"Lia?"
"Iya, ini Lia."
"Wahhhh, nggak nyangka bisa ketemu lagi!" dengan begitu antusias, Angga menanggapi hingga sisa bubur yang ada di mulutnya hampir menyembur keluar. Seketika saja hal tersebut membuat Lia terbahak.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Lia, lalu memutuskan untuk duduk di kursi yang berhadapan dengan Angga.
"Haha ya sarapan dong, masa betulin genteng," sahut Angga dengan kocak yang membuat Lia tertawa.
Sang gadis sama sekali tidak menyangka dengan jawaban dari Angga yang begitu nyeleneh. Hal itulah yang membuat Lia merasa menjadi mudah akrab dengan Angga yang sepertinya memang memiliki sifat humoris.
"Ohhh, ya kirain mau bantu Pak Mudin jualan, hihi. Iya nggak, Pak?"
Pak Mudin si penjual bubur yang merasa namanya dipanggil pun menoleh ke arah Lia.
"Nggak mau. Maunya Mbak Lia aja yang bantu," sahutnya yang lalu menjadi sukses mengundang kekehan para pengunjung yang notabene adalah para mahasiswa yang sedang sarapan.
"Maunya Bapak, Lia mah nggak. Hihi," balas si gadis yang kembali mengundang tawa.
Angga yang melihat interaksi itu, hanya bisa tersenyum namun sorot matanya tak bisa menutupi kebingungan yang mendera. Karena, ia melihat adanya hubungan begitu dekat antara Lia dan juga Pak Mudin yang seolah sudah saling kenal dalam waktu lama.
"Kamu kenal sama yang jual? Berarti udah biasa kemari dong? Atau jangan-jangan, beliau itu Ayahmu?" tanya Angga secara beruntut, setelah selesai menghabiskan bubur ayam porsi kedua. Hal yang dikatakan oleh si lelaki kopcak, kembali membuat Lia terkekeh saat tanpa diduga mendapatkan pertanyaan berurutan seperti itu.
"Hampir setiap pagi, aku datang kemari kalau di rumah belum sarapan. Apalagi kalau ada kelas pagi-pagi."
"Ohhhhhh, masih kuliah?" tanya Angga memastikan.
"Iya, masih. Semester enam dan itu kampusku," jawab Lia sambil menunjuk ke arah bangunan kampus yang berada di seberang warung bubur Pak Mudin.
"Ohhhh ... ambil jurusan apa, Lia?"
Belum sempat menjawab, Pak Mudin datang membawakan bubur pesanan Lia.
"Mbak Lia, ini buburnya ya. Seperti biasa, kacang dan ayamnya dibanyakin, krupuknya dipisah pakai mangkok sendiri, minumanya teh manis anget. Monggo."
Ciri khas dari Pak Mudin ketika mengantarkan pesanan untuk Lia, adalah mengucapkan kalimat beruntun tersebut hanya dalam satu kali tarikan napas. Dan hal tersebut, lagi-lagi membuat Angga terheran-heran dibuatnya. Dia hanya bisa melongo, menyaksikan setiap gerak-gerik dari dua orang yang semakin menarik untuk disaksikan.
"Mase mau tambah lagi nggak?" tanya Pak Mudin yang kembali membuat Angga tersadar dan kembali ke alam nyata.
"Eh, nggak, Pak. Saya udah kenyang."
Pak Mudin mengangguk, lalu meninggalkan meja mereka dan kembali ke dekat gerobak buburnya. Sementara, Angga sudah kembali mengalihkan perhatiannya kepada Lia yang kini tengah menyantap dengan nikmat bubur ayam yang sudah dipesan.
"Saking seringnya kemari, Pak Mudin sampai hapal pesanan kamu ya, Lia." Decakan kagum mengiringi ucapan Angga.
"Hehe, ya kan tadi aku bilang karena udah biasa ke sini aja. Oh ya, kamu tau nggak kenapa aku minta krupuk satu mangkok dan dipisah dari buburnya?"
Dasarnya Angga yang memiliki tingkat penasaran yang cukup tinggi, dengan seketika dia memandang Lia dengan tatapan serius untuk menyambut jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh sang gadis. Namun anehnya, Angga merasa jika situasi dan perasaan yang seperti itu, seakan telah sering kali dirasakan sebelumnya.
"Nggak tau, tuh. Memangnya kenapa?" Angga berbalik tanya karena sudah semakin penasaran.
