Chereads / Terpaksa Menikahi Tetangga / Chapter 4 - part 4

Chapter 4 - part 4

Aku mendudukkan diri di salah satu kursi di dekat jamuan kue. Nah, kebetulan aku laper, jadi langsung aja kusikat kue-kue yang sudah bikin liurku hampir menetes.

Hmmm ... yummy ... enak banget kuenya.

Sebenarnya dari tadi ada beberapa pasang mata yang memandang heran ke arahku. Masa bodoh lah, yang penting perutku terisi dan nggak menjerit-jerit lagi. Perut kenyang, hati pun senang. Dalam hati aku menyorakkan jargon ala Ehsan di film Upin Ipin.

Tiba-tiba. "Heh!"

"Dih!, apaan sih Lo." Aku melotot ke arah Difi. Bayangin aja, lagi enak-enak makan malah dikagetin. Eh, tapi mungkin itu karma buatku juga kali ya, karena tadi aku juga ngagetin Difi pas lagi makan kue kayak gini. Ini pasti Difi balas dendam nih. Dasar temen nggak ada akhlak.

Difi hanya terkekeh mendengar gerutuanku, kemudian ia ikut duduk tepat di sampingku.

"Pengantin kok makannya di sini sih, sendirian lagi, mbok ya diajak itu suaminya," ucap Difi dengan nada meledek.

"Emang kenapa kalau gue makan di sini? Sah-sah aja kan." Aku kembali mengunyah kue di mulutku. "Oh iya, jangan sebut dia suami gue, geli gue dengernya."

"Masih nanya kenapa, makanan-makanan yang ada di sini tuh khusus buat tamu, kalau lo itu kan pengantinnya, jadi nggak pantes kalo makan makanan khusus tamu, harusnya lo makan makanan yang khusus buat pengantin," ujar Difi berceramah "dan satu lagi, lo kan udah sah jadi istrinya bang Rey, jadi lo harus terima takdir dan harus terima gue katain lo istrinya bang Rey, alias Nyonya Reyhan Alatas."

"Apa lo bilang, takdir? hahaha ...." Aku tertawa mendengar ucapan Difi. Dia bilang takdir? Padahal kalau aku katain dia gemuk karena 'takdir', dia langsung marah-marah, eh sekarang malah menceramahiku dan bilang ini takdir. Lucu nggak sih?

"Napa lo ketawa." Difi mengerutkan keningnya, mungkin saking bingungnya dia kalau gue ketawa setelah dia ceramahi.

"Lagian lo tuh aneh, Fi, lo suka nggak terima kalo gue ngatain lo gemuk karena takdir, lo selalu bilang jangan pernah bawa-bawa takdir, eh sekarang lo malah ngatain gue nikah sama Rey itu karena takdir, aneh kan?" Aku memandang ke arah Difi, sembari terus menikmati kue-kue ini.

Tuk!

Difi menyentil keningku. "Itu beda dodol!"

"Aduh, sakit tau ...." Aku mengusap-usap kening yang disentil Difi tadi.

"Hehehe." Puas rupanya Si Difi udah nyentil keningku.

"Denger ya Key, gue gemuk itu karena gue doyan makan, lah lo, nikah sama bang Rey itu karena lo emang jodohnya bang Rey." Difi menarik nafas kemudian menghembuskannya. "Kalau gue nggak doyan makan, pasti bodi gue lebih bagus dari bodi lo. Terus nih ya, kalau semisal bang Rey nggak berjodoh sama lo, udah pasti tadi bang Rey, nikahnya sama calonnya itu. Tapi nyatanya apa coba, dia jadinya nikahnya sama lo kan? Ya meskipun pada awalnya lo nolak buat dinikahin sama bang Rey." Wih ... Difi beneran punya bakat jadi penceramah bo!

"Ternyata temen gue ini bisa ngomong bijak juga ya." Aku nyengir ke arah Difi.

"Lo bener-bener nggak ada akhlak ya, Key, gue ngomong panjang lebar juga, lo malah nanggepinnya ngledek gitu." Dari nada suaranya sih, Difi udah mulai merajuk nih.

