Acara berlangsung terasa begitu lama, Amelia rasanya ingin sekali segera pergi agar tidak perlu mendengar pujian yang Mayang lontarkan untuk Ayu.
"Alan ke mana, ya?" tanya Mayang pada Ayu.
"Dari pagi sudah pergi, Tante."
"Pergi kerja?"
"Katanya begitu, ada sesuatu yang harus diurus."
"Anak itu! Padahal Tante sudah minta dia libur hari ini," gerutu Mayang.
"Mam, Amelia ke belakang dulu, ya," sela Amelia.
"Kenapa? Apa kamu merasa enggak nyaman, Mel?"
"Amel butuh udara segar sedikit, Mam. Mual juga."
"Ya sudah, hati-hati—"
"Biar Ayu temani, Tante."
"Nah, itu bagus. Tolong jaga calon kakak iparmu ini ya, Yu."
Niat hati ingin sedikit menjauh terutama dari Ayu, tapi justru Amelia harus terjebak bersamanya. Dia tidak mungkin menolak Ayu di hadapan Mayang, bisa rumit nantinya.
Mereka berjalan meninggalkan acara. Meski mereka berjalan berdampingan, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar karena canggung.
"Kakak mau ke taman atau mungkin ke toilet dulu?" tanyanya.
"Aku mau ke taman," jawab Amelia singkat.
"Ah ... begitu. Taman di rumah ini memang bagus, aku saja—"
"Kamu terlihat sangat senang, ya?"
"Ma-maaf?"
Amelia menghentikan langkahnya, lalu menatap tajam Ayu yang masih kebingungan. "Kamu ... terlihat senang sekali."
"Tentu saja. Semua anggota keluarga Wijaya baik-baik, lalu—"
"Kamu merasa dapat tangkapan bagus, ya?" tanyanya lagi dengan sinis.
Sontak saja, Ayu semakin terkejut. Dia tidak bermaksud membuat calon kakak iparnya berpikir seperti itu, tapi nyatanya wanita di hadapannya itu malah salah paham.
"Maaf, Kak—"
"Aku bukan kakakmu! Dengar baik-baik ... aku adalah istri dari penerus perusahaan dan keluarga Wijaya, sedangkan kamu ... Alan hanya anak kedua."
Ayu tersenyum getir. "Aku tidak bermaksud ikut campur pada urusan seperti itu. Aku hanya ingin punya hubungan baik dengan semua keluarga, Kak."
Amelia tergelak. "Kamu naif sekali. Hati-hati, mungkin menurutmu ini seperti permainan tapi sejujurnya di sini adalah arena perang ...," bisiknya dengan penuh penekanan.
"Terima kasih atas informasinya."
"Jangan berlagak dan diam saja jika tidak ingin terluka," ucap Amelia seraya berlalu pergi meninggalkan Ayu.
Ayu terkekeh. Dia sudah tahu sedikitnya tentang Amelia, tapi tidak menyangka wanita itu akan begitu agresif padanya.
***
Alan menghisap asap rokoknya dalam-dalam, menghilangkan sejenak kepenatan yang dia rasakan karena terlalu banyak tekanan pekerjaan.
Ruko berukuran tidak lebih dari seratus meter persegi itu menjadi tempat dimana usahanya berdiri. Bisnis percetakan yang dia kelola bersama teman-teman seperjuangannya saat di kampus dulu.
"Bagaimana, lancar?" tanyanya pada seseorang yang tengah sibuk menghitung.
"Semenjak ada suntikan modal, tentu saja lancar. Kamu memang luar biasa, Lan."
"Bukan apa-apa, uang itu juga bukan uangku, jadi harus aku kembalikan nantinya."
"Bukan uangmu? Lantas, kamu pinjam begitu?"
"Ya, kira-kira seperti itu, Zal."
Pria bernama Rizal itu menatap tajam atasan sekaligus sahabatnya itu. "Apa kamu tidak ingat terakhir kali pinjam uang pada bank? Perusahaan ini belum stabil, Lan. Bagaimana jika nanti kita kembali kesulitan bayar cicilan?!"
"Tenang saja, aku bukan pinjam ke bank."
"Lantas? Tidak mungkin ... kan?"
"Apa?"
"Kamu pinjam rentenir?"
"Dasar gila!"
"Habisnya! Siapa lagi yang mau meminjamkan uang dalam jumlah sebesar itu?"
"Keluargaku."
Rizal semakin tersentak. "Serius?!"
"Iya, lebih tepatnya aku dapatkan uang itu dari Oma."
"Tumben ... tapi enggak apa juga, sih. Coba dari dulu kamu manfaatkan kekayaan keluargamu, mungkin usaha kita sudah berkembang pesat dari dulu."
"Kamu kan tahu aku tidak bisa berbuat semauku dengan uang keluarga."
