Perjalanan menuju kamar tadi, sebenarnya banyak pasang mata yang memperhatikanku, keluarga dan kerabat Rey, tentu saja. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang menyapaku, semenjak aku sah jadi istrinya Rey. Mereka hanya memandang dan menilai penampilanku, terlihat dari raut wajah mereka. Mengucapkan selamat pun hanya beberapa, dan itu pun hanya pada Rey, aku seolah-olah tak dianggap dan tak terlihat oleh mereka. Hmmm ... apa mungkin mereka tak menyukaiku? Atau bahkan membenciku?
Terserahlah mau bagaimana sikap mereka padaku, aku tak peduli. Toh pernikahanku dan Rey juga bukan kemauanku, mungkin Rey juga terpaksa menerima aku sebagai pengantinnya menggantikan calon istrinya yang mencoba bunuh diri itu. Dan mungkin saja Rey menerimaku karena desakan dari tante Mariska juga kan?
Ngomong-ngomong soal tante Mariska, aku jadi berpikir kenapa dia memilihku untuk menjadi pengantin penggantinya? Kenapa bukan perempuan muda dari pihak kerabatnya atau kerabat om Danu? Aku lihat sepupu-sepupu Rey banyak yang cantik dan tentu saja modis, berbanding terbalik denganku. Bukankah menikah dengan sepupu juga diperbolehkan oleh agama? Lantas mengapa tante Mariska malah lebih memilihku?
Ah, memikirkan itu semua membuatku pusing saja. Mungkin lain kali bakal aku tanyakan langsung pada tante Mariska mengenai hal itu, karena aku juga harus tahu dong, alasan dibalik jatuhnya pilihan tante Mariska menjadikanku menantunya.
Sampai di depan kamar, aku berhenti sejenak. Memastikan bahwa kamar yang akan kumasuki ini adalah kamar yang tadi digunakan untuk meriasku serta ruangan yang menjadi saksi bahwa aku pingsan dua kali tadi.
Setelah yakin bahwa ini benar kamar yang tadi, aku langsung saja membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
Kriet ....
Pintu terbuka, dan memang benar ini kamar yang tadi, aku masih ingat betul perabot yang ada di sini. Terlihat di dalam masih ada dua perias tadi dan dua orang wanita paruh baya lainnya yang bernama. Bu Asih dan Bu Ningrum, mereka adalah warga sini yang berarti tetanggaku juga. Mereka berdua memang sering dimintai tolong untuk rewang jika ada tetangga yang punya hajat seperti ini.
Melihatku membuka pintu, spontan mereka melihat ke arahku dan menghentikan aktivitas ngerumpinya, entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya, aku tak peduli. Sepertinya mereka heran dengan kehadiranku, terlihat dari raut wajah mereka yang seolah-olah mengatakan 'ada apa?' atau 'kok ke sini?'.
"Lho, kok Keyla ke sini?" tanya Bu Asih. Benar kan dugaanku.
Aku berjalan masuk dan menutup pintu kamar, lalu melanjutkan langkah menghampiri mereka yang tengah duduk di ranjang.
"Iya Bu Asih, Key bosen di depan, capek lagi, terus disuruh sama tante Mariska buat istirahat, ya udah Key ke sini aja," terangku.
Mereka saling berpandangan satu sama lain, mungkin masih belum puas dengan jawabanku.
"Kok istirahatnya di sini? Emangnya Bu Mariska nyuruh kamu istirahatnya di sini?" Kini giliran Bu Ningrum yang bertanya setelah aku sukses menaiki ranjang dan duduk di atasnya.
"Tante Mariska tadi sih nyuruhnya aku istirahat di kamar Rey, tapi kan Key nggak tahu di mana kamarnya, ya udah Key masuk ke sini aja," jawabku. Sebenarnya bukan hanya alasan itu saja yang membuatku masuk ke sini. Tapi nggak mungkin juga kan, kalau aku mengatakan pada mereka, aku malas mencari tahu di mana kamar Rey.
Mereka mengangguk setelah mendengar jawabanku, kemudian hening selama beberapa saat. Hingga akhirnya Bu Asih kembali bertanya, "kamu kok masih manggilnya tante Mariska sih, Key ... harusnya panggil bunda dong, biar sama seperti Rey, kan kamu udah jadi istrinya Rey sekarang, berarti kamu udah jadi anaknya Bu Mariska juga."
Aku memutar bola mata mendengar perkataan Bu Asih. Heran, kenapa hal seperti itu saja harus repot-repot dia katakan padaku. Tanpa diajari pun aku udah tahu, lagian kan tadi Tante Mariska juga bilang gitu, tapi ya aku kan butuh waktu dan penyesuaian ketika harus mengubah panggilan.