"Ya deh, sorry, sorry, sini peluk dulu." Aku dan Difi pun kemudian berpelukan, eh tapi tunggu, kok perasaanku Difi jadi agak mellow semenjak kita berpelukan gini ya.

"Hiks."

"Lah, kenapa lo? Kok jadi mewek," ucapku seraya melepaskan pelukan diantara kami.

"Gue nggak nyangka aja kalo udah nikah, sama bang Rey lagi, padahal kan kita seumuran, eh malah lo duluan, mana gue ngefans sama bang Rey." Difi mengusap matanya, menghalau agar air matanya tak turun ke pipi.

"Yaelah kirain kenapa." Aku memutar bola mata malas. "Kan lo tau sendiri, ini semua terjadi tanpa pernah gue duga sebelumnya, bener-bener mendadak. Kalau gue tau kedatangan gue ke sini pada akhirnya dipaksa buat jadi pengantin pengganti, nggak bakalan gue mau ikut nyokap gue ke sini. Oh ya, kenapa nggak lo aja ya, yang nikah sama Rey."

"Gue ngefans doang sama Bang Rey, bukan berarti cinta sama dia, gue udah punya gebetan kali, jadi sangat tepat banget kalo pada akhirnya lo nikah sama bang Rey, biar lo jadi bener."

Aku melotot ke arah Difi. "Jadi selama ini gue nggak bener gitu?"

"Iya nggak bener semenjak lo pacaran sama Doddy, untungnya lo kemarin putus sama dia dan sekarang lo bisa nikah sama bang Rey, hoki banget kan lo."

"Gue pacaran sama Doddy nggak pernah macem-macem ya, ketemuan aja kadang seminggu sekali, kadang dua minggu sekali, pegangan tangan juga nggak pernah tau, paling mentok ya bonceng motor," ucapku membela diri. Kesal juga dikatain nggak bener hanya gara-gara pacaran sama Doddy. Padahal kan Difi tahu sendiri gaya pacaranku, apalagi selama ini aku selalu curhat tentang semua cowok yang dekat denganku.

"Iya, iya, gue becanda kali." Difi terkekeh.

"Nggak lucu."

"Eh, Key, lihat deh." Difi menunjuk ke arah Rey dengan dagunya. "Bang Rey liatin lo terus dari tadi, mungkin masih terpesona sama lo, atau mungkin juga dia takut kalo lo ilang."

"Terpesona pala lo! Jelas-jelas dia natap dengan tatapan malaikat maut, yang auranya kayak pengen ngebunuh gue. Dan dengan itu semua justru dia yang bikin gue ilang."

"Eh, dia ke sini, Key," bisik Difi.

Sebenarnya aku deg-degan juga mengetahui kalau Rey lagi jalan ke sini, mana matanya dari tadi natap tajam terus ke aku. Berasa lagi dijemput sama malaikat Izroil kan.

Ampun Ya Alloh ... jangan cabut dulu nyawa Key ....

Tap, tap.

Rey udah berada tepat di depanku, masih dengan tatapan tajamnya. Beneran membuatku jadi merinding disko nih.

"Eh, bang Rey, mau jemput Key ya? Maaf ya, tadi aku pinjem Key-nya sebentar." Ngomong sama Rey aja Difi bisa manis begini, lah giliran ngomong sama aku nggak ada manis-manisnya.

"Oh nggak masalah kok, mau kamu pinjam dia selamanya juga nggak papa, atau kalau kamu mau buang dia ke lubang buaya juga saya sama sekali nggak masalah."

Apah!

Jadi aku punya suami yang sama sekali nggak punya hati ini?

Serius?

Hmmm ... kayaknya sebentar lagi bakalan aku mutilasi ni laki.

"Dasar suami nggak berperikemanusiaan!" gerutuku.

"Eh, aku ke sana dulu ya." Difi melangkah pergi meninggalkanku dengan manusia berhati batu ini.

Merasa takut karena ditinggalin Difi, maka aku pun memutuskan untuk ikut pergi. Namun baru saja satu langkah, tanganku udah dicekal sama laki batu ini.

