Setelah duduk di samping kemudi, aku memasang sabuk pengaman. Setelah di rasa siap, mobil pun melaju meninggalkan pelataran hotel.
Dalam perjalanan aku tak membuka suara. Sampai akhirnya Rey menanyakan sesuatu yang bingung harus kujawab apa.
"Key," panggil Rey.
"Hem."
"Arga itu siapa kamu?" Dih, tanya-tanya.
"Emangnya kenapa?" Aku balik tanya.
"Ya, saya pengen tahu dia siapanya kamu. Kelihatannya kalian dekat." Kepo ni orang.
"Kepo," jawabku singkat.
"Tinggal jawab aja apa susahnya, Key." Dih, sewot.
"Tadi lo kan udah denger sendiri penjelasan kak Arga, kenapa sekarang tanya-tanya." Aku memandang lurus ke depan.
"Saya pengen dengar langsung dari mulut kamu." Ni orang kenapa sih sebenarnya, kok tiba-tiba jadi kepo begini.
"Penting banget ya?" Aku menoleh ke arahnya, dan tanpa diduga pandangan kami bertemu untuk sepersekian detik.
"Ehem." Rey berdehem dan kembali menatap lurus ke depan. Kedua tangannya ia gunakan untuk menyetir. "Penting sih tidak, tapi saya perlu tahu siapa saja laki-laki yang dekat denganmu, dan hubungan apa yang terjalin diantara kalian."
"Ngapain nyari-nyari tau soal gue, itu kan bukan urusan lo."
"Jelas itu urusan saya, Key, kamu sekarang udah jadi istri saya, jadi saya berhak tahu tentang kamu."
"Istri sih istri, tapi kan kita menikah itu bukan keinginan kita berdua, lebih tepatnya aku dipaksa menggantikan posisi calon istri lo itu." Aku menjeda kalimatku. "Jadi lebih baik lo nggak usah sok kepo tentang siapa aja laki-laki yang ada di hidup gue. Begitu juga gue nggak akan kepo sama cewek-cewek yang deket sama lo, kita jalani masing-masing aja."
"Tapi kita sudah suami istri, Key, dosa jika kita masih menjalin hubungan spesial dengan orang lain, sementara kita telah terikat janji suci di hadapan Alloh. Tidak baik jika saya membiarkan kamu berhubungan dengan laki-laki lain, begitu pula saya tidak akan berhubungan dengan perempuan lain," sanggah Rey.
Busyet deh, ni orang kenapa jadi religius begini ya, kerasukan setan mana coba? Eh, bukan kerasukan setan, tapi kerasukan jin muslim. Apa karena tadi ketemu sama kak Arga ya, jadi aura-aura positifnya nempel ke Rey.
"Iya, iya, Pak ustadz dadakan," ledekku.
"Kamu tuh ya, dibilangin bu--." Sebelum Rey menyelesaikan ucapannya, aku sumpel mulutnya dengan beberapa tisu yang sedari tadi berada di dashboard mobil, sebelumnya kubundel dulu tisu itu.
"Hahaha ...." Aku tertawa melihat wajah Rey yang terlihat lucu ketika mulutnya kusumpel. Tahu kalau dia bakal selucu gini, bakal sering-sering kukerjain aja. Tapi, kalau aku sering ngerjain dia, berarti aku bakal sering deket-deket sama dia dong. Hiii ... sorry yaw, aku ngeri kalau deket dia.
"Gak lucu!" hardik Rey.
#####
Arga Mahendra. Dia adalah laki-laki dari masa laluku. Seperti yang kak Arga bilang bahwa kami dulu berteman dan bertetangga. Dulu rumahku persis berada di sebelahnya, sebelum akhirnya keluargaku memutuskan untuk pindah ke rumah yang sekarang.
Kak Arga memperlakukanku dengan sangat baik. Sifatnya yang ramah dan humble membuatku nyaman berada di dekatnya. Dia selalu melindungiku dari gangguan anak-anak cowok seumuran denganku yang kala itu sering mengerjaiku.
Umurku dan kak Arga terpaut tiga tahun. Kami berteman sangat dekat, hingga kedekatan itu mampu menumbuhkan benih-benih cinta, namun hanya di hatiku saja, tidak dengan kak Arga.
Waktu itu, aku masih duduk di kelas tiga SMP. Kak Arga adalah cinta pertamaku. Mungkin orang-orang akan bilang jika itu hanya cinta monyet saja.
Suatu hari aku berniat akan menyatakan perasaanku padanya. Aku berpikir bahwa kak Arga juga mempunyai perasaan sama sepertiku. Buktinya ia selalu lebih mengistimewakanku dari pada teman perempuan lainnya yang dekat juga dengannya.
Aku mengajaknya bertemu di sebuah taman yang dekat dengan tempat tinggal kami waktu itu. Taman yang biasa kami kunjungi ketika akhir pekan.
Aku menunggunya hampir dua jam. Padahal kak Arga sudah berjanji akan datang menemuiku, mengapa tak jua kunjung datang? Dia juga bukan tipe orang yang suka ingkar janji, dan akan sangat tepat waktu saat aku membutuhkan bantuannya.