"Oh iya, Bu, Key lupa." Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. "Belum biasa juga sih Bu."
"Iya nanti pasti lama-lama terbiasa, ya kan, Key?," sahut Bu Ningrum. Aku hanya mengangguk saja.
"Ya sudah kamu tiduran aja, Key, biar lelahnya hilang." Aku kembali mengangguk mendengar saran Bu Ningrum, kemudian membaringkan tubuhku di ranjang ini. Ah, rasanya nikmat sekali bisa berbaring di ranjang yang super empuk ini, beda jauh sama ranjang di kamarku.
Mereka berempat kembali berbincang-bincang, sedang aku mulai memejamkan mata. Aku tipe orang yang tidak susah tidur, mau seberisik apapun keadaan, kalau udah ngantuk, ya pasti tetap bisa tidur. Makanya, aku sama sekali tak terganggu dengan obrolan mereka, sebaliknya aku merasa seperti sedang diiringi musik pengantar tidur.
Sudah beberapa menit memejamkan mata, kesadaranku masih belum hilang juga. Berkali-kali pindah posisi, tetap saja tak bisa terlelap. Rupanya kebaya yang kupakai, membuatku tak nyaman. Gerah dan risih kurasakan. Kenapa dari tadi tak terpikirkan buat ganti baju aja dulu ya? Ah, dasar aku!
Aku bangun dari posisi berbaring, kemudian duduk di atas ranjang. Menimang-nimang apakah memang harus ganti pakaian atau tidak. Setelah berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk berganti pakaian, masa bodo lah, kalau memang belum boleh ganti.
"Mbak Lela, baju aku tadi mana ya? Pengen ganti nih, gerah," tanyaku pada salah satu perias yang kelihatan seumuran denganku.
"Oh, itu di sofa, Neng Key, sudah saya lipat dulu, bingung mau taruh di mana, jadi saya taruh di sofa aja." Mbak Lela menunjuk ke arah sofa.
"Iya, nggak papa kok, Mbak. Oh iya, bantuin aku buat lepas atribut ini semua dong," pintaku yang langsung disanggupi oleh mereka.
Melepas sanggul yang lumayan rumit di kepalaku ini memang harus minta bantuan, karena aku nggak mungkin melakukannya sendiri, dan yang jelas aku tak bisa. Hehehe.
*****
"Key." Aku terlonjak kaget saat tante Mariska memanggilku di depan pintu. Aku yang sedang minum air putih, refleks memuncratkan air yang tengah kuminum karena saking kagetnya.
"Uhuk, uhuk." Kan jadi batuk gara-gara tersedak tadi.
"Key, kamu nggak papa, sayang?" Tante Mariska berjalan menghampiriku, kemudian mengusap lembut bahuku.
"Eh, nggak papa kok Tan, eh, Bun." Aku meletakkan gelas berisi air putih itu di atas meja rias.
"Oh ya udah." Tante Mariska mengangguk mengerti. "Eh, kok kamu istirahatnya di sini sih? Kan Bunda bilang tadi supaya Key istirahatnya di kamar Rey, malah di sini, Bunda sempet nyariin tadi," gerutu tante Mariska.
"Key nggak tahu di mana kamarnya Rey, tante ... eh bunda."
"Hmm, ya udah, sekarang kamu siap-siap yah, ganti baju, pakai gaun ini." Tante Mariska menyodorkan gaun yang menurutku bagus dan mewah. Karena tadi aku tersedak, jadi aku nggak fokus kalau tante Mariska membawa sebuah gaun.
"Ini gaun apa, Tan?" tanyaku sambil mengerutkan kening.
"Bunda, bukan tante," ralat tante Mariska. Eh, maksudku Bunda. Ya, mungkin sekarang aku harus benar-benar mencoba memanggilnya bunda. Meskipun lidah ini belum terbiasa, tapi harus dibiasain mulai dari sekarang, sebelum dibuasin sama serigala macam Si Rey. Eh.
Mikir apaan?
"Iya, Bun, itu gaun apa?" Aku kembali bertanya, ya kan tadi belum dapat jawaban.
"Gaun buat resepsi nanti, Key." Bunda tersenyum lebar ketika memberitahuku perihal gaun ini.
"Hah! Resepsi?" Mataku melotot mendengar ucapan bunda. "Resepsi apaan, Bun?"
Bunda terkekeh melihat reaksiku. "Iya, resepsi kamu sama Rey, nanti acaranya di gedung."
Gedung? Oh, aku baru ingat, tadi sebelum mama pulang, mama sempat bilang 'sampai ketemu di gedung'. Jadi maksudnya gedung untuk acara resepsi, aku kira nggak akan ada acara resepsi.
