Kami makan dengan diam, dan aku pun khusyuk menyantap makananku. Lebih tepatnya tak mau ambil peduli sama manusia batu di hadapanku.
"Rey, kamu kemana aja, sih? Dari kemarin aku nyariin kamu, lho." Tiba-tiba ada seorang wanita datang menghampiri meja kami. Ah, maksudku menghampiri Rey.
Aku jadi penasaran siapa dia. Apalagi muka Rey seketika berubah menyadari kehadiran wanita ini.
Siapa sebenarnya dia? Kok kayak nggak anggap aku ada di sini, padahal kan aku ada di depan Rey.
"Ehem." Aku berdehem.
Wanita itu menoleh ke arahku, pandangan matanya tampak meremehkanku.
"Siapa lo?" tanya wanita itu.
"Menurut lo," jawabku cuek. Aku kembali menyantap makanan di depanku. Sebodo amatlah dia siapanya Rey, aku nggak peduli. Mending ngabisin makanan lezat ini, ya nggak? Sayang kan kalau makanannya dibiarin hanya karena wanita yang penampilannya udah kayak orang gila ini. Kenapa aku bilang dia kayak orang gila, ya karena pakaiannya itu lho, kurang bahan banget. Padahal kalau aku katain dia miskin, pasti nggak bakal mau.
Heran deh sebenernya aku, mereka yang sukanya ngaku orang kaya, ngakunya sultan, tapi beli bahan buat nambal pakaiannya yang bolong-bolong itu, nggak mau, padahal lebih dari mampu.
Sedangkan aku yang bukan orang kaya aja sukanya beli baju-baju yang kelebihan bahan, ya meskipun kepalaku belum tertutup hijab.
"Rey dia siapa sih, kok bisa makan semeja sama kamu?" tanya wanita itu dengan suara yang dibuat-buat. Dih, kok aku jadi pengen muntah ya. Kresek mana kresek? Eh, ini kan bukan di dalam bus ya, jadi ngapain nyariin kresek buat nampungin muntahan, bukannya lebih baik kalau aku muntah di pakaiannya wanita bak orang gila ini?
Rey masih diam, nyuekin ni wanita gila, dan memilih melanjutkan isi ulang perutnya. Bagus Rey, cuekin aja terus. Sekarang wanita gila ini udah duduk di samping Rey. Elah, siapa yang nawarin dia duduk coba, kan dari tadi di antara aku dan Rey nggak ada yang ngomong. Dasar nggak punya kemaluan, ups ... maksudnya nggak punya malu.
Aku menghentikan aksi pemberian gajian ke cacing-cacing di perutku, kemudian menandaskan satu gelas es jeruk. Aah, segar. Kok jadi kenyang ya, padahal masih ada tiga porsi lagi lho. Hei, cacing, kamu harus kuat, jangan berhenti di sini, karena menghadapi dua manusia di depanku yang lagi drama ini, butuh amunisi yang ekstra.
"Ehem." Aku berdehem lagi. "Perasaan tadi nggak ada yang nyuruh duduk deh." Aku menyindir tanpa menatapnya. Memandang wajahku dari layar ponsel jelas lebih menarik, dari pada lihat muka dia.
"Suka-suka gue, lagian lo siapa pake makan semeja sama Rey, lo pasti pengemis yang minta makan ke sini kan, dan karena Rey baik hati, makanya ngasih lo makan," ejek wanita gila itu.
Apa penampilanku yang cuma pake hoodie warna abu-abu dipadukan dengan celana jeans ini, memang pantas disebut pengemis? Kayaknya sebaliknya deh, nggak nyadar diri emang.
"Situ punya kaca nggak? Atau mau gue pinjemin?" tanyaku balik ngejek. "Eh, jangan deh, kalau kaca gue dipinjemin ke lo, takutnya nanti kaget lagi, karena menampakkan titisan wajah mbak kunti waktu masih jadi orang gila."
"Ku*ang ajar, lo! Lo pikir lo siapa, pake ngejek-ngejek gue?" Si wanita gila udah mulai melotot ke arahku. Oh, mau dicolok matanya ya, atau mau dicongkel sekalian, boleh, mumpung di meja lagi ada banyak garpu. Eh, jangan pake garpu deng, takut garpunya ternodai. Nanti malah Rey minta ganti rugi, secara dia kan pelit bin kikir.
"Lah situ sendiri siapa, gangguin orang makan aja, terus kan situ duluan yang ngejek, jadi sebagai warga ples enam dua yang rajin balas-membalas, ya gue balik ejek situ dong, biar imbang." Bagus, Key. Ayo lawan, jangan nyerah.