Di jam ketiga waktu menungguku, akhirnya dia datang. Wajahnya tampak berbunga-bunga bagai habis memenangkan give away. Ah, rasanya aku semakin ... jatuh cinta saja.
"Maaf, Key, aku baru dateng," ucap kak Arga. Senyum di wajahnya masih juga belum sirna.
"Nggak papa kok, Kak." Aku memaklumi. Namanya juga sedang jatuh cinta, mana mungkin aku bisa marah dengan dia. Terlebih aku masih ABG. "Emangnya kak Arga habis dari mana?"
Sebagai remaja yang tengah dimabuk asmara, pastilah selalu ingin tahu tentang orang yang dicinta. Begitu juga aku, tak mau sedikit pun ada yang terlewat tentangnya.
Kak Arga tersenyum. Dia duduk di sampingku di kursi taman. Sedetik dua detik ia masih diam, namun senyumannya seolah tak mau sirna dari wajah gantengnya.
"Aku habis jadian, Key," ucapnya sambil menatapku. Dan senyumnya nampak semakin lebar saja.
"Ma--maksud kak Arga?" Aku menatapnya dengan perasaan yang mulai gelisah. Bukan aku tak tahu akan maksudnya, tapi aku ingin memastikan yang sebenarnya.
"Tadi aku habis nembak Gita, Key. Cewek yang dari dulu aku taksir sejak masuk SMA, dan beruntungnya dia nerima cinta aku, jadilah sekarang aku dan dia pacaran. Itu sebabnya aku terlambat datang ke sini."
Kak Arga nampak sangat bersemangat ketika menceritakannya, tapi tidak dengan hatiku. Nyatanya aku terlambat untuk mengatakannya. Dia telah menjadi milik orang lain. Hati dan raganya. Bahkan hatinya sudah lama tertaut dengan pujannya, dan aku sama sekali tak tahu soal itu.
Mataku seketika panas. Ingin rasanya menumpahkan air mata lalu menangis tersedu-sedu, namun aku tak mau mengacaukan suasana hati kak Arga yang tengah berbunga-bunga. Aku tahan air mataku. Dalam hati, kucoba untuk membesarkan diriku sendiri, meski rasanya bagai tertusuk seribu duri.
"Oh iya, Key, kamu kenapa ngajak ketemu di sini? Dan kenapa cuma sendirian, teman yang lain mana?" Kak Arga menengok ke sana kemari mencari keberadaan teman yang lain.
Ah, andai saja kau tahu kak, tujuanku kemari seorang diri.
"Aku sendiri, Kak, aku pengen ditraktir sama Kak Arga." Aku mencoba menampilkan senyuman semanis mungkin seperti biasa, tak ingin ia menduga jika ada yang berbeda dengan diriku, lebih tepatnya hatiku.
"Oke, mau ditraktir apa?" tanya kak Arga.
"Es krim seperti biasa, kali ini tiga ya, Kak, amggep aja pajak jadian."
Dia terkekeh sambil mengusap kepalaku.
#####
"Rey, kenapa kita ke sini, kenapa nggak pulang aja sih," protesku ketika mobil Rey memasuki pelataran sebuah Restoran Jepang.
Padahal aku udah lelah banget, ngantuk juga, maklum tadi malam aku hanya tidur beberapa jam saja. Eh, tapi nggak papa kalau mau ditraktir makan sih. Nggak bakal nolak aku. Kan dari kemarin emang belum makan.
Nasib harus jadi pengantin pengganti, tapi perut tak terisi. Untung nggak sampai membuatku frustasi, kalau iya, mungkin aku udah nelen bola kasti.
Untungnya lagi aku masih sayang nyawa, kalau enggak, mungkin aku sudah memilih untuk masuk ke lubang buaya.
"Ini restoran punya saya." Dih, pede banget ngomong ini restoran punya dia. Eh, tapi kan dia emang punya beberapa restoran, seperti yang selalu diceritakan mama. Mana restorannya gede lagi, kelihatannya nyaman juga.
"Ngaku-ngaku pasti lo," ucapku sok tak percaya. "Mana mungkin lo punya restoran sebagus ini."
"Saya mengatakan yang sebenarnya, terserah kamu mau percaya atau tidak, yang penting saya sudah memberi tahu." Rey melepas sabuk pengaman dari tubuhnya.
"Dih, lagian siapa juga yang nanya ini restoran punya siapa," ujarku masih gengsi mengakui jika benar ini restoran punya dia.
"Saya mau turun, sarapan, kamu mau ikut?"
Hah! Sarapan? Kenapa tadi nggak sarapan di hotel aja coba. Kenapa malah ke sini? Oh, aku tahu, Rey pasti nggak mau mengeluarkan duitnya untuk sarapan di hotel, makanya lebih memilih ke sini yang katanya restoran kepunyaannya. Eh, tapi kan tadi juga Kak Arga nawarin buat traktir sarapan, hmm ... pasti dia gengsi.
