Mendapat kabar bahwa Robi akan kembali, Amelia bergegas merapikan diri untuk menyambutnya di teras. Namun, sebelum itu dia memastikan kembali tidak ada satu hal pun yang terlewat buntu dia sembunyikan.
"Bi! Awas kalau sampai berani buka suara," ancamnya.
"Tidak akan, Nyonya."
"Bagus. Sekarang, siapkan teh dan camilan lalu antar ke balkon."
"Baik, Nyonya."
Wanita paruh baya itu bergegas pergi ke dapur, menyiapkan apa saja yang majikannya perintahkan. Sedangkan Amelia kembali memeriksa setiap inci tubuhnya untuk memastikan tidak ada jejak apa pun yang tertinggal.
Suara gerbang terbuka lalu diikuti deru mesin mobil berhenti tepat di halaman rumah, Amelia segera turun dari kamarnya untuk menyambut suaminya pulang.
"Mas!"
Amelia memeluk erat suaminya, begitu juga Robi yang sedang menyembunyikan duka dengan senyumnya.
"Maaf Mas enggak bawa apa-apa, tadi mami langsung minta pulang saja."
"Enggak apa-apa, Mas. Ayo kita ke balkon, tea time bareng."
Robi sebenarnya sedang tidak berselera, tapi suasana hatinya yang kacau butuh sedikit penghiburan dari Amelia saat ini.
Amelia menuntun suaminya menuju balkon, melepas lelah seraya menikmati sore yang tenang.
Segelas teh hangat serta senyuman dari sang istri seolah mengobati kegundahannya, padahal belum lama ini dia merasa kacau.
"Mel ...."
"Ya, Mas?"
"Besok kita periksakan diri segera, bagaimana?"
Amelia yang tadinya sedang menikmati tehnya langsung tersedak. "Uhuk ...."
"Pelan-pelan, Sayang."
"Maaf, Mas ... kaget aku."
"Kalau kamu belum siap, Mas akan menunggu. Maaf, tekanan dari mami yang bikin Mas begini."
Amelia menghela napasnya, mencoba menenangkan dirinya yang grogi karena harus memulai sandiwara baru.
"Sebenarnya aku sedang mencoba cara alternatif, Mas."
"Loh, sejak kapan? Lalu, cara alternatif seperti apa?"
"Sebenarnya baru beberapa minggu sebelum Mas pulang, temanku banyak yang berhasil di sana. Alternatif yang aku coba itu dipijat, Mas."
"Apa enggak sebaiknya kita memeriksakan diri ke Dokter juga, Mel? Mas sudah siap dengan apa pun hasilnya, kita coba segala cara sampai berhasil."
Amelia mencoba mencari cara untuk meyakinkan Robi, bisa repot urusannya jika Robi memaksanya berobat ke Dokter lain selain yang sudah setuju untuk bekerja sama.
"Bagaimana kalau tunggu sampai periode menstruasi selanjutnya, Mas? Kalau masih gagal, baru kita periksa ke Dokter."
"Ya sudah, Mas ikut saja. Di mana tempatnya? Biar Mas antar, siapa tahu Mas juga perlu dipijat, kan?"
"U-untuk saat ini sepertinya hanya aku saja yang dipijat, Mas. Kalau nanti memang Mas harus dipijat juga, Mel pasti ajak. Mas bekerja saja, nanti mami marah kalau Mas enggak masuk kerja."
"Iya juga, sih."
Robi tidak mau menekan Amelia, makanya selama ini dia diam saja dan selalu menghiraukan tekanan dari keluarganya.
Namun yang sebenarnya, dia hanya takut jika ternyata dirinya yang bermasalah dan Amelia akan meninggalkannya. Robi membenci sisinya yang seorang pengecut, akibatnya justru istrinya semakin tertekan oleh mami dan juga omanya.
Andai sedari awal dia memberanikan diri, mungkin akan lain ceritanya. Bayang-bayang akan ditinggalkan orang yang dicintainya membuat Robi semakin takut. Dipeluknya Amelia. Mencoba mencari ketenangan yang selalu dia dapatkan dari istrinya.
Amelia kini merasa lega, satu langkah rencananya sudah berhasil. Dengan begini, Robi tidak akan memaksanya pergi ke Dokter. Langkah selanjutnya, memberikan kejutan besar, bukan hanya untuk Robi, melainkan keluarga besar Wijaya.