"Rey, dia itu siapa sih sebenarnya, kok dari tadi rese terus." Nah, kan. Kalau ngomong sama aku aja, itu mulut pedes banget, giliran ngomong sama Rey, kayak ada gula-gulanya gitu. Sayangnya gula itu malah bikin aku mules.
Tangan wanita itu udah bergelayut manja di tangan Rey. Wah, tangannya mulai aktif ya, Bun. Jadi pengen ambil golok.
Dengan ekspresi tak sukanya, Rey menepis tangan itu. Wah, manusia batu pinter juga.
"Dia tetangga saya," lirih Rey, tapi masih bisa aku denger.
Hmm ... bagus ya, giliran cewek yang nanya dia ngakunya tetangga, lah tadi, kak Arga tanya, langsung semangat memperkenalkan diri sebagai suami. Belum pernah ngerasain mukanya dilempar pake sepatu kali.
Bukannya aku cemburu ya, itu sih nggak mungkin banget. Yang aku khawatirin takut ada orang resto yang denger pengakuan Rey sama wanita gila ini. Mau ditaruh di mana mukaku kalau mereka tahu aku nggak dianggap sama suami.
"Ooh ... tetangga, kok bisa ada di sini makan berdua sama kamu?" Kepo banget ya nih orang gila. Jadi pengen nampol mukanya yang berlapiskan make up tebel plus bibirnya yang seperti berdarah-darah karena saking merahnya. Beneran udah mirip cabe-cabean.
"Iya, dia kelaparan, jadi saya ajak dia ke sini, dari pada nanti jadi busung lapar." Si manusia batu bener-bener nggak ada akhlak ya. Sebelas duabelas sama wanita gila ini.
"Kelaperan? Pasti dia orang miskin ya, sampai bisa kelaperan gitu, pantes aja gayanya kampungan," cibir si wanita gila itu sambil kembali memandang rendah ke arahku.
"Heh, gue emang miskin, tapi nggak kampungan ya, liat dong, siapa yang lebih kampungan. Gaya udah kayak telanjang aja bangga." Aku balas mencibir. Jelas dong, aku nggak terima dikatain sama dia.
"Lo tuh bener-bener ya!" Wanita gila ini berdiri sambil berkacak pinggang, menatap jengkel ke arahku. Matanya udah kayak mau copot aja.
"Apa!" Aku ikut berdiri, dan menggebrak meja. Tatapan tak kalah sengitnya, aku layangkan padanya. Biar dia tahu kalau seorang Keyla Anastasyia nggak bakalan takut sama cewek modelan kayak dia.
Aksiku yang menggebrak meja sontak membuat beberapa pengunjung lain memandang ke arah kami. Ada juga dari mereka yang sengaja mengabadikannya di ponsel. Entah difoto atau divideo, aku nggak peduli, mau diviralin juga aku lebih nggak peduli.
Rey ikut berdiri dan beralih ke tengah-tengah antar aku dan wanita gila itu. "Sudah, sudah, apa-apaan kalian ini, menganggu pengunjung saja."
Rey meminta maaf pada para pengunjung dan sempat memohon agar kejadian tadi jangan disebarkan di sosial media. Pasti si manusia batu takut kalau restonya viral bukan karena sesuatu yang baik, tapi justru sebaliknya.
Aku duduk kembali dan berniat menghabiskan makanan yang tersisa, meski rasa jengkel masih bercokol di hati. Si wanita gila juga ikutan duduk dengan tampang kesalnya. Setelah Rey duduk, wanita gila itu kembali melingkarkan tangannya di lengan Rey.
Kali ini aku nggak akan peduli. Lagi pula apa urusannya denganku, memang sih aku istrinya Rey, tapi kan istri karena jadi pengantin pengganti. Jadi sama sekali nggak ada rasa cemburu.
Untuk yang kedua kalinya Rey menepis tangan gatel wanita gila itu. Lalu menatap tajam ke arahku kemudian beralih menatap ke arah wanita gila itu dengan tatapan ... kesal.
"Sebenarnya kamu mau ngapain ke sini?" tanya Rey ke wanita gila yang tadi dia panggil Sin. Sin siapa ya? Sinting kah? Wkwkwk.
Roman-romannya sih Rey kayak nggak suka dengan wanita ini, tapi lihat aja nanti apa yang bakal mereka bicarakan. Kupingku senantiasa terpasang buat ngedengerin obrolan mereka. Eh, ya pasti terpasang dong ya, emang biasanya kupingku bisa dicopot pasang?
