Part 11
"Eh, Tes." Aku berbisik ke arahnya.
"Iya, Nya, eh, Key, eh, Mbak Key." Lucu juga ya si Tesa ini.
"Biasa aja kali." Aku menyenggol lengannya dengan lenganku. "Panggil Key, aja. Jangan pake embel-embel apapun."
"Iya, Key." Tesa tersenyum.
"Kamu tau siapa wanita yang lagi sama Rey di depan nggak?"
"Ooh, yang lagi godain Pak Rey ya?" Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Tesa.
"Dia itu ... Nona Sindi, Key."
"Sindi?" beoku.
"Iya, dulu dia pacarnya Pak Rey. Saya udah lama kerja di sini, Key, jadi lumayan tau kalau dulu mereka pacaran. Tapi tenang aja, sekarang mereka udah nggak ada hubungan apa-apa kok, ya meskipun Nona Sindi sering ke sini sih, tapi Pak Rey kayak nggak suka gitu," jawab Tesa panjang tanpa aku minta.
Aku mengangguk mengerti. "Terus kamu tau nggak kalau mereka putusnya kapan?"
"Eng ... kalau nggak salah sih sekitar dua tahun yang lalu. Mereka putus karena Nona Sindi ketauan selingkuh, padahal katanya mereka udah ngerancanain nikah."
Aku kembali mengangguk. Ternyata Tesa bisa dikorek informasinya juga, bahkan sampai menjelaskan bagaimana akhir kisah Si manusia batu sama wanita gila itu.
****
"Ciee ... yang habis reunian sama mantan," ledekku pada si manusia batu.
Saking nggak ada akhlaknya dia, langsung menyeretku begitu aku keluar dari toilet tadi. Dan sekarang aku berada di ruangan Rey, masih di resto tadi.
Rey hanya menaikkan sebelah alisnya. Pasti bingung kan, mau jawab apa saat ketahuan didatengin mantan. Untung saja pernikahan ini karena desakan dari tante Mariska, yang tentu saja bukan keinginanku. Dan yang jelas aku nggak cinta sama dia, jadi aku nggak terlalu ngenes-ngenes banget jadi istri pas lihat suami sendiri temu kangen sama mantan.
"Kamu cemburu?"
What?
Demi squidward tetangganya spongebob yang paling nyebelin, buat apa coba aku cemburu, kurang kerjaan banget ya kan.
"Sorry yaw kalau gue cemburu, apalagi cemburunya sama lo, nggak ada di kamus hidup gue." Aku mengibaskan rambut panjangku ke belakang.
"Kalau kamu nggak cemburu kenapa kamu tadi marah-marah ke Sindi dan hampir adu jotos?" Rey menyilangkan kedua tangannya ke dada.
"Gue marah karena dia ngehina gue, bukan karena cemburu sama lo. Lagian lo sih bilang kalau gue tetangga lo yang lagi kelaperan," ucapku kesal.
Mukaku sekarang udah lecek banget pasti. Bukan karena nggak lagi pake skincare ya, tapi karena dari tadi malem sampai pagi menjelang siang gini kerjaanku adu urat terus sama ni laki. Kayaknya beneran dia harus segera aku mutilasi.
"Lalu, kalau nggak mau diakui tetangga, kamu mau diakui sebagai apa di depan dia? Istri?" Aku nggak kalau tiba-tiba Rey sekarang udah berdiri tepat di hadapanku, dengan jarak kurang lebih lima centi.
Dia semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku. Mau apa si manusia batu ini? Jangan bilang mau ....
"Heh! Awas! Mau apa lo, jangan macem-macem ya!" Aku mendorong dadanya dengan kedua tanganku. Untung saja tadi habis isi bahan bakar lumayan banyak, jadi meskipun sebagian udah disetor ke tempat buang, nggak bakalan aku kehabisan tenaga.
"Ck! Jangan ge-er!" umpatnya. Dia menyugar rambutnya frustasi. "Saya cuma mau lihat lebih dekat wajah istri saya, tidak lebih. Kamu saja yang berpikir saya akan mencium kamu."
Wei, siapa juga yang ge-er. Bukan aku banget kalau harus kege-eran karena dia.
"Udah deh, gue capek berdebat terus sama lo, anterin gue pulang sekarang."