"Oh, Key kira nggak ada acara resepsi, Bun," ujarku.
"Ada dong, kan rekan-rekan bisnis ayahnya Rey harus diundang, belum lagi temen-temen arisan bunda, sama kerabat yang jauh. Terus tadi bunda juga bilang sama mama kamu supaya menghubungi keluarga dan kerabat-kerabat kamu, dari pihak mama sama papa kamu," papar bunda. Aku hanya mengangguk saja.
"Oh iya, teman-teman kampus kamu mau diundang, Key? Nanti juga banyak teman-temannya Rey yang diundang, mulai dari teman SMP, SMA, kuliah, sampai teman kerja." Bunda mengucapkannya dengan menggebu-gebu, sedang kali ini aku melongo. Iya, tidak percaya aja kalau Rey ngundang temen sebanyak itu, bukannya dia orangnya kaku banget ya, emang bisa punya temen banyak? Aku jadi suudzan, jangan-jangan temennya Rey itu kebanyakan kaku-kaku juga kayak Rey, macam robot gitu. Bisa jadi kan?
"Key ... kok malah bengong sih," tegur bunda.
"Eh, iya, Bun." Aku gelagapan.
"Gimana, kamu mau mengundang temen-temen kamu nggak? Kalau iya, mending sekarang kamu informasikan langsung di wa, di grup aja, biar kamu nggak japri-in satu-satu, nanti kalau belum selesai semua, sisanya bunda suruh Difi untuk menginfokan yang lain."
"Nggak usah, Bun, Key nggak mau ngundang mereka. Mmm-maksudnya biar temennya Rey aja yang diundang, kalau temen Key kan banyak banget tuh, takutnya nggak muat nanti gedungnya. Jadi nggak usah aja," elakku disertai bumbu-bumbu pemanis.
"Beneran?" Bunda menatapku heran.
"Iya, Bun." Aku mengangguk, mengiyakan.
"Ya udah, kalau gitu kamu langsung ganti baju aja ya, pakai gaun ini, setelah itu kamu harus mau dirias lagi, sekarang periasnya lagi pada makan, jadi kamu siap-siap dulu." Bunda memberi arahan.
Setelah yakin aku paham akan kata-katanya tadi, Bunda Mariska pun pergi keluar dari kamar ini, katanya mau persiapan juga, dan tentu saja menyuruh Rey untuk siap-siap.
Eh, bentar deh, tadi kata bunda, aku harus dirias lagi, dan periasnya sekarang lagi makan, dan aku? Aku dari tadi sama sekali belum makan lho, cuma keisi kue aja tadi. Bunda Mariska kok nggak nawarin aku buat makan dulu ya, malah langsung nyuruh supaya aku langsung pakai gaun ini. Yang lainnya juga nggak ada yang nawarin makan, mentang-mentang aku cuma pengantin pengganti, jadi nggak ada yang peduli gitu sama aku? Duh, malangnya nasibku.
*****
"Dah, selesai!" seru Mbak Lela, perias yang kelihatan seumuran denganku tapi udah punya buntut tiga.
"Woo ... ya ampun Neng Key teh cantik pisan, pantas saja Bu Mariska milih Eneng jadi mantunya," puji perias yang satunya lagi.
"He em, beneran cantik kaya bidadari, pasti nanti semuanya pada pangling." Kini giliran Mbak Lela yang memuji. Kedua perias ini nampak berbinar melihat diriku, mungkin puas dengan hasil riasan mereka.
Memang aku akui, hasil riasan mereka ini bagus banget, nggak cuma yang ini, tapi juga yang tadi pagi waktu akad. Terbukti tadi banyak yang menatapku memuji.
"Kalian bisa aja deh." Aku tersenyum malu.
Ah, gini ya rasanya jadi pengantin. Didandani jadi secantik ini bak bidadari yang merangkap jadi ratu sehari. Tapi sayangnya, aku jadi pengantin karena paksaan dan sialnya lagi pengantin laki-lakiku adalah orang yang kubenci. Duh, dosa apa sih aku, sampai harus punya pasangan semenyebalkan Rey itu.
Eh, tapi nggak papa kok, ini hanya sementara, setelah beberapa bulan ke depan atau kalau perlu minggu depan, aku bakalan ngajuin cerai ke Rey. Bilang aja sama keluarga, kalau kita nggak ada kecocokan, apalagi ini pernikahan paksaan, pasti mereka semua bakalan ngerti.
Ih, tapi masa iya kalau harus ada perceraian. Bukan, tentu saja bukan karena aku tak mau pisah sama Rey. Big no itu mah. Tapi karena dulu aku pengennya menikah seumur hidup sekali, dan itu dengan lelaki yang kucintai, bukan dengan lelaki yang sering bikin aku sebel itu.