"Lho, kok kamu gitu sih, nggak seneng ya kalau aku ke sini?" Ih, kok aku mual ya denger gaya ngomongnya yang sok imut gitu.
Rey menghembuskan nafas kasar, lalu menyugar rambutnya. Kayaknya sih frustasi. Iya lah frustasi, ngadepin orang gila sih.
"Sudahlah Sin, nggak usah basa-basi!" Nah, loh, Rey udah mulai ngegas tuh.
"Ya, oke, oke. Aku ke sini ya mau ketemu kamu lah, emangnya mau apa lagi. Dari kemarin aku tuh ke sini bolak-balik nyariin kamu, tapi kamunya nggak ada terus. Aku chat kamu juga kok centang satu aja sih, kamu blokir nomor aku ya?"
Aku masih diam menyimak, meskipun tanganku sibuk memasukkan makanan ke mulut manisku. Tatapanku juga fokus ke makanan yang jelas lebih enak dipandang dari pada dua insan yang lagi memainkan drama yang tak berkesudahan.
"Saya kemarin menikah," ucap Rey datar.
Aduh ... tiba-tiba perutku mules deh. Tanpa basa-basi dan tanpa pamit sama dua makhluk itu, aku langsung aja pergi mencari toilet untuk bersembunyi. Eh, bukan, maksudku untuk menyalurkan hasrat pengen buang.
Dan aku pun lari terbirit-birit.
*****
Aku memandangi wajahku di cermin toilet khusus perempuan, setelah selesai buang hajat. Meski wajahku nggak dipoles make up sama sekali, tapi tetap terlihat cantik bak bidadari. Jelas menangan aku ke mana-mana kalau dibandingkan wanita gila itu. Ya iya lah, dia make up doang yang tebel. Aku yakin kalau dia nggak pakai make up, pasti wajahnya nggak jauh beda sama orang-orang di pinggir jalan yang suka nggak pakai baju itu.
Bukannya aku sombong dan kepedean ya, tapi emang bener kok kalau aku cantik. Buktinya ibu-ibu di komplek suka bilang kalau aku mirip artis yang suka nongol di tipi. Siapa namanya aku nggak tahu, kan nggak suka nonton tipi.
Di kampus juga banyak cowok-cowok yang ngejar-ngejar aku pas tahu kalau aku lewat. Tahu kenapa? Ya karena kadang aku lupa bayar utang sama mereka. Tapi tenang aja, semua udah aku lunasin kok, waktu papa ngasih uang saku lebih. Biasanya mama nggak pernah ngasih uang lebih, makanya aku suka ngutang.
Dan aku ngutangnya bukan untuk jajan ya, dan nggak setiap hari juga kok. Tapi setiap ada novel baru dari beberapa penulis favoritku.
Karena sekarang statusku udah jadi istri dari pengusaha resto, maka besok-besok aku bakal malak suami batuku itu yang udah berani-beraninya berselingkuh di depan mataku. Dan mungkin sekarang mereka lagi melakukan adegan hot.
Eh, emang tadi dia selingkuh? Ah, bodo amatlah. Amat aja pinter.
"Eh, selamat pagi menjelang siang, Nyonya Rey," sapa karyawan resto yang baru keluar dari bilik toilet, kemudian ikut bercermin di disampingku.
"Pagi juga," balasku ramah.
Nah, mumpung ada dia.
"Ehem, kalau boleh tau, nama kamu siapa?" Biasa lah, basa-basi dulu.
"Saya Tesa, Nyonya." Dia menjawab sopan.
"Ooh ...." Aku mengangguk-angguk. "Jangan panggil nyonya dong, kita kayaknya seumuran, kok."
Jelas aku nggak nyaman banget dipanggil nyonya, apalagi di belakangnya disematkan nama si manusia batu. Kan aku geli.
"Eng-- tapi ...."
"Udah, nggak usah tapi-tapian. Panggil gue Key, aja."
"Ii--ya," jawabnya terbata-bata.
"Jangan sungkan gitu, biasa aja kali." Aku terkekeh mencoba mencairkan suasana.
Si Tesa cuma nyengir aja. Mungkin dia ngerasa nggak nyaman atau nggak enak karena statusku.
"Eh, Tes." Aku berbisik ke arahnya.
"Iya, Nya, eh, Key, eh, Mbak Key." Lucu juga ya si Tesa ini.
"Biasa aja kali." Aku menyenggol lengannya dengan lenganku. "Panggil Key, aja. Jangan pake embel-embel apapun."
"Iya, Key." Tesa tersenyum.
"Kamu tau siapa wanita yang lagi sama Rey di depan nggak?"
Bersambung