"Ih! Apaan sih, lepasin nggak," sentakku seraya menepis tangannya. Tapi sayangnya cekalan tangannya terlalu kuat, hingga aku tak bisa melepaskan diri.

"Siapa yang menyuruh kamu pergi?" tanya Rey. Alisnya dia angkat sebelah. Cih! Tipe-tipe antagonis banget.

"Ya terus ngapain?" tanyaku ketus.

"Ambilkan saya kue, saya lapar," perintahnya. Dia pikir aku babunya? Seenaknya aja nyuruh orang.

Aku hendak membuka mulutku untuk melayangkan protes, tapi udah dia cegah dengan ucapannya "kamu sekarang sudah jadi istri saya, jadi sudah selayaknya kamu melayani saya, dan tidak boleh protes."

******

"Ma, Key ikut pulang ya," rengekku pada mama yang hendak pulang ke rumah.

"Kamu di sini aja lah, Key, sekarang kan kamu udah jadi istrinya Rey, kamu nanti pulangnya sama Rey ya," jawab mama sembari mengusap kepalaku yang masih disanggul.

"Iya, Key, bener apa kata mamamu, kalau kamu mau pulang, ya barengan sama Rey nanti, lagian rumah kita nggak pindah kok, masih di depan sana." Papa menimpali.

"Rumah orang tuamu sama rumah mertuamu ini berhadap-hadapan, Key, jadi jangan bikin drama seolah-olah kamu mau mama sama papa pergi jauh." Kan, mama emang nggak ngerti perasaan aku sekarang ya.

"Tapi, Ma---"

"Ssst ... no tapi-tapian!"

"Ish! Mama kejam banget sih!" rajukku sambil melipat tangan di dada.

"Udah ... nggak usah seperti anak kecil lagi, Key, ingat kamu ini sudah jadi istri orang, jangan manja-manja lagi, inget pesan-pesan yang mama sama papa sampein tadi." Kalau papa udah ngomong serius gini, mau nggak mau aku harus nurut, meski beraaat banget.

Ini semua gara-gara mantan calon pengantinnya Rey. Kalau aja dia di sana nggak pake acara percobaan bunuh diri, udah pasti dia yang nikah sama Rey, dan aku masih berstatus lajang.

Eh, tapi kenapa tadi aku nggak nyoba ngancem bunuh diri aja yah, waktu tante Mariska maksain aku buat jadi pengantin pengganti. Huh, dasar! Kenapa nggak kepikiran? Tapi kalau pun kepikiran, pasti mama bakal biarin aku buat melancarkan drama bunuh diri itu, ya karena mama pasti tahu kalau itu cuma pura-pura aja. Dan aku nggak mungkin dong beneran bunuh diri, aku kan masih kepengen hidup, nggak pengen mati dulu, apalagi matinya secara nggak wajar gitu. Auto dijemput malaikat penjaga neraka kan.

"Key." Mama mengguncang lenganku, yang seketika membuatku tersadar dari lamunan.

Aku mengerjap dan kembali menatap mama. "Iya, Ma."

"Malah ngelamun lagi, dengerin nggak tadi mama sama papa ngomong?"

"Iya denger kok," jawabku pelan.

"Ya udah, mama papa pulang dulu, kamu baik-baik di sini, nanti kita ketemu di gedung." Papa mengusap kepalaku kemudian diikuti mama.

Papa dan mama berjalan meninggalkanku yang masih berdiri mematung di sini memperhatikan mereka yang perlahan menjauh.

Aku bingung mau ngapain setelah ini. Pasalnya di sini sudah tak ada lagi yang kukenali. Difi udah pamit pulang sebelum mama sama papa pulang, para tetangga seperti juga telah pulang semua. Kini hanya menyisakan para keluarga dan kerabat dari tante Mariska dan om Danu yang sama sekali tak kukenal.

Merasa bingung, akhirnya aku memilih menyingkir dari keramaian, berjalan ke salah satu sudut ruangan yang terdapat satu kursi di sini.

