"Gimana? udah ada balasan?" tanya Angga dengan penasaran.
"Belum, Ngga." Evan hanya menjawab singkat.
"Sama. Lia juga belum balas chat aku."
Setelah berbagi informasi, keduanya sama-sama terdiam sambil memandang layar ponsel masing-masing. Evan dan Angga telah sepakat untuk melaksanakan rencana yang sudah mereka diskusikan bersama, yaitu bertemu dengan dua gadis yang sama-sama memiliki nama Lia.
Hal itu akan dilakukan, semata-mata untuk membuktikan bahwa Angga memang benar-benar telah bertemu dengan Lia—gadis yang menemani Evan saat alergi serbuk bunganya kambuh. Menurut pendapat mereka, rencana tersebut perlu dilakukan agar mereka bisa kembali memastikan tentang kebenaran terkait soal gadis yang sama-sama pernah berhasil ditemui oleh keduanya itu.
Apa yang akan mereka lakukan, adalah sesuatu yang diharapkan akan bisa menjawab dugaan-dugaan liar mereka. Yakni, apakah dia benar-benar Lia, atau malah sebaliknya. Terkait kemungkinan adanya orang lain yang menyamar menjadi Lia dan tengah berusaha untuk melakukan suatu penipuan. Mengingat, betapa keukeuhnya Angga bahwa dia sama sekali tidak berbohong. Sementara di pihak lain, Evan juga sangat meyakini kebenaran dalam versinya sendiri.
Saat keduanya sedang sibuk dengan pikiran masing-masing, suara notifikasi yang terdengar hampir bersamaan dari ponsel mereka, telah seketika membuat dua pemuda itu terkejut.
"Eh, udah bales!" seru Evan dan Angga hampir bersamaan, saat melihat notifikasi pada layar ponsel masing-masing.
Lalu, keduanya sibuk berkomunikasi dengan gadis yang katanya sama-sama bernama Lia.
"Kebangetan sih kalo kamu tetep nggak percaya. Ini aku chattingan sama anaknya. Lia yang bener-bener nemenin kamu waktu itu, Van." Langsung saja Angga terdengar mengomeli temannya.
"Hmmm …" Evan hanya membalas gumaman saja, saat Angga berkata demikian.
Dalam hati kecilnya, Evan tidak bisa memungkiri bahwa ada setitik rasa ragu yang menyelimuti pikiran. Namun dengan segera dia berusaha mengenyahkan pikiran itu, agar nantinya rencana yang telah disusun dapat berjalan dengan lancar.
Baik Evan maupun Angga, keduanya telah berhasil membuat janji temu dengan dua orang gadis yang sama-sama bernama Lia itu. Dan sepertinya, mereka pun terlihat sudah tidak sabar lagi untuk menunggu hingga hari esok. Angga ingin segera membuktikan bahwa apa yang dikatakan olehnya adalah sebuah kebenaran. Sementara, Evan sendiri juga ingin membuktikan keraguan tentang sesuatu yang menyelimuti hatinya.
"Jadi pada intinya, kamu itu belum sepenuhnya percaya sama aku ya, Van?" tanya Angga dengan penasaran.
"Hmmm … rasanya memang enggak. Tapi tenang … kalau soal pekerjaan dan hal lain kecuali wanita, aku sangat-sangat percaya padamu. Please, jangan pura-pura lupa." Dingin Evan menjawab karena merasa sedikit jijik dengan sikap Angga yang malah sok menjadi korban.
Awalnya, bibir Angga mengerucut kesal lantaran tanggapan Evan yang begitu dingin. Namun sedetik kemudian, sebuah cengiran nakal menghiasi wajahnya yang sebenarnya tidak jelek-jelek aman.
"Malah cengar-cengir. Udah sadar sekarang?!" tanya Evan dengan nada galak yang membuat Agga terkekeh.
Perihal saling percaya, Evan sama sekali tidak meragukan Angga jika hal tersebut berkaitan dengan pekerjaan. Namun, jika sudah menyangkut hal lain apalagi soal wanita, Evan benar-benar sudah menggarisbawahi itu.
Bukan tanpa alasan Evan memiliki prinsip seperti itu. Dia sudah belajar cukup banyak dari pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi. Bahkan, salah satu diantaranya belum lama terjadi. Lebih tepatnya tiga bulan yang lalu sebelum mereka datang ke kota itu.
Evan yang mulai merasa tertekan dengan wacana perjodohan yang digadang-gadang oleh sang Papa, akhirnya menyetujui ide yang tercetus dari Angga untuk mencari pendamping pilihannya sendiri. Di mana kriteria yang ditetapkan, minimal tidak jauh berbeda dengan Berlin. Sehingga Jhonatan—sang Papa, barangkali bisa mempertimbangkannya. Karena anggapan Evan, Papanya hanyalah ingin mencari seorang menantu yang memiliki 'sesuatu' untuk bisa didomplengi Galaxy; minimal seperti merger gitu ...