****
Manusia batu tipe-tipe kayak si Rey ini, emang beneran nggak punya rasa kasihan sedikit pun sama aku. Bayangkan saja, tadi pagi setelah kejadian awkward di ruangan Rey yang berakhir dengan perdebatan itu, dia nggak mengindahkan permintaanku untuk dianter pulang. Padahal badan udah pegal-pegal dan capek banget karena dari kemarin ngikutin acara, belum lagi mikirin yang berat-berat.
Seharusnya kalau dia nggak mau nganter pulang, setidaknya dia bisa nyuruh salah satu karyawannya buat nganterin aku kek, pesenin ojol kek, atau kasih uang buat ngangkot. Tapi emang dasar manusia nggak ada akhlak, udah gitu pelit lagi. Kasihan yang jadi jodohnya.
Lah kan aku jodohnya. Eh bukan, aku istrinya yaw, dan itu nggak berarti berjodoh. Bisa jadi nanti kita cerai kan, seperti apa yang aku harapkan. Toh, pernikahan ini bukan keinginan kita berdua, dan sama sekali nggak ada rasa.
Menunggui Rey di resto, selain bikin bete dan naik darah terus karena hal sekecil apapun bisa menimbulkan perdebatan, ternyata ada yang bikin aku sedikit seneng. Apa itu? Bisa makan siang gratis. Ya tentu aja gratis lah, masa suruh bayar, kalau suruh bayar, nggak bakal aku mikir lama-lama buat ngajuin gugatan cerai. Pelit sih jadi orang.
Akhirnya setelah berkali-kali merengek minta pulang, jam tiga sore ini baru dia ijabahin. Nyebelin emang. Itu pun aku tadi sempat mengancam kalau aku bakal ngadu ke tante Mariska bahwa anaknya ini udah nyiksa aku.
Semobil berdua dengan dia emang harus diem terus, kalau nggak mau ada perkakas yang rusak jika nanti kita bersebat. Tentu saja karena aku takut dimintai ganti rugi, duit dari mana coba, kerja aja enggak, kuliah belum kelar.
"Key."
Aku diam sambil memejamkan mata, pura-pura tidur.
"Key, denger saya tidak, saya tahu kamu nggak tidur."
"Key."
Rey menghembuskan nafasnya, kasar. Sepertinya dia kesel deh sama aku, rasain! Bikin kesel terus sih, sekarang gantian ya.
"Baik kalau kamu masih mau diam, tapi tolong dengarkan saya." Rey kembali menghembuskan nafasnya, kali ini terdengar pelan. "Sesampainya di rumah nanti, ubah panggilan kamu ke saya."
"Panggil aku kamu, jangan lo gue. Itu tidak sopan untuk ukuran suami istri. Saya tidak mau bunda atau yang lainnya curiga."
Aku masih diam dan masih setia memejamkan mata, namun semua perkataan Rey tak ada satu pun yang terlewat dari pendengaranku.
"Dan sebaiknya nanti kita menampilkan kemesraan seperti halnya pengantin baru pada umumnya."
Hah? Ini orang pasti cuma mau modus doang. Bilang aja pengen deket-deket pengen nempel-nempel, pake acara biar nggak ada yang curiga.
Sorry, seorang Key nggak akan nurut gitu aja sama orang yang udah bikin kesel seharian. Meskipun dia suami, tapi kalau suami yang nggak punya hati, kan lebih baik dikerjai.
"Kamu paham apa yang saya katakan tadi kan, Key?"
"Mau sampai kapan kamu pura-pura tidur, sampai di rumah nanti? Berharap biar saya gendong? Saya sih nggak keberatan, itu akan membuat bunda dan lainnya semakin yakin kalau kita bahagia."
Sebenarnya aku udah gatel banget pengen ngomel-ngomel, tapi karena aksi kepura-puraanku ini nggak boleh terbongkar, jadi aku memilih menahan. Ya, menahan rasa kesal yang udah hampir mau naik ke ubun-ubun. Meski Rey tahu sih, kalau ini cuma pura-pura.
Rey diam. Mungkin udah capek kali dari tadi ngomong sendirian. Makanya jadi orang jangan nyebelin.
Ciiit ....
Tiba-tiba saja Rey ngerem mendadak. Ada apa ini?