***
Robi menatap kosong langit-langit kantornya, sesekali dia beralih menatap tumpukan berkas yang harus diperiksa sebelum akhirnya diserahkan pada maminya.
Meski dirinya digadang-gadang sebagai kandidat terkuat penerus keluarga Wijaya, Mayang tidak begitu saja melepas kendalinya. Bukan tanpa sebab, Mayang sadar betapa rentannya posisi itu jika Robi saja masih belum mampu berdiri seorang diri.
"Bi ... Robi!" suara Adit mampu membuyarkan lamunannya, sahabatnya itu kembali datang dengan setumpuk berkas yang dia minta.
"Sorry, lagi banyak pikiran."
Adit bekerja sebagai sekretaris sekaligus kaki tangannya di kantor, berkat dialah semua pekerjaan masih bisa terkontrol karena sahabatnya itu memang jauh lebih bisa diandalkan.
Terkadang Robi merasa miris pada dirinya sendiri, kenapa harus terjebak dalam perusahaan ini. Bekerja di sini hanya sebatas menjalankan kewajiban, dia tidak punya pilihan lain meski jauh dalam lubuk hatinya dia tidak merasa nyaman.
"Masalah apa? Cerita saja, aku akan bantu kasih masukan."
"Aku khawatir pengobatan alternatif buang Amelia jalani gagal, Dit."
"Astaga, kamu masih mikirin itu, Bi? Kamu harus optimis, siapa tahu istrimu memang berhasil pakai cara itu."
"Iya juga, sih. Tekanan dari mami dan oma membebani ku, Dit. Mungkin ini juga yang Amelia rasakan beberapa tahun ini."
Adit mencoba menenangkan sahabatnya, dia menyodorkan segelas air minum pada Robi. "Minumlah dulu."
Robi meneguk minumnya hingga tandas. Untuk sesaat dia merasa bersyukur karena selain Amelia, dia juga memiliki sahabat sekaligus sekretaris terbaik dalam hidupnya.
"Tetap tenang seperti biasa, istrimu sedang berusaha dengan caranya, jadi ikuti saja dulu. Selain itu, kamu juga punya masalah lain, bukan?"
"Ya, David akan mulai masuk perusahaan esok lusa, jadi mami memintaku untuk hati-hati."
"Benar, lebih baik fokus itu saja dulu. Jangan biarkan fokusmu terpecah."
"Thanks, Dit."
"Sama-sama. Oh ya, soal Alan ... dia menghubungiku tadi."
"Kenapa?"
"Dia bilang, Nyonya Mayang mengizinkannya masuk perusahaan."
Robi mengangguk pelan. "Iya, aku sudah bisa menebaknya."
"Apa yang dia lakukan sampai Nyonya akhirnya mengizinkan masuk? Bertapa? Memohon atau mungkin ... aksi mogok makan?" tanyanya seraya terkekeh.
"Itu memang Alan sekali, tapi bukan seperti itu. Mami mengajukan syarat untuk itu, sepertinya dia setuju."
"Syarat apa?"
"Harus mau dijodohkan dengan salah satu anak teman mami—"
"Astaga, serius?" potongnya.
"Iya, aku juga kaget awalnya. Syukurlah, sepertinya Alan setuju dengan syarat itu."
Adit mengangguk-angguk pelan, dia cukup terkejut mendengar kabar yang cukup mengejutkan. Hubungan Alan dan Mayang tidak baik, tapi tiba-tiba saja Mayang menjodohkan Alan dengan anak seorang temannya, siapa pun pasti terkejut.
"Tapi syukurlah, semoga hubungan mereka berdua jadi membaik."
"Aku juga berharap hal yang sama."
"Ya sudah, aku balik kerja lagi. Jangan lupa nanti tanda tangani berkas di map kuning dulu, Tante Mayang minta itu dikerjakan terlebih dahulu."
"Ya, terima kasih."
Adit berlalu pergi, kembali menuju ruang kerjanya yang berada tepat depan ruangan Robi. Diraihnya ponsel dari dalam laci kerjanya, lalu mengetik pesan pada seseorang yang sudah menunggu laporannya di sana.
[Semua berjalan sesuai rencana.]
Setelah itu, dia langsung mengiriminya pada kontak tanpa nama. Adit kembali bekerja seperti biasa, seolah tidak ada hal apa pun terjadi. Sesekali dia bersenandung kecil, menikmati drama menarik di hadapannya.
Drama ini belum berakhir, masih akan ada drama lain yang jauh lebih seru di masa mendatang.