Adit merapikan berkas di atas meja kerjanya, semua pekerjaan sudah selesai, hanya tinggal menunggu waktu pulang saja.
Dilihatnya sang atasan—Robi, tengah beristirahat dengan menikmati teh buatannya. Muncul rasa penyesalan, namun dia tidak akan bisa kembali, karena bayaran dari sang tuan sudah dia terima.
Karena terdesak keadaan, dia harus rela terjebak dalam drama keluarga Wijaya, bahkan harus mengkhianati sang sahabat. Andai bisa memilih, tentu saja dia akan memilih untuk tetap netral, tapi sayangnya takdir tidak mengizinkannya demikian.
Dia berjalan menghampiri Robi, membawa serta beberapa dokumen yang harus atasannya itu tanda tangani.
"Masuk, Dit," ucap Robi ketika melihat teman sekaligus sekretarisnya itu hendak mengetuk pintu.
Pria bertubuh jangkung itu berjalan masuk. "Mau aku tambahkan tehnya, Bi?"
"Tidak usah, ini sudah cukup."
"Ini dokumen terakhir, kamu bisa pulang lebih awal."
"Hm ... Amelia memang memintaku pulang lebih awal."
"Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, kami ada janji pergi beli sedikit hadiah untuk acara besok."
"Oh ... begitu. Besok petugas pasang CCTV datang jam berapa jadinya?"
"Nanti kalau aku sama Amelia sudah pergi, baru kalian masuk."
"Baik, kabari saja."
"Hm ... Dit."
"Ya, kenapa?"
"Apa aku batalkan saja, ya?"
"Apanya?"
"Pasang CCTV. Aku merasa bersalah melakukannya secara diam-diam."
Adit sudah menduga sifat plin-plan sahabatnya ini akan menjadi penghalang besar rencana sang tuan, dia sudah memikirkan hal itu baik-baik sebelumnya.
"Kamu melakukannya kan bukan untuk tujuan buruk."
"Iya juga, sih ...."
"Aku tidak akan memaksa, tapi ... kita 'kan harus sedia sebelum terjadi sesuatu."
"Maksudnya?"
Adit tersenyum tipis. Baginya tidaklah sulit membujuk Robi, cukup membuatnya khawatir dan cemas, karena hanya Adit yang tahu bahwa sahabatnya itu mengidap paranoid.
Awalnya dia tidak yakin, tapi ketika mengamati Robi sejak mereka mulai menjadi teman, secara garis besarnya Adit paham bahwa temannya itu memang memiliki masalah.
"Jangan buat aku khawatir, ah!"
"Bi, realistis saja. Di rumah hanya ada Amelia dan Bi Narsih, rumah sebesar dan semewah itu hanya dihuni sehari-hari oleh dua wanita saja. Bisa jadi mengundang aksi kejahatan, bukan?"
"Tapi—"
"Kejahatan terjadi karena ada kesempatan," potongnya lagi, membuat Robi semakin gelisah.
"Tapi ... Bi Narsih sudah bawa dua sanak saudaranya untuk bekerja, aku juga sedang mencari satu petugas keamanan."
"Mereka hanya manusia biasa, Bi. Ada lengah dan lupa. Aku bicara seperti ini karena khawatir, tapi semua terserah padamu."
"Berikan aku waktu."
"Jangan terlalu banyak berpikir. Aku tunggu keputusanmu besok, oke?"
"Ya, begitu lebih baik."
"Aku balik duluan, Tasya telepon terus dari tadi."
"Hati-hati, aku menyusul sebentar lagi."
"Ya, kamu juga ... berhati-hatilah."
Adit berjalan pergi, meninggalkan Robi yang tengah bimbang dengan keputusannya. Diraihnya ponsel dari dalam saku kemejanya, lalu segera mengirimkan pesan pada bawahannya untuk menjalankan rencana cadangan nanti malam.
[Dia goyah, segera jalankan rencana B.]
***
Aneka hadiah untuk para tamu penting besok sudah Amelia siapkan. Semuanya berdasarkan saran dari Mayang, karena esok bukan acara minum teh biasa.
Jika sebelumnya acara itu didominasi oleh Ayu, acara besar kali ini harus jadi miliknya—pikir Amelia.
Bros berhiaskan permata air tawar menjadi pilihannya, para wanita berpengaruh itu pasti akan segan padanya karena diberikan hadiah yang bagus—pikirnya. Soal uang tidak jadi masalah untuknya, selagi bisa merebut hati Mayang dan Yustina, dia yakin kedepannya akan semakin mudah mendapatkan uang.
Buktinya, dia dapat rumah dan mobil baru atas namanya, belum lagi set perhiasan cantik yang pastinya berharga. Kunci utama terbaik mengeruk harta Wijaya adalah mendapatkan kendali atas kedua wanita berpengaruh itu—pikirnya.
"Mas, lihat deh ... bros ini lucu sekali, permata air tawarnya juga cantik."
"Eh ... i-iya, bagus."
"Mas kenapa, sih?!" protesnya.
