"Gimana orderan bunga hari ini, Bu?" tanya Lia sambil mencuci piring setelah keluarga kecil itu menyelesaikan sarapan.
"Udah ada beberapa yang masuk. Tapi, kamu tenang aja ... Pak Nilam udah sehat. Jadi, dia sudah bisa Ibu mintain tolong lagi buat antar bunga kayak biasa."
"Oh, ya syukurlah kalo gitu."
"Memangnya kenapa? Kamu pengin antar lagi?" tanya Sekar sang Ibu sambil tersenyum.
"Hehe, ya kalo Pak Nilam belum sembuh, Bu. Kalo udah, nanti Lia minta izin sepulang kuliah mau ketemu teman dulu."
"Oh, kuliahnya selesai siang ya hari ini?"
Lia mengangguk, sambil melepas apron seusai menyelesaikan tugas cuci piringnya.
"Iya, Nduk. Nggak papa, nanti kabarin Ibu aja, ya."
---
Sebenarnya, Lia masih sedikit ragu saat menerima ajakan temu dari Angga. Namun karena sifatnya yang selalu saja tidak pernah enak untuk mengecewakan seseorang, dia berusaha mengenyahkan pikiran itu yang barangkali hanya perasaannya saja.
Lia tengah menunggu ojek online yang sudah dipesannya. Hari ini, dia tidak membawa motor karena sedang dipakai oleh Ares. Walaupun sebenarnya bukan hal yang mustahil jika keluarga Lia hendak membeli satu lagi sepeda motor agar tak perlu bergantian dalam memakainya, namun Lia tak mau saat ditawari untuk memilih unit baru yang hendak dibeli lagi. Malah, menyarankan bahwa uangnya akan lebih baik jika dipakai sebagai tambahan modal untuk kebun bunga mereka.
Saat tengah asik menunggu sambil mendengarkan musik melalui ponsel, netranya bersitatap dengan seorang gadis yang kemarin malam sudah sukses dibuat kalah olehnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Ana. Langsung saja gadis itu terus menatap Lia dengan tajam, seolah menyiratkan sebuah tantangan untuk berperang. Sementara itu, Lia yang pada dasarnya gadis pemberani, turut membalas tatapan tajam dari Ana.
Andai saja abang ojol belum datang, mungkin Lia malah akan menghampiri Ana untuk sekedar sedikit memberikan khotbah singkat kepada gadis itu supaya lebih menjaga sikapnya. Namun jika dipikir kembali, untuk apa juga? Lagipula sang Ayah juga sudah berpesan untuk tidak lagi berseteru dengan Ana. Karena, pastilah akan percuma dan sia-sia saja energinya untuk melawan seseorang yang memang memiliki sifat yang demikian. Kecuali, jika dia sudah melanggar batas yang wajib untuk ditindak.
---
"Melll!" suara panggilan itu seketika membuat Lia menoleh.
"Nggak mau, ih. Lia, bukan Mell," protes si gadis sambil melepas helm, lalu menyerahkan kepada Abang ojol. "Makasih ya, Mas."
Belum juga si Abang menjawab, lengan Lia langsung saja ditarik oleh teman satu kelasnya, Amanda.
"Duh ... Manda, jangan ditarik dong. Copot nanti tanganku," protes Lia yang seketika membuat sang teman terkekeh.
"Galak banget sih? Becanda juga, ihihi."
"Becanda kok mainnya fisik? Minta digiling nih anak!"
Bukannya minta maaf, Amanda malah tertawa terpingkal-pingkal seolah memang itulah yang ditunggu olehnya; celetukan kesal dari Lia yang memang terkenal sembarangan itu.
"Seneng? Seneng? Satu lagi deh, jangan panggil 'Mel' tapi Lia. L I A."
"Lohh, kan masih bagian dari namamu, Mel. Camell ... Camellia, hihihi."
"Mandaaaaaa. Camel camel, emang onta, apa?" sahut Lia dengan sedikit galak.
