Bab 2
Akhirnya Erik mengalah dan memilih mengikuti keinginan papanya agar dia fokus kuliah dan melupakan impiannya menjadi pemain sepak bola.
Sekarang dia dipaksa untuk menikah dengan anak sahabat papanya. Jika Erik menolak papanya mengancam akan mengusirnya dari rumah.
Erik bukannya takut dengan ancaman papanya, dia sama sekali tak takut jika harus hidup susah di luar sana. Namun, Erik sangat sayang pada mamanya, dia tak ingin mamanya sakit karena memikirkan masalahnya.
Erik takut jika dia nekat pergi dari rumah, Mama akan syok dan sakit. Erik tak ingin hal itu terjadi.
"Aaaaaa! Bagaimana ini? Di mana aku akan menemukan calon istri dalam waktu sekejap?" tanya Erik dalam hati.
Dua Minggu bukan waktu yang lama Erik merasa kalau dia harus bertindak dengan cepat.
Erik bingung dan pusing memikirkan ancaman papanya. Untuk menghilangkan rasa pusingnya, Erik pun membawa mobilnya bekeliling kota sekedar menghilangkan rasa bosan di hatinya.
Setelah berputar-putar di kota dengan mobilnya selama beberapa waktu, akhirnya Erik memutuskan untuk pergi ke pantai. Dia pun memutar arah mobil menuju ke pantai saat hari mulai gelap.
Erik mengemudikan mobilnya dengan pelan, dia tak ingin celaka jika harus mengebut dengan perasaan yang masih kacau seperti ini.
Sesampainya di pantai, Erik memarkirkan mobilnya secara sembarangan. Namun, seorang gadis berlari mendekati Erik yang sudah keluar dari mobilnya.
"Mas, tunggu. Mobilnya bisa diparkirkan yang benar, kan? teriak gadis itu membuat Erik menoleh ke asal suara.
"Kamu!" teriak Erik dan gadis itu berbarengan.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Erik dengan kesal.
Hatinya semakin kesal melihat wajah Joya yang juga sedang kesal.
"Mas sendiri ngapain malam-malam ke sini. Mau cari mangsa, ya!" tuduh Joya seenaknya membuat mata Erik membulat tak percaya.
"Suka-suka aku, dong. Kok jadi kepo!" balas Erik dengan puas.
"Yee, siapa juga yang kepo. Geer. Oh iya, parkirkan mobilnya dengan rapi. Nanti kalau banyak pengunjung yang datang, mobil kamu menghalangi jalan masuk mobil lain," kata Joya panjang lebar.
"Kalau aku gak mau?" tanya Erik dengan nada mengejek.
Joya berjongkok lalu meraih batu sebesar kepalan tangan. Dia mengarahkan tangannya yang menggenggam batu pada mobil Erik.
"Parkirkan yang rapi atau jangan salahkan aku kalau kaca mobil kamu pecah?" ancam Joya sambil menunjukkan batu yang sedang dipegangnya.
"Dasar gadis aneh!" gumam Erik. Dia mendengkus kesal lalu masuk kembali ke dalam mobilnya. Dengan kesal Erik terpaksa mengikuti instruksi dari Joya dimana mobilnya bisa di parkir kan.
"Oke, di situ sudah bagus," kata Joya memuji Erik.
Kemudian Joya meninggalkan Erik yang masih terus mengomel padanya. Bagi Joya, omelan serta ejekan sudah biasa diterimanya. Resiko pekerjaannya sebagai tukang parkir paruh waktu memang seperti ini.
Apa lagi dia bekerja di saat malam hari, dimana kebanyakan pengunjung yang datang adalah pria hidung belang yang datang ke pantai ini untuk mencari santapan malam.
Suara klakson serta sinar lampu mobil yang menerpa wajahnya membuat Joya tersadar dari lamunannya. Dengan sedikit berlari dia menyongsong mobil yang datang serta memandunya untuk parkir dengan rapi di tempatnya.
Setelah selesai Joya pun kembali ke tempatnya untuk menunggu pengunjung yang akan datang selanjutnya.
Sambil menunggu, seperti biasanya Joya akan mengisi waktunya dengan membaca buku-buku kuliahnya. Joya memang masih kuliah di semester akhir fakultas ekonomi di kampus swasta.