"Mas cuma lelah. Kamu lanjutkan saja membungkus semua ini, Mas mau ke ruang kerja dulu."
"Katanya lelah, kok ke ruang kerja?" tanyanya heran.
"Mas masih ada kerjaan sedikit, kamu tahu 'kan kalau mami enggak suka Mas menunda pekerjaan?"
"Iya juga, sih. Ya sudah, jangan terlalu larut, aku tunggu di kamar."
"Akan Mas usahakan."
Amelia mendaratkan satu kecupan di kening sang suami, lalu kembali sibuk membungkus bros untuk dijadikan suvenir lusa nanti.
Robi mengunci rapat-rapat ruang kerjanya, lalu mematikan lampu agar ruangan menjadi gelap gulita.
Dibukanya jendela, membiarkan udara malam dan terangnya rembulan menerobos masuk.
Ucapan Adit terus mengusik hatinya, meski dia berusaha melupakan itu. Selama ini semuanya aman terkendali, dia yakin akan hal itu. Namun, ucapan Adit memang tidak ada salahnya.
Robi memijat keningnya yang terasa pening. Sudah lama sejak terakhir dia merasa begitu gelisah. Padahal, saat dia bertugas keluar kota selama lebih dari sebulan, dia tidak gelisah seperti saat ini.
Robi mengingat kembali kapan terakhir dia merasakan kegelisahan yang teramat, tepatnya saat awal pernikahan mereka. Robi secara diam-diam memasang CCTV di setiap sudut rumah, dia khawatir jika Amelia akan berbuat macam-macam kala itu.
Namun, Amelia yang mengetahuinya marah besar dan menuduhnya tidak percaya pada ketulusan hatinya. Sejak saat itu, Robi berusaha mengatasi kekhawatiran berlebihnya.
Trauma masa kecil membuatnya selalu dihantui rasa curiga. Apa yang maminya selalu ucapkan ketika papinya ternyata memiliki selingkuhan di luar terus menggema dalam ingatannya.
"Jangan percaya siapa pun selain dirimu sendiri."
Kehidupan asmaranya sebelum bertemu Amelia selalu kandas, mirisnya karena alasan yang sama; dia terlalu over protektif dan terlalu paranoid jika para kekasihnya akan berkhianat.
Gejala itu bisa hilang dengan sendirinya sejak Amelia dengan usaha kerasnya membuktikan diri sebagai orang yang mencintainya dengan tulus dan setia. Namun, anehnya ucapan Adit sore tadi terus terngiang-ngiang.
Tidak! Dia memang tidak ingin melakukan itu karena mencurigai Amelia seperti dulu, dia hanya khawatir pada kondisi sang istri. Tapi, hatinya seolah bertentangan untuk melakukannya atau tidak.
"Dasar gila!" rutuknya pada diri sendiri.
Robi menyalakan rokoknya, lalu menghisapnya dalam-dalam. Kepulan asap mengudara di langit-langit, setidaknya mampu membuat hatinya kembali tenang setelah berpikir sesaat.
Semua akan kembali seperti semula jika aku tetap melakukannya—batinnya.
Saat sedang asyik menikmati ketenangannya, dari luar terdengar suara pecahan sesuatu lalu diikuti teriakan Narsih dan dua pelayan lainnya.
Robi yang kaget langsung mematikan rokoknya lalu berjalan keluar ruangan. Dia berjalan menuju sumber suara, yang ternyata terjadi di kamar sang istri.
Di sana, Amelia tampak kaget setelah melihat pecahan kaca berserakan di lantai.
"Ada apa?" tanya Robi.
"A-anu, Tuan ... ada yang memecahkan kaca pakai batu bata," jawab Narsih seraya menunjuk ke arah jendela yang sudah pecah.
"Kalian lihat wujudnya?"
"Saya tidak lihat jelasnya, Tuan. Saat saya sedang menyajikan teh untuk Nyonya, dari jendela saya lihat ada bayangan seseorang lalu setelah itu dia melempar batu dan pergi," jawab keponakan Narsih.
"Mas ... aku takut," ucap Amelia seraya bergelayut pada lengannya.
"Kalian tenang, saya panggil petugas di pos utama dulu."
"Aku ikut, Mas."
"Kamu diam di sini saja, kan ada Bi Narsih."
"Biar saya yang ke pos keamanan, Tuan."
"Hati-hati, Bi."
Dipeluknya sang istri, wanita yang tengah mengandung itu gemetaran karena takut. Robi merasa bersalah karena tidak ada di sisinya saat kejadian, entah bagaimana jadinya jika terjadi hal buruk lebih dari ini.
Dilihatnya batu bata itu baik-baik, dia jadi teringat modus kejahatan rumah kosong yang dilakukan para perampok.
Apa jangan-jangan rumah ini sedang diincarnya? Mengingat rumah ini sempat kosong agak lama setelah selesai dibangun oleh pengembang, bukan tidak mungkin itu terjadi. Jika benar, sepertinya harus mengikuti rencana awal—pikirinya.