"Iya ... ya ampun iya Ndoro Putri yang paling cantikkkk," sahut Manda sambil merangkul lembut pundak Lia.
Setelah sedikit bercanda dengan saling sedikit mencubit dan menggelitik teman masing-masing, keduanya berjalan bersama menuju kelas mereka. Lalu tanpa diduga, dua teman lain menyusul dan turut bergabung.
Sesampainya di kelas, Riyan langsung bertanya kepada Lia seputar kejadian yang menimpanya semalam. Pemuda itu hanya mengatakan, jika dia mendapat kabar itu dari sang Ibu. Namun Riyan juga memastikan kalau kabar itu belum menyebar pada warga yang ada di kampungnya.
Amanda dan Bobby yang tinggal di daerah berbeda, hanya bisa melongo dan mendesak Lia serta Riyan untuk menceritakan kronologis kejadiannya. Sejujurnya, Lia sudah tak ingin membahas kejadian itu, namun karena sudah terlanjur basah diketahui oleh gengnya, pada akhirnya Lia pun menceritakan secara runtut agar para sahabat tak menjadi penasaran.
"Wah ... gila, sih! Udah kekerasan namanya. Harus denda dia!" dengan menggebu, Bobby menanggapi sambil menggebrak bangku miliknya dan seketika membuat terkejut seluruh isi kelas. Sementara itu, Riyan reflek menepuk pundak Bobby yang langsung nyengir karena kesakitan.
"Kita udah damai. Lagipula, aku nggak luka parah. Cuman, aku memang sama sekali nggak terima kalo dia ngejelekin Ayah. Memaafkan pasti, tapi bukan berarti aku lupa sifat dia. Karena, ini nggak sekali dua kali aja," terang Lia.
"Fix kalo dia itu iri sama kamu. Apalagi, ya nggak?" timpal Riyan.
"Gini deh, udahin aja ya bahas ini. Lama-lama, bisa mual aku. Tadi pagi pas berangkat aja ketemu, sekarang malah bahas dia," kata Lia sembari mengisyaratkan kepada teman-temannya untuk kembali ke tempat duduk masing-masing. Dan benar saja, karena tak berselang lama dosen yang mengajar pada pagi hari itu pun datang.
Saat situasi mulai kondusif, getar pada ponsel yang disetting silent oleh Lia telah sejenak memecah konsentrasinya. Rupanya, pesan itu datang dari Angga yang mengingatkannya untuk tak lupa dengan temu janji yang sudah mereka sepakati. Lia ingin membalas, namun hal itu urung dilakukan karena sang dosen malah sudah memperhatikan tindak-tanduknya yang dianggap mencurigakan.
---
Sementara itu ...
"Nggak mau, Mah! Aku nggak mau pake baju ini. Jadul tau!" Ana melayangkan protes kepada Sari sang Mama.
"Ya ampun, memang siapa yang waktu itu ngeyel minta dibelikan?" sahut Sari sambil melirik ke arah sang anak.
"Pokoknya nggak mau! Aku mau pake baju baru, Mah. Semua ini, nggak ada yang cocok aku pake. Aku tuh mau tampil beda, karena ini kesempatan emas buat aku." Dengan nada yang masih menggebu, Ana terus menjawab dengan ketus.
"Nggak ada baju dari mana? Ini tiga lemari besar-besar isinya apa? Karung?"
"Ihhh Mamah! Bantuin dong. Kapan lagi bisa ketemu orang tajir melintir kaya Evan." Masih sedikit emosional, Ana menyahut. Lalu, dia duduk di atas tempat tidurnya; diantara tumpukan baju yang katanya tak cocok dipakai untuknya.
"Iyaaaaa, tau. Terus, gimana? Mau beli sekarang? Mana ada waktu, Ana. Bukannya kamu janjian jam 1? Udah jam berapa sekarang?" Sari memborbardir kalimatnya dengan harapan agar bisa membuat sang anak menyadari kesalahannya yang sedari pagi malah sibuk mengaduk-ngaduk isi lemari, sampai belum sempat mandi pagi.