Akhirnya dengan penuh semangat kemerdekaan yang menggebu, Angga mencoba mencari dan menyeleksi gadis-gadis dari golongan kelas atas yang sekiranya cocok dan setipe dengan Berlin. Hingga pada akhirnya, didapatlah 5 kandidat yang bisa diseleksi sendiri oleh Evan.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Evan sedikit merasa kurang nyaman dengan cara tersebut. Namun jika tidak pernah mencobanya, dia tidak akan tahu sama sekali, bukan? Paling tidak, cara ini bisa mengantarnya untuk bisa bertemu dengan gadis berbeda selain Berlin. Sehingga, rencana perjodohan itu bisa dibatalkan.
Pertemuan dengan wanita pertama, agaknya tidak terlalu buruk bagi Evan. Gadis itu seumuran dengannya. Pembawaan dirinya juga terlihat begitu tenang, hingga Evan merasa cocok mengorol dengannya. Dan saat itupun, detak jantungnya juga dia rasakan telah mulai terdengar menyanyi dalam irama yang merdu.
Namun sayang seribu kali sayang, karena disana terdapat satu hal yang harus membuat Evan mengurungkan niatnya untuk menjalin hubungan lebih jauh; sang gadis tidak suka pria. Pengamatan itu terlewatkan oleh Angga dan pertemuan pertama itu langsung saja GAGAL.
Lanjut pertemuan kedua dan ketiga dan hasilnya sama saja, bahkan jauh lebih parah! Dua gadis itu begitu 'panas' bahkan sampai-sampai membuat Evan merasa takut. Bahkan saat itupun detak jantungnya menggebu tak keruan, sampai-sampai bagaikan hendak meloncat keluar dari tempatnya.
Setelah kejadian itu, Evan memutuskan untuk tak mau lagi menjalani kencan gila sesuai dengan saran Angga sang sahabat yang ternyata juga sama gilanya!
Dia lebih memilih untuk mengulur waktu dan kembali bekerjasama dengan Berlin untuk memikirkan tentang bagaimana cara agar perjodohan itu bisa ditunda atau bahkan malah dibatalkan.
Usaha-usaha konyol yang telah dilakukan, membuat Evan mendapat pelajaran berharga; meskipun dirinya belum pernah menjalin kasih dengan seorang wanita, setidaknya dia jadi mengerti bahwa JATUH CINTA itu tidak bisa dipaksakan. Selain itu bagi Evan, JATUH CINTA adalah sesuatu yang unik. Mulai dari sensasi yang dirasakan, hingga perubahan keseluruh pancaindera, membuat momen JATUH CINTA adalah sesuatu yang sangat spesial.
Momentum itu adalah saat di mana hormon dopamin dan serotonin hadir dalam tubuh. Mereka bekerjasama, lalu menciptakan satu energi besar, sehingga memberikan pengaruh positif kepada seseorang yang tengah mengalami.
Jika seseorang itu adalah pekerja kreatif, penulis misalnya. Ketika JATUH CINTA, sensasi itu bagaikan simfoni yang mengalir, menjalar dan menyebar keseluruh tubuh dengan sepenuh lembut. Dan pada akhirnya, ide-ide cemerlang muncul seperti sungai yang mengalir deras dan siap membuat siapa saja yang membaca menjadi mabuk kepayang.
Selain dua hormon dan berbagai macam sensasi yang muncul, ada hal lain yang tak kalah penting. Yaitu, perkara detak jantung yang terkadang menjadi terdengar tak biasa. Yang mula-mula berdenyut normal sesuai standar kesehatan, mendadak jadi berbeda apalagi saat memandang kekasih yang dicinta.
Mungkin penjabaran itu terdengar berlebihan atau hiperbola, tapi begitulah adanya yang diyakini oleh Evan. Jantungnya sudah berdetak selama dua puluh enam tahun lebih, namun belum pernah sekalipun dia merasakan apa itu sebuah DETAK yang berasal dari perasaan cinta terhadap lawan jenis. Yang sering dirasakannya, adalah sebuah detak sayang karena dirinya JATUH HATI kepada orang tersebut. Misalnya saja, terhadap Pamungkas Hemachandra—almarhum sang kakek.
---
"Aku berani bertaruh kalau kamu bakalan suka sama Lia. Selain cantik, dia itu ramah. Bikin betah juga kalo ngobrol. Mirip Berlin, tapi lebih energik," ujar Angga pada suatu saat.
"Ohhh gitu. Emangnya cantik? Biasa aja tuh," jawab Evan sepele yang dibalas decakan dari Angga.
"Soalnya, yang kamu lihat hanya sebatas foto, Van. Belum secara langsung. Awas aja kalo sampe suka, haha," ancam Angga dengan nada becanda.