"Hihi, pertama karena krupuknya enak banget. Beda sama krupuk pedagang ayam bubur yang lain," jawab Lia dengan jujur.
"Iya sih, emang enak krupuknya. Kalau ada yang pertama, lalu yang kedua apa?" raut wajah Angga benar-benar menyiratkan rasa penasaran yang begitu dalam. Sampai-sampai kedua alisnya saling bertumbuk satu sama lain.
"Yang kedua, kenapa krupuknya dipisah dari buburnya? Ya ... biar nggak berantem." Enteng Lia menjawabnya, lalu kembali menikmati bubur ayam yang sudah mulai dingin.
Seolah mendadak jadi hilang kecerdasan, pikiran Angga malah sempat macet untuk beberapa detik, ketika mendengar jawaban dari Lia. Dia merasa jika jawaban dari sang gadis, benar-benar membuatnya merasa tak asing dengan lawakan macam itu.
"Astagaaaaa ... ini sih ngerjain namanya. Wahhh ... parah banget ini sih, parah gila! Anjir parah banget. Persis kaya Evan, persis nggak ada bedanya. Sukanya ngerjain orang."
Melihat reaksi dari Angga yang cara bicaranya berubah, telah seketika membuat Lia menjadi tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan saking merasa gelinya, Lia menutup mulutnya agar tawanya tak meledak terlalu parah.
"Wahhh ... gila sih, sumpah garing banget! Kok bisa sih ada Evan 2 di sini? Ya ampoon, dosa apa gueee..."
Pecah sudah tawa Lia saat mendengar ocehan itu keluar dari bibir Angga. Diikuti oleh mahasiswa lain yang terlihat ikut terkekeh akibat mendengar kehebohan dari dua anak yang belum lama saling kenal itu.
"Hwahaha, kena kamu!" seru Lia, masih sambil tertawa terbahak. "Tapi, Evan itu memangnya siapa?" sambung sang gadis lagi, setelah dia bisa mengendalikan tawanya.
"Ya itu, temanku yang punya alergi serbuk bunga. Namanya Evan, sama-sama suka jahilin aku," sahut Angga dengan nada sedikit kesal.
"Hihi, kan cuman bercanda aja, Ngga. Jangan marah," kata Lia, sambil melahap satu sendok terakhir dari bubur ayamnya. Angga hanya memanyunkan bibir, lalu mengambil sisa krupuk yang ada di dalam mangkok.
---
Tak lama kemudian, Lia terlihat membereskan barang-barang miliknya untuk bersiap masuk ke dalam kampus. Selain karena sudah selesai sarapan, Amanda—salah seorang teman satu jurusannya mengabarkan kalau dirinya di cari Dosen Perencanaan Program Komunikasi.
"Angga, maaf ya aku tinggal. Soalnya sudah dicariin Dosen." Lia sudah selesai mengemasi barang-barangnya dan bersiap untuk keluar dari sana.
"Ahhh, gitu ya. Oke deh, good luck. Dan, buburnya nggak usah bayar. Biar aku aja, Lia." Tulus Angga berkata demikian sambil tersenyum.
"Eh, enggak usah, Ngga. Biar aku aja."
"Anggap aja sebagai perayaan karena ketemu teman baru di sini. Tapi, maaf sebelumnya Lia, boleh minta kontaknya nggak? Jadi tetep bisa saling komunikasi gitu."
Lia kembali tertawa, mendengar alasan klise yang disampaikan oleh Angga. Kemudian, keduanya saling bertukar nomor ponsel, lalu Lia pergi dari tempat itu untuk masuk ke dalam kampus.
***
Malam harinya ...
Dua sahabat yang seharian terlibat perseteruan, sepertinya sudah kembali akur. Terlihat bahwa keduanya tengah duduk bersama di ruang tengah, sambil menyiapkan berkas-berkas yang diperlukan untuk rapat bersama client esok hari.
"Aku udah menghubungi lagi pihak yang akan kita temui besok. Janji temu mulai setengah sepuluh," kata Angga, namun pandangannya masih fokus tertuju pada layar laptop.
"Hmmm," hanya gumaman singkat yang keluar dari bibir Evan, karena pemuda itu juga sibuk berkutat dengan ponselnya.
"Hari ini, aku ketemu Lia. Cewek yang waktu itu kasih sapu tangan ke kamu."