Alan tentu saja tidak akan menceritakan kepelikan hubungannya dengan keluarga Wijaya pada Rizal, tidak ada gunanya juga—pikirnya.
Setidaknya, kini dia bisa sedikit bernapas lega berkat suntikan dana tersebut, meski harus tutup mulut dari Mayang bahkan Robi sekalipun.
Dia heran, tiba-tiba saja Yustina menawarkan sesuatu yang biasanya tidak pernah dia terima. Selama ini keberadaannya saja seolah tidak berarti, namun tiba-tiba saja semuanya berubah.
Suatu malam, Yustina secara diam-diam memintanya untuk datang menemuinya di kamar. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya sekedar berbasa-basi. Sampai akhirnya, Yustina bilang bahwa dirinya tahu kalau Alan memiliki usaha diam-diam selama ini.
Awalnya Alan berpikir dia akan dimarahi atau kembali dicurigai, namun ternyata sang Oma justru menawarkan bantuan dana untuknya yang kala itu tengah terjerat hutang.
Sejak saat itu, hubungannya dengan sang Oma jadi jauh lebih baik meski Yustina tetap memintanya bertindak seolah tidak ada yang terjadi diantara mereka.
Alam tidak mengerti, sebenarnya kenapa sang Oma melakukan itu. Apakah ini hanya sebuah trik? Jika iya, dia tetap akan berhati-hati dan menyiapkan dana darurat untuk mengembalikan uang itu jika perlu.
Dilihatnya tumpukan kertas yang sedang dicetak, sudah dua bulan ini perusahaan jasa percetakan miliknya dapat order besar. Namun sayangnya, dia tidak bisa ikut andil karena sibuk dengan urusan kantor.
"Bagaimana pekerjaanmu di kantor, Lan?"
"Melelahkan, Zal. Jika bukan permintaan Oma, aku ogah masuk perusahaan."
"Biar semua urusan di sini serahkan padaku, kamu fokus saja dengan perusahaan keluargamu."
"Aku takut, Zal ...."
"Takut kenapa?"
"Aku takut Kakakku mencurigai ku seperti yang lainnya terutama mami."
"Jika aku jadi kakakmu, pasti akan merasa begitu. Secara tiba-tiba adiknya masuk perusahaan, padahal sebelumnya selalu menolak."
"Aku tidak ada pilihan lain, Zal. Oma memintaku untuk membantu di perusahaan meski jabatan ku di sana hanya pegawai."
"Jelaskan saja pada kakakmu, Lan."
"Tidak bisa, Zal. Oma melarangku untuk itu ... ah, sulit jika aku jelaskan."
Rizal tergelak. "Problematik para konglomerat memang pelik."
"Konglomerat apa sih, Zal. Mereka yang konglomerat, aku sih hanya 'Kolong Melarat', kamu sendiri tahu."
"Jangan seperti itu, setidaknya kehidupanmu lebih baik dariku."
"Iya juga. Aku pulang dulu, Zal."
"Buru-buru amat."
"Aku janji sama Ayu kalau malam ini akan ikut makan malam bersama di rumah."
"Ayu?"
"Iya, dia calon tunangan ku yang mami Mayang siapkan. Sepertinya Mami khawatir jika aku menikah dengan wanita berpengaruh, makanya dia menjodohkan ku dengan Ayu."
"Memangnya dia ...?"
"Keluarga biasa, tapi ...."
"Kenapa?"
"Cantik sekali, Zal ...," jawabnya seraya tersipu.
Meski awalnya dia hendak menolak syarat Mayang ketika dia memaksa masuk perusahaan, tapi kini Alan merasa bersyukur karenanya bisa bertemu dengan Ayu.
Jika bukan karena urusan pekerjaan tiba-tiba, pagi tadi dia ingin mengajaknya berjalan-jalan dan menikmati hari. Namun, sayangnya terjadi sedikit kendala di percetakan miliknya.
"Aku jalan dulu, ya."
"Ya, hati-hati di jalan. Lain kali bawa kakak ipar ke sini, aku mau bertemu."
"Tidak! Nanti kamu bisa jatuh hati."
"Dasar Bucin!"
"Bilang saja iri, Zal."
"Nih anak sombong betul, mentang-mentang sudah enggak jomblo. Awas saja nanti, aku akan menikah lebih dulu dari kamu!"
"Memangnya ada wanitanya, Zal?"
"Tentu saja ... belum. Sialan, meledek pula. Pergi sana!"
Alan tergelak, dia berlalu pergi meninggalkan temannya yang sedang bersungut-sungut sendiri di ruangannya.
Dia sudah tidak sabar untuk kembali. Bertemu dengan wanita yang mampu menggetarkan hatinya meski baru beberapa hari lalu bertemu—Ayu.