"Udah tahu mau ketemuan, tapi nggak disiapin dari semalam. Begini kan jadinya," sambung Sari lagi yang menambahkan omelan untuk menunjukkan kekesalannya.
"Ihhhh ... Mamah kok malah nyalahin aku! Ayo cepet bantuin. Kesempatan emas ini bukan hanya biar dapat menantu kaya, Mah. Tapi juga membalas apa yang udah Lia lakukan ke aku." Nada bicara Ana berapi-api, bahkan sorot matanya menampakkan betapa berhasratnya sang gadis untuk membalas kekalahannya terhadap Lia.
"Iya, Mamah tau. Kan kamu udah cerita. Dengerin, Mamah. Pilih baju yang simple, sederhana biar si Evan terpana sama kamu. Jangan mewah-mewah, ngerti nggak?" tandas Sari yang hanya dibalas anggukan oleh Ana.
Pada detik berikutnya, kedua ibu dan anak sudah sibuk mengurus penampilan untuk menyambut yang katanya hari baik itu. Dapat terlihat dengan jelas, bagaimana Sari begitu memanjakan sang anak semata wayang. Tak hanya itu, agaknya sifat licik yang dimiliki Ana adalah warisan dari sang Mama.
Setelah semua dirasa cukup, Ana mematut dirinya pada cermin besar yang ada di kamarnya. Dipandanginya dengan penuh bangga sesosok tubuh yang terpantul dalam cermin tersebut. Kulitnya kuning langsat, rambutnya hitam bergelombang dibiarkan terurai. Kesemua itu dipadukan dengan sebuah gaun bewarna krem sepanjang lutut dan sepatu balet berwarna senada yang semakin membuatnya terlihat manis.
"Nah, dengan begini ... percayalah, kalau dia akan jatuh hati kepadamu, Ana," begitu ucap Sari sang Ibu yang semakin melambungkan hati Ana dan menjadikannya tak sabar untuk berjumpa dengan Evan.
---
"Makan Mie Ayam di Pak Gundul yuk," ajak Bobby ketika perkuliahan siang hari itu telah usai.
"Kamu traktir, Bob," sahut Riyan yang langsung mendapatkan pukulan dibahunya.
"Ayuk yuk kita kesana. Udah laper banget, ini. Lia, ikut yuk! Kita makan mie ayam di Pak Gundul." Kali ini, Amanda angkat bicara.
"So sorry, Gaes. Aku udah ada janji, jadi ... besok aja ya."
Nampaknya, apa yang dikatakan Lia, agaknya membuat ketiga temannya menjadi terbengong seolah tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Janjian sama siapa?" Riyan yang sudah kembali ke dunia nyata lebih dahulu pun mengajukan pertanyaan.
"Sama temen baru. Nggak jauh sih, di Seteras Cafe," sahut Lia santai sambil merapikan barang bawaannya.
"Cewek atau cowok?" timpal Bobby dengan cepat.
"Cowok."
"Wahhhh, seorang Camellia ... akhirnyaaaa ... akhirnyaaaa bisa bikin janji juga dengan cowok. Kencan ya, Beb? Iya nggak? Ngakuuuuu," desak Bobby yang agaknya menjadi orang paling antusias diantara mereka berempat.
Bukan tanpa alasan jika salah satu sahabatnya berkata demikian. Lia si gadis jutek namun baik hati, adalah seseorang yang tidak pernah sekalipun menjalin kasih atau terlihat dekat dengan cowok-cowok yang ada di kampus atau di luaran sana. Saking tidak pernahnya, mereka hampir menganggap Lia sebagai seorang gadis yang menyimpang.
