Yustina menjatuhkan dirinya di atas sofa nan empuk, ditemani sang cucu yang juga menuntunnya sepanjang jalan tadi.
"Biar Robi pijat kaki Oma," ucap Robi seraya mulai memijat betis Yustina perlahan.
Wanita yang sudah uzur itu menatap Robi penuh rasa iba. Dia adalah cucu dan anak yang baik dan penurut, tapi sayangnya kini Yustina tidak bisa lagi berada di pihaknya setelah berhasil membongkar semua rahasia di baliknya.
Ada rasa bersalah karena harus menyakiti anak sebaik Robi tapi dendam sang putra tidak bisa dia lupakan begitu saja. Robi memang tidak bersalah, tapi justru karenanya kebenaran harus terkubur dalam-dalam selama ini.
"Bagaimana pekerjaan mu, lancar?"
"Lancar, Oma. Apalagi sekarang ada Alan, dia juga banyak membantu."
"Ya, syukurlah. Lalu, bagaimana kondisi istrimu? Apakah dia mengalami kendala dalam kandungannya?"
"Tidak, Oma. Aku yakin, Amelia bisa menjaga baik-baik kandungannya."
"Oma harap juga seperti itu."
"Apa ada sesuatu yang ingin Oma sampaikan?"
Yustina menggeleng pelan. "Tidak ada, Oma hanya ingin menghabiskan waktu denganmu."
"Aku pikir kenapa. Maafkan Robi, sejak pindah rumah jadi jarang menemui Oma."
"Tidak apa, kamu juga sibuk bekerja demi perusahaan. Robi ...."
"Ya, Oma?"
"Kamu anak yang baik, maafkan Oma ...."
"Oma bicara apa, sih? Minta maaf untuk apa?"
"Untuk segalanya yang sudah dan akan terjadi."
Robi tersenyum tipis. "Jangan bicara seperti itu."
"Oma bersungguh-sungguh."
"Robi juga bersungguh-sungguh." Robi meletakkan kepalanya di pangkuan sang Oma. "Oma adalah nenek sekaligus ibu bagiku, jadi jangan mengatakan permintaan maaf seperti itu."
Andai saja Robi tahu apa saja yang sudah Yustina lakukan, mungkin dia tidak akan bisa berkata setenang itu.
"Apa kamu tidak khawatir?"
"Soal apa, Oma?"
"Banyak hal ... dalam hidup ini banyak sekali hal yang tidak terduga dan berjalan diluar keinginan kita. Itulah kenapa kamu harus memiliki ambisi agar semua harapanmu tercapai dan semua berjalan sesuai keinginanmu."
"Bukankah kita tidak bisa melawan takdir? Aku pernah ada di masa begitu ambisius dalam segala hal, tapi Amelia mengajarkan ku untuk berpikir lebih tenang. Berusaha sekeras mungkin dan menerima hasil sesuai dengan apa yang kita kerjakan."
Yustina tersenyum getir mendengarnya. Dia merasa miris, cucunya yang tadinya seperti hewan buas dan runcing taringnya kini sudah seperti singa yang kehilangan taringnya berkat Amelia.
"Pikiranmu itu tidak salah juga, tapi dalam berbisnis ... ambisi itu penting. Kamu tahu 'kan kalau Oma belum menentukan pewaris utama?"
"Iya, Oma."
"Apa kamu tidak khawatir posisimu tergeser oleh Alan atau David?"
Pertanyaan Yustina mampu membuat Robi tercekat. Khawatir? Tentu saja ... Robi menatap sang Oma dengan lekat.
"Bukankah posisiku sudah aman, Oma? Amelia tengah mengandung—"
"Apa kamu pikir itu saja cukup?" potong Yustina.
Lagi-lagi Robi tercekat, tentu saja dalam perang internal perusahaan bukan hanya keturunan saja yang menentukan posisinya. Sejauh ini, sang mami juga tidak hanya mengandalkan keturunan untuk bertahan, tapi melalui banyak hal termasuk perang dingin dengan pamannya.
"Jangan hiraukan, Oma hanya ingin kamu kembali seperti dulu. Tetap waspada."
"Iya, Oma."
Robi kembali memijat kaki sang oma, meski dalam hatinya sedang terjadi perang batin.
Sedangkan di sisi lain, David kini tengah bermain-main dengan lidahnya, menjelajahi kulit Amelia yang tidak tertutup oleh gaunnya.
Amelia mendesah penuh kenikmatan, apalagi saat pria itu semakin beringas menjelajahi area sensitifnya.
"Dav ... jangan s-sekarang ... nanti orang akan curiga."
"Lantas, kapan? Aku sungguh merindukanmu."
Amelia menarik dirinya dari pelukan David, lalu merapikan kembali pakaiannya yang berantakan. Amelia juga memeriksa riasannya melalui kaca, lalu memberikan sedikit polesan make-up untuk menutup riasannya yang nyaris terhapus oleh keringat.
