BRUKKKK
"Nyonya!"
Bella sudah hilang kesadarannya beberapa menit setelah Intan memasuki kamarnya. Pandangannya semakin lama semakin menggelap dan Bella sudah tak bisa mendengar apa pun lagi.
Dirinya selama di perjalanan sudah sangat menahan rasa sakit di kepala yang seperti ditimpa batu secara kasar. Menahan mual yang juga mulai terasa semakin lama. Bella sejak tadi masih berusaha untuk kuat.
Namun sayang, ketahanannya ternyata tak begitu lama hingga dirinya pulang ke rumah. Bella akhirnya pingsan tepat di ruangan Radit membuat Intan panik sendiri.
"Nyonya! Kok Nyonya malah pinsan, sih. Ya ampun. Tolong orang di luar!
Ya ampun, suhu badan Nyonya tinggi banget. Kan apa saya bilang tadi pagi, Nyonya pasti lagi sakit sekarang."
Intan yang sudah ketakutan, cemas, dan khawatir dengan kondisi Bella sekarang. Takut terjadi apa-apa yang tidak mereka inginkan. Sontak, Intan langsung meminta bantuan kepada beberapa orang di luar untuk membawa Bella ke rumah sakit.
Beberapa orang menggotong Bella menuju mobilnya yang sedari tadi menunggu di bawah. Pak sopir yang berjaga pun juga terkejut melihat kondisi Bella yang sudah tak sadarkan diri.
Dengan cepat mereka pun segera menuju rumah sakit terdekat. Di mana pun tempatnya, Intan hanya meminta rumah sakit terdekat saja melihat majikannya sudah mulai mengkhawatirkan.
"Pak! Cepetan dikit, ya! Nyonya Bella kejang-kejang ini. Intan takut, Pak."
"Iya, Intan. Ini Bapak udah cepetin kok. Kita bentar lagi sampai."
Beberapa suster sudah bersiap di depan saat mendapat telpon dari seseorang bahwa ada pasien gawat yang perlu tindakan cepat.
Ya, Pak Darma. Sopir pribadi Bella yang memang orang suruhan Radit sempat menelpon pihak rumah sakit untuk mempersiapkan diri atas kedatangan mereka semua.
Tak ingin terlalu menunggu lama dan sudah sangat khawatir dengan kondisi Bella. Setibanya di rumah sakit, Pak Darma langsung membopong Bella di atas brankar dan segera di bawa ke IGD.
Bella pun mulai memasuki ruangan. Ditangani oleh beberapa suster dan dokter yang telah berjaga. Menunggunya di luar sambil mengurus administrasi yang ada. Intan ikut menangis melihat kondisi terakhir majikannya.
"Kamu kabari Tuan Radit dulu, ya? Bapak mau urus administrasinya Nyonya Bella."
"Tapi ... tapi Intan enggak kuat buat ngomong sama Tuan," sahut Intan mulai terisak.
"Hey ... jangan nangis dulu. Kabari dulu Tuan Radit, ya? Apa pun reaksinya, kamu tampung dulu. Jangan takut."
Dengan terpaksa Intan pun menganggukkan kepalanya pelan. Menerima pinta Pak Darma dan mulai mengeluarkan ponselnya dari saku.
Mencari nama tuannya yang mungkin sekarang sedang sibuk di kantor. Sambil menunggu dokter yang memerikasa Bella keluar, Intan harus segera mengabari Radit.
Pemeriksaan memang terjadi cukup lama. Bella yang masih ada di dalam. Beberapa perawat yang sering keluar masuk. Intan semakin takut mengamati pemandangan ini.
Apakah Nyonya nya sakit separah itu? Hingga sepertinya harus melakukan pertolongan yang cukup lama.
Sekitar satu jam telah berlalu, Bella pun telah dipindakan ke kamar rawat biasa. Membiarkan Bella beristirahat dulu yang masih belum sadarkan diri. Intan masih terus menemani Bella selama di kamar inap.
CKLEEEEKKK
Pintu ruangan terbuka menampilkan Radit yang juga tampak khawatir dengan kondisi Bella. Radit juga tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya setelah dikasih kabar bahwa Bella masuk rumah sakit.