"Iyalah, aku juga nggak mau kalo kita menyukai orang yang sama. Gila kali," kilah Evan yang semakin membuat Angga tertawa.
"Aku belum suka sama Lia, tapi aku kagum sama dia." Angga meralat ucapan Ivan.
"Itu sekarang, tapi nggak tahu kalo nanti."
Saat keduanya berdebat tentang gadis yang bernama Lia, dering telpon dari ponsel Evan memaksa mereka untuk berhenti saling menjahili. Berlin, begitulah nama yang tertera di layar ponsel Evan.
"Ngga, kali ini aku serius minta tolong sama kamu, temenin Berlin ngobrol, ya. Aku mau istirahat dulu. Bilang aja aku udah tidur dan sudah mendapatkan izin dariku untuk menerima panggilan yang masuk." Angga hanya mengangguk dan membiarkan Evan pergi menuju kamar.
"Eh, Angga?"
---
Suara Berlin terdengar terkejut saat mendapati bahwa penerima telpon darinya bukanlah Evan. Setelah berbasa-basi sejenak dengan menanyakan kabar masing-masing, dengan nada bercanda Angga sedikit memberi bocoran jika Evan tengah beristirahat dan mendelegasikan dirinya sebagai sang petugas penerima telepon.
Berlin yang sangat paham bagaimana situasi antara dirinya dengan Evan, dengan berbesar hati menerima alasan tersebut tanpa bertanya sedikitpun. Lalu, mereka pun kembali mengobrol layaknya dua orang teman yang sudah lama tak berbincang santai. Dengan apa adanya, Angga pun menceritakan tentang kegiatan serta pengalaman apa saja yang mereka alami.
Angga bukan hanya menjabat sebagai Executive Assistant to CEO atau Personal Assistent yang mendampingi Evan, namun juga merupakan sahabat karib sang pemuda. Jadi, dialah yang akan menjadi penyambung bicara bagi orang-orang disekitar Evan jika pemuda itu menginginkannya.
"Kenapa nggak cerita kalau alergi Evan kambuh, Ngga?" suara cemas Berlin terdengar begitu jelas di telinga Angga.
"Evan yang nglarang dan lagi pula ... hehehe itu salahku, Berlin. Jadi ceritanya, aku mau ajak Evan untuk makan makanan khas daerah sini. Pas kita jalan, eh nggak sengaja Evan nabrak orang yang bawa bouquet bunga besar. Dan alhasil bersin-bersinlah dia." Dengan runtut, Angga menceritakan kejadian itu kepada Berlin.
"Waduhhh, terus gimana? Langsung minum obat kan??" tanya Berlin masih dengan nada khawatir dari balik telpon.
"Heheh nah itu dia, Evan nggak dibawa obatnya. Alasannya lupa, tapi ... kamu kan pasti tahu bagaimana sifat Evan, Ber."
Terdengar helaan napas dari Berlin yang agaknya sedari tadi ditahan terus oleh sang gadis.
"Terus?" tanyanya.
"Ya aku beli obat. Untungnya pas aku beli, ada yang nemenin Evan dan kasih sapu tangan ke dia buat nutupin hidungnya." Penuh kegembiraan, Angga mengatakan berita tersebut.
"Syukurlah kalau Evan bertemu orang baik sebelum kamu selesai beli obat. Tapi ... kalian sehat-sehat aja kan sekarang? Jaga kondisi ya, khususnya kamu, Ngga. Karena kamu yang selalu jaga dan urus semua keperluan dia. Kamu jangan lupa urus diri kamu juga." Suara Berlin terdengar begitu lembut layaknya seorang kekasih yang sedang menasihati kekasih hatinya.
"Widdddiiiihhhhhhh ... so sweeeeettt bangettttttt. Duhh ... mimpi apa gue semalem diperhatiin sama seorang Berlin Sahasika, hihihi," jawab si pemuda dengan candaannya.
"Ihhhhh ... Angga, ngeselin deh!" Nada suara Berlin berubah merajuk.
"Haha ya habisnya, tumbenan banget sih? Seharusnya kamu kayak gitu sama Evan, bukan aku." Sahut Angga.
"Iya, aku juga begitu sama Evan. Termasuk kamu juga, kan kita sahabatan, Ngga," Sahut Berlin kembali. Hanya saja, nada suaranya terdengar mengambang dan tak setulus kata-kata yang ia ucapkan.
"Haha oh iya, bener. Kita kan sahabat," jawab si pemuda kembali dengan datar.
Setelah obrolan berakhir dengan kata "sahabat", keduanya kembali terdiam dan hanya terdengar deru napas dari keduanya saja. Sampai pada akhirnya, Angga memutuskan panggilan karena hari mulai malam. Dia ingin agar Berlin segera istirahat supaya tidak kemalaman.
Panggilan keduanya berakhir, namun Angga tak langsung beranjak dari duduknya. Dia nampak merenungkan sesuatu, yang entah apa ...
***