Desakkan yang terus datang dari para sahabat, akhirnya telah membuat Lia mengatakan alasan yang sesungguhnya. Yakni, tentang mengapa dirinya tak pernah terlihat dekat dengan seorang lelaki. Alasannya sangat klise; belum ada yang cocok. Kalau sebatas jatuh hati, mungkin itu sudah sering Lia rasakan. Namun kalau jatuh cinta, rasanya ... masih belum juga.
Bagi Lia, jatuh hati dan jatuh cinta itu berbeda. Jatuh hati, lebih kepada perasaan mengagumi, memuja, dan perasaan sayang karena suatu alasan yang bisa dikatakan dengan jelas. Misalnya: dia jatuh hati dengan Feisal, anak tetangganya yang masih berusia lima tahun namun fasih sekali membaca Al-Qur'an. Atau jatuh hati kepada Ayah dan Ibunya yang merawatnya dengan sepenuh sayang, tak terkecuali Ares sang adik.
Lalu, bagaimana definisi jatuh cinta bagi Lia? Tidak ada kata "karena" sebagai alasan yang mendasari saat momen itu datang. Yang ada, adalah sebuah sensasi yang sulit dijabarkan namun dengan sangat jelas bisa dirasakan.
Ketika detak jantungnya mengalun menjadi tak biasa walau hanya memandang atau mengingat saja, disitulah Lia percaya bahwa cinta telah hadir dalam hatinya. Mungkin ini terdengar berlebihan atau malah mengada-ada, karena Lia belum pernah merasakan jatuh cinta kepada lawan jenis sebelumnya.
Namun, pemikiran itu didapatkan dari apa yang pernah dirasakan Lia ketika mengingat kepada Sang Pencipta. Dia jatuh cinta pada Sang Dzat yang selama ini senantiasa melimpahkan segala nikmat; baik sehat maupun sakit, senang ataupun susah. Getaran itu mengalir keseluruh tubuh dan bermuara pada degub jantungnya yang menjadi berpacu lebih cepat.
Meskipun begitu, cinta terhadap Tuhan dan manusia tentu saja tidak bisa disetarakan karena Tuhan adalah Dzat yang Maha Tinggi. Yang dipakai Lia sebagai takaran jatuh cintanya adalah pada degub jantung yang menjadi tak biasa, saat mengingat maupun memandangnya. Kira-kira begitu.
Awalnya, para sahabatnya agak merasa bingung dengan konsep yang dimiliki Lia. Namun lambat laun mereka menjadi mengerti dan dapat menyimpulkan. Bahwa kelak dikemudian hari, seseorang yang jatuh cinta terhadap Lia haruslah berusaha dengan keras agar sang gadis juga bisa jatuh cinta kepadanya. Tentu saja dengan hati yang tulus, bukan dengan cara yang curang.
Camellia Mettadevi memiliki hati yang lembut, jadi siapapun yang ingin mendapat tempat di hatinya sebagai lelaki yang spesial, maka harus berjuang dengan keras. Dan yang perlu digaris bawahi, Lia bukan pemilih namun dia mengikuti kata hatinya saja.
---
Mereka berlima sudah tiba di parkiran kampus. Bobby mulai ribut karena mendadak membatalkan kesanggupannya untuk ikut nongkrong. Dengan alasan, dia harus segera pulang karena Ibunya mengirimkan pesan.
Sementara itu, Lia sibuk membalas pesan Angga yang belum lama menghubunginya. Pemuda itu bilang, akan segera tiba di kampus Lia dalam beberapa detik. Secepat Lia bisa membalas, dia mengatakan kalau Angga tak perlu menjemputnya. Namun, agaknya pesan itu tidak dibaca oleh Angga.
Beberapa saat kemudian, datanglah mobil audi keluaran terbaru yang berhenti tepat di depan gerbang kampus yang tentu saja menarik perhatian seluruh mahasiswa yang ada di sana, termasuk Lia.
Saat kaca mobil bagian driver diturunkan, seketika Lia tahu siapa yang ada dibalik aksi yang membuat seluruh orang melongo hampir bersamaan.
"Hai, Lia! Ayo, jalan!"
***