Tapi, sekali lagi nggak papa, meski harus ada perceraian. Setelah itu aku bisa menikah lagi dengan lelaki idamanku kan? Dan tentu saja akan mengadakan pesta yang lebih mewah dari ini, setelah itu aku akan hidup bahagia. Ah, memikirkannya saja sudah bikin aku tersenyum-senyum sendiri. Kalau mama lihat, pasti ngatain kalau aku gila.
"Neng Keyla, kenapa senyum-senyum sendiri? Pasti lagi ngebayangin yang iya-iya sama suami ya?" Mbak Lela menaik turunkan alisnya, meledek.
Aku cemberut mendengarnya. Boro-boro mikirin yang iya-iya, yang ada aku mikirin gimana caranya buat mutilasi Si Rey nanti, tanpa diketahui siapapun, dan tanpa harus masuk bui.
"Ih, apaan sih, yang nggak lah," elakku "ya udah yuk, keluar." Aku bangkit dari duduk, kemudian dua perias ini menuntunku berjalan keluar dari kamar.
*****
Menurut informasi, ternyata Rey sudah berangkat duluan ke gedung tempat resepsi. Huh! Nggak etis banget sih, masa pengantin berangkatnya sendiri-sendiri. Tapi nggak papa, justru ini bagus buat diriku, karena nggak harus deket-deket sama manusia batu itu, bisa-bisa nanti aku ikutan jadi batu, kan serem, masa perempuan cantik bak bidadari sepertiku berubah jadi batu, di hari pernikahan lagi, kan nggak lucu.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih seperempat jam, akhirnya aku sampai di gedung tempat resepsi. Aku turun dari mobil, kemudian dituntun oleh mama dan Tante Desi--adik dari papa.
Ketika melangkah di atas karpet merah ini, entah kenapa aku merasa banyak pasang mata yang memperhatikanku. Kebanyakan dari mereka menatapku dengan tatapan kagum dan memuji. Ada yang bilang cantik, ada yang bilang bahwa aku adalah bidadari yang baru turun dari ojek, eh apa hubungannya ya? Nggak kok, mereka bilang aku bidadari dari kayangan. Uuuh ... senangnya dipuji seperti itu, jadi pengen melayang deh. Eh, jangan deng, entar dikira malah mbak kunti, secara aku pakai gaun warna putih.
Mengabaikan para tamu undangan yang tersepona, eh terpesona denganku, aku terus melangkah menuju panggung tempat di mana aku bakal bersanding dengan Rey. Mama terus membisikkan kata-kata ajaibnya untukku, termasuk agar aku jangan sampai pingsan lagi seperti tadi siang. Ah, mama tahu aja kalau putrinya ini sekarang jadi hobi pingsan.
Sampai di depan panggung, kulihat Rey memandang ke arahku dengan tatapan--terkesima. Bukan aku kepedean, tapi memang pandangan mata Rey ke arahku, sama dengan pandangan mereka-mereka yang berdecak kagum dengan kehadiranku.
Nah, baru nyadar kan, kalau aku cantik. Buktinya dia sama sekali tak berkedip ketika menatapku, dan arah pandangnya terus mengikutiku, hingga aku berdiri tepat di sampingnya di atas panggung. Kesadarannya kembali setelah Tante Mariska, eh maksudku bunda, menegurnya, dan dia jadi salah tingkah sendiri. Rasain! Makanya jangan sok jual mahal.
Tamu berduyun-duyun datang menghampiri dan memberikan ucapan selamat. Seperti yang dibilang bunda, teman-teman Rey memang banyak yang datang. Tak jarang dari mereka meledek Rey, dan itu sampai membuat Rey tertawa. Baru tahu aku, kalau manusia batu bin kaku ini bisa tertawa.
Entah kenapa, ketika tak ada tamu yang menyalami kami di panggung, tangan Rey terus saja menggenggam erat tanganku. Heran deh, apa segitu takutnya kalau aku kabur, atau takut kalau aku bakalan ngabisin kue-kue di sini? Dasar aneh.
Tiba-tiba Rey kembali memandang ke arahku, lama. Entah apa yang dipikirkannya, duh aku jadi grogi kan.
Hingga pada akhirnya ....
Cup.
Satu kecupan mendarat lembut di pipi kananku. Siapa lagi pelakunya kalau bukan dia. Ah, rasanya pipiku jadi panas, jantung juga tiba-tiba main bedug nggak beraturan. Saking syok-nya tiba-tiba aku teringat kata-kata mama tadi, supaya ... jangan pingsan.
Ini Rey kesambet atau kenapa sih?
Pingsan nggak ya, pingsan nggak ya?
Pingsan aja deh.
"Key!"
Bersambung