya. Sini, minyaknya biar Mak pijit kakinya."
Joya memberikan minyak angin pada emaknya, lalu membuka tiga buah kancing kemeja Erik.
"Ganteng juga," batin Joya saat melihat Erik dari dekat.
Sementara emaknya mengolesi telapak tangan dan kaki Erik dengan minyak angin lalu memijitnya pelan. Tak lama, Erik pun sadar dari pingsannya. Dia berusaha untuk duduk, tetapi kepalanya masih terasa pusing.
"Jangan duduk dulu kalau belum bisa, tiduran aja di situ!" saran Hindun.
Erik menoleh lalu kaget karena baru menyadari dia berada di mana.
"Itu kan, wanita tukang parkir songong tadi," batin Erik saat melihat Joya yang sedang duduk tak jauh darinya.
"Terima kasih, ya, Bu," kata Erik setelah sadar sepenuhnya dari pingsannya.
Erik menerima segelas teh hangat yang disodorkan Hindun padanya. Dia meminum teh tersebut sampai habis, rasa hangat perlahan mulai terasa di tenggorokan dan perutnya.
"Terima kasih, Bu," ucapnya lagi.
"Iya, sama-sama. Gimana kepalanya, masih pusing? Kalau masih, sini ibu pijitin biar enakan!" kata Hindun sambil tersenyum.
"Gak usah, Bu. Sudah enakan, kok. Teh hangatnya enak sekali, tubuh saya jadi terasa hangat," balas Erik.
"Oh, itu buatan Joya anak Ibu."
"Oh, jadi namanya Joya," batin Erik.
Erik melirik Joya yang masih cuek di depannya. Sementara Joya yang mendengar percakapan antara ibunya dengan pria itu berusaha setengah mati untuk tak ikut bicara.
Pengalamannya bersilat lidah dengan pria itu di parkiran tadi membuatnya malas untuk berdebat lagi dengan pria lemah itu.
"Kalau begitu saya permisi, Bu. Sudah terlalu malam, saya harus segera pulang," pamit Erik. Dia pun berdiri dan berjalan menuju ke luar rumah.
"Oh, iya. Hati-hati di jalan. Pelan-pelan aja bawa mobilnya!" pesan Hindun.
Erik mengangguk sambil mengucapkan terima kasih sekali lagi pada Hindun. Lalu menoleh pada Joya.
"Terima kasih, ya," ucapnya pelan saat melewati Joya yang juga ikut berdiri di depan pintu.
"Iya, sama-sama," jawab Joya dengan malas.
Erik pun pulang dengan mobilnya, Hindun melirik anaknya yang masih kesal menatap kepergian Erik.
"Kamu kenapa, Joy?"
"Eh, gak apa-apa, Bu. Aku tidur aja, ya. Mau balik ke parkiran juga tanggung. Sebentar lagi waktunya tutup," jawab Joya.
"Ya udah, tidur sana. Biar besok gak telat pergi kuliahnya," jawab emaknya.
------
Beberapa hari kemudian, Joya sedang termangu di dalam ruangan kelasnya. Dia sedang memandang kertas di tangannya dengan serius. Tak dihiraukannya suara berisik dari mahasiswa lainnya.
"Hey, melamun aja. Mikirin apa sih?" tanya Mawar, teman sekaligus sahabat terbaik Joya di kampus yang baru saja tiba di kelas.
"Aku dapat tawaran magang di kantor Kusuma & Son, War," jawab Joya.
"Wah, hebat sekali kamu. Itu kan perusahaan bonafit dengan banyak cabang di seluruh Indonesia!" pekik Mawar senang.
Joya menghela napas, rasa khawatir jelas terlihat di wajahnya.
"Aku malah ragu, War. Mampu atau gak aku kerja di sana. Lagi pula kalau aku magang di sana, aku gak bisa kerja jadi tukang parkir lagi dong."
Joya menumpahkan kegalaunnya pada Mawar. Namun, Mawar yang mendengar keluhan Joya malah tertawa kecil.
"Joya, Joya. PT. Kusuma & Son itu perusahan bonafit. Mana mungkin kamu magang di situ gak digaji. Malah mungkin gaji kamu berlipat-lipat banyaknya dari gaji sebagai tukang parkir," terang Mawar.
"Benar juga," batin Joya.
Akhirnya Joya merasa yakin akan menerima tawaran kerja magang di perusahaan tersebut. Keesokan paginya, Joya sudah duduk dengan rapi di lobi kantor PT. Kusuma & Son.
Resepsionis bilang kalau Bos mereka belum datang, jadi Joya harus menunggu di sini. Joya melihat bayangan dirinya di dinding kaca kantor.
Sebenarnya dia merasa canggung memakai pakaian seperti ini. Joya merasa lebih nyaman dengan memakai celana panjang dan kaos oblong saja. Namun, dia tahu kalau ingin bekerja di kantor harus memakai rok dan blouse seperti yang dipakainya sekarang.
"Selamat pagi, Pak Heru. Mas Seno, Mas Riko, dan Mas Diki," sapa resepsionis dengan hormat saat empat orang pria gagah masuk ke dalam kantor.
Joya pun ikut berdiri menyambut pemilik perusahaan tempat dia akan bekerja.
Heru dan anak-anaknya mengangguk sambil tersenyum pada semua orang yang menyapanya.
"Gantengnya, anak-anaknya juga. Sayang sekali mereka sudah menikah semua," batin Joya.
"Mbak, silakan naik ke lantai 5. Mas Seno akan menerima anda di sana," kata resepsionis mengagetkan Joya yang sedang melamun.
"Eh, iya, Mbak. Terima kasih," jawab Joya malu.
Dia pun bergegas naik ke lantai 5 dengan hati cemas. Baru kali ini dia berada dalam suasana kantor yang segalanya sudah diatur dengan rapi dan teratur.
Bersambung.