Bahkan meetingnya saja juga dirinya hentikan saat mendengar kabar itu. Tak peduli dampak yang akan dirinya dapatkan setelah ini, pikirannya sudah terpecah kepada sitrinya.
"Bella kenapa, Bi?" tanya Radit dengan nada yang sedikit meninggi.
Intan, yang sedari tadi menemani Bella sontak langsung menundukkan kepalanya. Selaian ketakutan dengan kondisi Bella sekarang, Intan juga takut mendapat murka dari Radit juga.
Mengenal tuannya yang sangat mudah naik pitam, Intan juga jadi kesusahan berbicara sekarang.
"Jawab, Bi!" bentak Radit emosi.
"Nyonya ... Nyonya jatuh pingsan setelah Tuan keluar ruangan tadi. Sebelumnya ... saya sudah merasa kalo Nyonya sedang sakit, terlihat wajahnya yang pucat. Tapi, Nyonya masih mengelaknya," jelas Intan terbata-bata.
"Kalau tahu Bella sakit, kenapa tetep dibolehin keluar, Bi!"
Intan semakin dalam menenggelamkan wajahnya. Bentakan yang Radit berikan memang bukan pertama kalinya Intan rasakan. Dirinya memang sudah sering mendapat marah dari tuannya.
Tapi melihat nyonyanya yang juga lebih mengkhawatirkan, membuat Intan lebih merasa bersalah. Dirinya seakan ikut andil menanggung dosa karena membiarkan Bella pergi meski tahu sedang sakit.
Dalam diam, Intan sedang menahan tangisnya agar tak kembali pecah. Tak mungkin dirinya nangis di hadapan tuannya. Karena Radit paling tak suka dengan orang yang menangis. Akan memperburuk suasana.
"Maaf Tuan. Tapi ... tapi Nyonya Bella tetep bersikeras buat pergi tadi. Dia pengen nemenin Tuan makan siang yang sudah lama Tuan inginkan. Dan saya ... saya cuma diminta untuk menemaninya saja Tuan.
Saya benar-benar tak tahu jika Nyonya benar-benar sakit."
"Argh! Tetap saja jika sudah seperti ini beda lagi urusannya. Dokter ada bilang apa sama kamu?"
Intan pun menggeleng lemah. Tak ada yang dirinya dengar selama menjaga Bella di rumah sakit. Mengatakan pada tuannya bahwa Dokter bisa menunggu Radit untuk menemuinya di ruangan.
Memberi arahan, nama dokter yang menangani Bella, dan tempat ruangannya. Radit pun langsung bergegas untuk menemui sang dokter. Memastikan kondisi istrinya baik-baik saja. Radit memang sedikit merasa bersalah atas kejadian tadi.
Membiarkan tuannya berbincang khusus dengan dokter. Intan lebih memilih menemani Bella saja tanpa mengganggu tuannya. Hingga tak sadar, Bella pun mulai membuka kedua mata.
"Nyonya ... Nyonya udah sadar? Butuh apa? Minum?"
Intan sangat senang ketika melihat Bella sudah mulai membuka kedua matanya. Menggerakkan tangannya dan mulai meraih telapak tangan Intan sendiri.
Gelengan pelan yang Bella berikan dengan senyum tipis yang terlihat sangat dipaksakan, Intan mengamati semua itu dengan tatapan nanar.
"Enggak perlu, Tan. Aku enggak papa, kok. Makasih, ya?
Kamu pasti udah kesusahan bawa aku ke sini," ujar Bella lemah.
"Nyonya bicara apa, sih? Kan itu sudah kewajiban saya untuk langsung siaga jika Nyonya kenapa-kenapa.
Saya aja sampai dimarahin Tuan Radit tadi karena teledor tetep bolehin Nyonya keluar dalam kondisi seperti ini," sahut Intan yang tak terima dengan ucapan Bella barusan.
Radit? Memarahi Intan? Kalimat itu seketika terlintas dalam pikirannya. Masih tak percaya jika Radit benar-benar kemari tadi. Bukannya di kantor ada meeting, dan itu pasti membutuhkan waktu lama?
Atau ... memang dirinya belum sadar begitu lama? Hingga meeting suaminya pun telah selesai. Tapi, apakah benar Radit sebegitunya khawatir padanya?
"Mas Radit, beneran ke sini tadi?" tanya Bella samar-samar.
*Bersambung ...