Obrolan pembuka yang dilemparkan Angga, seketika membuat Evan meletakkan ponselnya. Lalu, sedikit mencondongkan badannya, dia menatap sang sahabat seolah merasa tak percaya dengan apa yang barusan dikatakan.
"Ih, ngapain ngeliatin kayak gitu?!" protes Angga dengan nada sewot saat mendapati ekspresi 'aneh' dari Evan.
"Jahat banget kamu, Ngga."
"JAHAT? JAHAT KENAPA?!" Angga Muntab. Manik mata hitam sang pemuda membulat dan kata-katanya menggema hampir ke seluruh penjuru ruangan.
"Masih nggak nyadar. Jahat banget kamu bohongin aku kalau semalam ketemu sama Lia."
"What?! Ngapain aku bohong? Nggak guna juga bohongin kamu, Van. Bisa-bisanya sih kamu nuduh aku bohong? Wah, anjir emang!" Angga tak bisa menutupi kekesalannya terhadap. Saat itu juga, dia memilih menonaktifkan laptop yang sedang dipakai, lalu menutupnya.
"Jawab!" bentak Angga lagi yang masih merasa tak terima dengan tuduhan yang diberikan Evan padanya.
"Ya iya. Pas aku jalan-jalan pagi tadi, aku ketemu Lia. Dia bilang sama sekali belum pernah ketemu kamu di minimarket. Untung Lia yang aku temui itu benar orangnya, coba kalo salah? Bisa malu sampai masa depan aku!" giliran Evan yang melampiaskan kekesalannya kepada Angga.
"Hah?! Eh ... lo jangan ngaco ya! Gue yang ketemu Lia tadi pagi di depan kampus dia pas sarapan bubur ayam. Ngigo kamu, Van!" Angga tak mau kalah.
"Siapa yang ngaco?! Kamu kali, Ngga. Aku ketemu Lia dan dia yang punya sapu tangan itu. Dia juga tinggal di daerah sini dan punya kebun bunga. Dia juga yang anter bunga ke beberapa florist yang ada di sana." Ngotot, Evan tetap bersikukuh merasa paling benar.
"Sumpah demi Dewa-Dewi di Kayangan deh, gue ketemu Lia di minimarket bareng sama adiknya. Kan gue ingat muka dia pas nemenin lo bersin-bersin. Mana ada gue salah orang? Yang ada lo kali, Van!" Angga benar-benar naik darah, wajahnya merah bak kepiting rebus yang siap disantap.
Mendengar penjelasan itu, sejenak Evan terdiam dan kembali mengatur napasnya yang sempat memburu. Dia merenungkan ucapan sang sahabat.
"Hufffttttt ... sabar-sabar ya Angga. Kalo begini caranya sih, bukannya kamu aja yang hipertensi ngadepin aku, Van. Tapi, aku juga." Sambil mengusap dada, Angga mulai bisa memelankan suaranya yang sempat meledak-ledak tak karuan. Wajahnya sudah berangsur normal.
"Van, tadi aku cari bubur ayam buat sarapan. Lalu, nemu di depan kampus. Di sana aku ketemu sama Lia. Kita ngobrol cukup lama. Ternyata, dia masih kuliah dan sekarang semester enam." Angga kembali menyampaikan informasi itu dengan lebih tenang.
"Tapi, aku juga ketemu Lia di tempat di mana aku bersin-bersin waktu itu, Ngga." Evan menanggapi dengan nada yang jauh lebih tenang.
"Kamu minta nomornya?"
Evan mengangguk, sementara Angga meraih ponselnya dan menunjukkannya kepada Evan.
"Ini Lia. Cewek yang waktu itu nemenin kamu pas aku tinggal ke apotek. Sekarang, mana aku lihat cewek yang kamu temui tadi. Sama apa nggak?"
Evan meraih ponselnya, lalu mencari kontak si gadis yang bernama Lia itu. Kening Evan seketika berkerut saat mencoba mencocokan foto yang ada di ponselnya dan ponsel Angga.
"Nggak sama, Ngga."
"Nah kan! Apa aku bilang, mana lihat? Pasti cantikan Lia ini lah." Tanpa seizin yang punya ponsel, Angga langsung mengambil benda itu dari tangan Evan untuk melihat secara langsung penampakan dari si gadis.
"Ah anjir! Ya jelas beda lah. Orang ini fotonya cuma kembang doang!"
***