Dasar manusia batu, udah pelit, gengsian lagi. Malangnya yang jadi istrinya. Lah, kan aku yang jadi istrinya, berarti aku yang malang dong?
"Woiya jelas ikut dong, cacing-cacing di perut gue udah pada dangdutan dari tadi."
"Saya tahu, saya juga dengar kok."
Lho? Segitu kerasnya kah alunan merdu cacing-cacingku, sehingga si manusia batu bisa denger? Jangan-jangan waktu jantungku mainan bedug, dia juga denger lagi. Wah, bisa gawat kalau itu beneran terjadi.
Rey membuka pintu mobil kemudian turun. Aku mengikutinya.
Ketika masuk restoran, terlihat beberapa karyawan berbaris. Sepertinya mereka mau menyambut kedatangan Rey pagi ini. Berarti bener, ini restoran punyanya dia.
"Selamat pagi Pak Rey dan Nyonya Rey," sapa salah satu karyawan, kemudian menunduk memberikan penghormatan diikuti karyawan yang lain.
Heh, aku dipanggil Nyonya Rey. Kok rasanya geli banget ya, kayak ada pahit-pahitnya gitu.
Sapaan karyawan itu hanya ditanggapi anggukan oleh Rey. "Kalian kenapa berbaris begini?"
"Kami mau menyambut kedatangan Pak Rey dan istri dan kami sekali lagi mengucapkan selamat atas pernikahannya, Pak."
Wah, baik banget mereka. Melakukan semua ini hanya untuk menyambut bos yang tak tahu diri ini.
Kalau saja suamiku bukan Rey, pasti aku sangat tersanjung diperlukan seperti ini.
"Terima kasih."
Dih, cuma gitu dong? Bener-bener nggak menghargai.
Rey menarik tanganku, kemudian berjalan melewati para karyawan itu. Ia membawaku ke suatu ruangan. Kutebak pasti ini ruangannya dia.
"Kamu mau sarapan di sini atau di luar?" tanya Rey datar.
"Ya gue sih pengen di luar, sumpek gue berduaan di ruangan ini sama lo. Gue juga pengen liat spot-spot restoran ini," jawabku jujur.
Rey mengangguk. "Ya udah, ayo." Dia kembali menarik tanganku. Entah apa motifnya. Yang jelas aku harus selalu berhati-hati.
Rey memilih meja di sudut ruangan resto. Aku duduk di hadapannya, kemudian membuka buku menu dan mulai memilih makanan yang akan kupesan.
"Kamu mau pesan apa, Key?" Rey bertanya.
"Emmm ... apa yah, keliatannya enak semua." Baru melihat gambarnya aja udah bikin aku ngiler.
"Ya sudah, kamu pesan saja yang kamu mau." Wah, wah, wah, mentang-mentang dia yang punya resto. Tapi nggak papa sih, ini saatnya buatku ngerjain dia lagi dengan cara merampok makanan di restorannya.
"Beneran?" Aku memicingkan mata ke arahnya.
Rey mengangguk. Yes, akhirnya bisa makan banyak, gratis. Enak-enak lagi. Nggak boleh aku sia-siakan kesempatan emas ini.
"Asal jangan semuanya kamu pesan, bisa bangkrut restoran saya nanti." Ye, sifat aslinya muncul lagi.
Aku mencebikkan bibir, dan kembali fokus menatap ke buku menu. Tak lama kemudian salah seorang waitress datang setelah sebelumnya dipanggil oleh Rey.
Aku menyebutkan pada waitress itu, apa saja menu yang kupesan. Kurang lebih ada sekitar lima porsi menu, dan tiga gelas minuman. Tak apalah, anggap saja lagi perbaikan gizi. Sedangkan Rey hanya memesan satu porsi, dan satu minuman.
Sembari menunggu pesanan, aku bermain ponsel. Rey juga demikian, tampak beberapa kali ia menelpon seseorang.
Sesekali aku juga berselfie ria. Kapan lagi coba, bisa berfoto di tempat seperti ini. Eh, tapi ini kan ini resto punya Rey, besar kemungkinan aku bakal sering ke sini, apalagi aku istrinya. Iih ... kok jadi ngaku istri? Tapi kan iya. Ah, aku jadi ngeri sekaligus miris dengan nasibku kali ini.
Makanan pun datang. Tanpa basa-basi, aku langsung saja eksekusi, maklum dari tadi makhluk-makhluk di perutku udah pada demo mulu.
Kami makan dengan diam, dan aku pun khusyuk menyantap makananku. Lebih tepatnya tak mau ambil peduli sama manusia batu di hadapanku.
"Rey, kamu kemana aja, sih? Dari kemarin aku nyariin kamu, lho." Tiba-tiba ada seorang wanita datang menghampiri meja kami. Ah, maksudku menghampiri Rey.
Aku jadi penasaran siapa dia. Apalagi muka Rey seketika berubah menyadari kehadiran wanita ini.
Siapa sebenarnya dia? Kok kayak nggak anggap aku ada di sini, padahal kan aku ada di depan Rey.
Bersambung