Joya bertekad harus lulus tahun ini juga, agar dia bisa mencari pekerjaan yang lebih bagus dan lebih besar gajinya dari pada menjadi tukang parkir seperti sekarang ini.
"Makan dulu, Joy? Dari tadi belajar mulu," tanya Robert teman satu profesi dengannya. Robert membawa dua bungkus nasi di tangannya, yang sebungkus diletakkannya di atas meja dan yang satunya lagi di makannya sendiri.
"Iya, habis ini aku makan," jawab Joya tanpa menoleh pada Robert.
Joya sedang fokus mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosennya. Robert hanya meliriknya kemudian menghabiskan makannya tanpa bersuara.
Dia tak ingin menganggu konsentrasi Joya yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Robert tahu kalau Joya itu bukan gadis sembarangan, Joya itu adalah gadis yang mandiri dan tangguh.
Robert merasa kagum dengan sosok Joya. Namun, Robert tahu jika dia tak boleh mengejar gadis itu karena tak seiman. Robert hanya menganggapnya sebagai adik yang harus dijaga dan dilindungi.
Sementara di tepi pantai, Erik sedang berdiri menikmati sejuknya angin malam. Matanya menatap jauh ke tengah lautan. Cahaya lampu yang berasal dari kapal-kapal nelayan yang sedang mencari ikan pun tak luput dari pandangannya.
Erik merasa hatinya begitu damai berada di tempat ini. Segala masalah yang menderanya seakan hilang tak berbekas terbawa angin laut yang semakin lama terasa semakin dingin.
Erik pergi ke pantai tanpa direncanakan sehingga dia tak membawa jaket atau pakaian tebal. Dia hanya memakai kemeja tipis saja, tetapi Erik tak menghiraukan rasa dingin yang dirasakannya sejak tadi. Namun, tubuhnya ternyata tak sanggup sehingga membuatnya bersin beberapa kali.
Erik merasa kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Dia sakit, dan Erik sangat membencinya tubuh lemahnya ini. Erik begitu berbeda dengan saudaranya yang lain.
Mereka kuat dan jarang sakit, sedangkan Erik sejak kecil sudah menjadi langganan rumah sakit keluarga mereka.
Erik merasa tubuhnya mulai tak enak. Bersin berulangkali, ditambah batuk dan rasa dingin di sekujur tubuhnya.
Erik mulai menggigil kedinginan, kepalanya mendadak terasa pusing. Akhirnya Erik pun memutuskan untuk pulang, dia tak ingin terjadi apa-apa dengan dirinya nanti.
Dengan sedikit terhuyung, Erik berjalan menuju ke mobilnya. Sesekali dia bersin dan hal itu membuat kepalanya semakin pusing. Mobilnya sudah kelihatan, Erik merogoh kantong celana untuk mengambil kunci mobilnya.
Tiba-tiba pandangan matanya mengabur serta rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. Erik tak tahan lagi, dia pun terhuyung kemudian terjatuh tak sadarkan diri.
Joya baru saja akan membuka bungkusan nasinya, saat matanya menangkap bayangan seseorang yang sedang menuju ke parkiran mobil.
Dia pun berdiri lalu berjalan mendekati orang tersebut, karena Robert tengah memandu mobil lain yang baru saja datang.
Joya memicingkan matanya agar bisa lebih jelas melihat karena lampu penerangan yang minim di parkiran itu. Namun, Joya bisa mengenali sosok pria yang sedang berjalan itu.
"Rupanya dia sudah mau pulang," gumam Joya.
Joya sudah semakin dekat dengan Erik yang mulai terhuyung, lalu roboh tak sadarkan diri. Untung Joya sempat menangkap tubuhnya sebelum jatuh menyentuh tanah.
"Wah, dia pingsan lagi. Eh, Mas bangun dong!" Joya mencoba membangunkan Erik, tapi tak berhasil.
"Bang Robert, tolong! Ada yang pingsan nih!" teriak ya memanggil Robert yang sedang berjalan menuju ke meja mereka.
Robert menoleh lalu berlari mendapati Joya yang sedang menahan tubuh Erik yang terkulai tak berdaya
Bersambung.