Setelah berhasil mendaratkan pantat di kursi, aku mengeluarkan ponselku dari saku rok setelan kebaya yang kupakai. Meski awalnya kesulitan, namun akhirnya ponsel berhasil kugapai.

Hal pertama yang ku-cek setelah ponselku menyala, aku langsung membuka aplikasi warna hijau. Beberapa pesan mulai berduyun-duyun masuk memenuhi beranda whatsapp, baik pesan pribadi maupun pesan yang dikirim di grup.

Terlihat banyak pesan dari para bude, pakde dan keluarga serta kerabat yang lain dari pihak papa maupun mama. Mereka semua kompak memberikan kata selamat untukku, baik secara pribadi, maupun ucapan di grup keluarga. Meskipun banyak dari mereka yang heran kenapa pernikahanku begitu mendadak, dan tak ada satu pun dari mereka yang diundang.

Aku mengabaikan pesan-pesan mereka, dan membiarkan mama dan papa yang membalas satu persatu pertanyaan demi pertanyaan yang mereka lontarkan.

Sebenarnya aku juga heran, dari mana mereka mengetahui tentang pernikahan tanpa rencana ini. Tapi setelah aku membuka bagian fitur status di whatsapp, maka terjawablah sudah. Ternyata mama sama papa meng-up status tentang pernikahanku. Mama membuat status berupa foto di mana aku sedang mencium tangan Rey, disertai caption 'selamat menempuh hidup baru anakku'. Sedangkan papa meng-upload foto ketika beliau menjabat tangan Rey saat akad.

Sedang fokus bermain ponsel, tiba-tiba tante Mariska datang menghampiri. "Lho sayang kok kamu di sini sendirian?"

"Iya, Tan, mama sama papa udah pulang tadi. Key, mau ikut pulang malah nggak dibolehin," aduku pada tante Mariska.

"Iya dong, Key, kamu kan udah menikah sama Rey, otomatis kamu juga tinggal di sini dong. Dan kamu harus panggil tante dengan sebutan bunda, karena sekarang kan udah jadi anaknya bunda," papar tante Mariska.

"Gitu ya, Tan?"

"B-u-n-d-a, bukan tante."

"Hehe, iya deh, Tan, eh. Bunda ...." Aku nyengir dan menuruti permintaan Tante Mariska eh ralat, maksudku bunda Mariska. Ah rasanya kaku jika harus mengubah panggilan, ibarat sudah biasa masak pakai Rayca, sekarang harus pake Misika. Auto penyesuaian lidah dong.

"Nah, gitu dong." Tante Mariska tersenyum senang mendengarku menyebut dirinya bunda. Mungkin karena efek dia nggak punya anak perempuan kali ya.

"Oh iya, Key, sebaiknya kamu sekarang istirahat dulu ya, kayaknya kamu udah lelah deh." Tante Mariska eh bunda Mariska menelisik tubuhku. "Kamu bisa bobo siang dulu di kamarnya Rey ya sayang."

"Tapi, Tan, eh, Bun--."

"Nggak ada tapi-tapian, udah sana istirahat, bunda mau nge-cek yang lain dulu." Tante Mariska eh bunda Mariska pergi meninggalkanku.

Kalau boleh jujur, memang rasanya aku lelah, lelah hati lelah jiwa memikirkan ini semua. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi beristirahat, karena nggak tahu di mana kamar Rey, dan nggak pengen juga ke sana, aku memutuskan untuk pergi ke kamar di mana aku di rias tadi. Entah itu kamar siapa, aku tak tahu.

Perjalanan menuju kamar tadi, sebenarnya banyak pasang mata yang memperhatikanku, keluarga dan kerabat Rey, tentu saja. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang menyapaku, semenjak aku sah jadi istrinya Rey. Mereka hanya memandang dan menilai penampilanku, terlihat dari raut wajah mereka. Mengucapkan selamat pun hanya beberapa, dan itu pun hanya pada Rey, aku seolah-olah tak dianggap dan tak terlihat oleh mereka. Hmmm ... apa mungkin mereka tak menyukaiku? Atau bahkan membenciku?

Bersambung