"Mel ... kapan?" tanyanya lagi seraya menyentuh dada Amelia dengan gemas.
"Hentikan! Sudah aku bilang, jangan lebih dari ciuman saja."
"Habisnya kamu terlalu menggoda hari ini, aku suka gaun ini."
"Tapi kita harus berhati-hati, Dav."
David mendengus kesal. "Lagi pula, kenapa kamu masih betah dengan dia, sih?! Dia hanya pria mandul, jika semua tahu anak itu adalah darah dagingku, posisiku justru jauh lebih menguntungkan di keluarga ini, kau tahu?"
"Berikan aku waktu untuk berpikir."
"Memikirkan apa lagi?"
Tentu saja Amelia tidak bisa menjawabnya. Esok, dia akan membicarakan misi melarikan diri dengan kekasih hatinya yang sesungguhnya, tentu saja Amelia harus pintar mengulur waktu dari Robi juga David si gila.
"Sabarlah."
"Baik, tapi setidaknya beri aku kepastian kapan aku bisa berkunjung?"
"Akhir pekan nanti, bagaimana? Mas Robi bilang ada urusan pekerjaan."
"Aku akan datang seperti biasa, persiapkan dirimu," bisiknya.
"Ya, datang saja."
Amelia tersenyum kecut, dia berpikir mungkin saja lusa tidak akan terjadi apa-apa. Dia berharap, kekasihnya akan segera mengakhiri semu sandiwara ini.
"Ya sudah, aku kembali lebih dulu," ucap Amelia seraya berjalan keluar ruangan.
Dia berjalan mengendap-endap seraya memastikan tidak ada siapa pun yang melihatnya. Sampai akhirnya, dia berhasil lolos meski harus melewati jalan yang sukar, asalkan tidak tertangkap kamera pengawas—pikirnya.
Amelia merasa lega karena tidak ada yang memperhatikan keberadaannya di pesta, semua orang terutama Mayang masih sibuk berbincang, sedangkan dari kejauhan dia melihat Alan sedang berduaan dengan Ayu menikmati taman.
Tidak lama kemudian, netranya menangkap sosok Robi yang baru saja keluar dari kediaman utama Wijaya. Dia melambaikan tangannya saat mata mereka bertemu, lalu berlari kecil menghampiri Amelia yang tengah duduk menunggu.
"Maaf lama," ucapnya sambil meraih kursi dan meletakkannya di sisi sang istri lalu duduk.
"Santai saja, Mas. Sepertinya mami sangat menikmati acara hari ini."
"Tentu saja, semua itu teman dan kolega mami. Oh ya, Oma minta kita buat acara baby shower bulan depan, bagaimana?"
"Terserah Mas saja," jawabnya sekenanya.
Amelia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Entah esok, lusa atau di masa mendatang, mungkin dia tidak akan lagi melihat semua ini.
Apa yang dia ambil dari keluarga ini rasanya sudah cukup, kini dia hanya tinggal menunggu waktu sang kekasih mengajaknya pergi jauh untuk selamanya.
***
Di sisi lainnya, Adit dan anak buahnya baru saja selesai melaksanakan misi. Semua kamera sudah terpasang sempurna, bahkan Amelia sendiri tidak akan menyadarinya.
Diperiksanya kembali sampai semua benar-benar sempurna. Dari balik kaca mobil, Adit melihat penjaga yang tadi tertidur pulas baru saja terbangun, dia merasa bersyukur karena bisa mengerjakan semuanya dengan cepat sebelum orang itu bangun.
"Sudah semua, Bos," ucap anak buahnya.
"Good Job ... biar aku periksa kembali, sebentar."
Saat sedang mengotak-atik layar ponselnya, sebuah pesan masuk dari Amelia.
[Honey, di sini sangat membosankan.]
Dengan cepat dia segera membalas pesan itu.
[Bersabarlah.]
[Esok, kita jadi bertemu, kan?]
[Tentu, kita memang harus bertemu, ada sesuatu yang harus aku sampaikan.]
[Baiklah, sampai bertemu besok.]
Adit menghela napasnya dalam-dalam, laku membuangnya ke udara lepas untuk melepas kegelisahannya.
"Tidak apa-apa, tinggal sebentar lagi," lirihnya.
Mobil melaju menuju apartemennya, dia sudah sangat lelah hingga rasanya ingin menyerah berperang dengan hati serta akalnya.
Setibanya di apartemen, Adit segera menghampiri sang putri yang masih tertidur pulas. Demi dirinya, Adit rela melakukan apa pun meski harus melumuri tubuhnya dengan dosa besar.
Kini netranya beralih pada bingkai foto yang bergambarkan mendiang sang istri. Wanita pertama yang mampu menggetarkan hati serta jiwanya.
"Andai kamu masih ada di sisiku, mungkin aku tidak akan menderita seperti saat ini, Del," lirihnya.