Petang, Robi datang menjemput Amelia pulang. Awalnya Amelia ingin langsung pergi saja, terlebih dia kurang nyaman dengan keberadaan Ayu.
Namun, Mayang meminta mereka tinggal untuk makan malam bersama, tentu saja dia tidak bisa menolak dan harus menahan diri sampai acara keluarga itu selesai dilaksanakan.
"Kamu masih mual, Sayang?" tanya Robi.
"Sedikit, Mas."
Amelia menatap Ayu yang sedang sibuk membantu pelayan menyiapkan hasil masakannya. Dia semakin yakin kalau Ayu memang orang yang suka mencari muka.
"Biar saja para pelayan yang siapkan, Yu," cegah Yustina.
"Enggak apa-apa Oma, biar Ayu saja."
"Masakan Ayu ini enak banget, loh. Nafsu makan Oma saja sampai meningkat, apalagi kalau makan pepes ikan buatan Ayu," pujinya.
"Keluarga Lastri memang pandai masak, Bu," timpal Mayang.
"Kamu juga, Mel. Coba belajar masak sedikit, biar bisa memasak untuk Robi tiap hari."
Amelia merasa geram. Dari dulu Yustina dan Mayang tidak pernah membahas masalah kekurangannya ini, baru kali ini saja mereka membahasnya, di hadapan Ayu pula.
"Iya, Oma."
"Nah, begitu. Apalagi nanti kamu punya anak, harus pandai mengatur asupan dan gizinya."
Robi yang melihat istrinya mulai merasa tidak nyaman langsung menyela, "Ayo makan, Oma. Robi lapar sekali."
"Kita tunggu Alan dulu."
"Tapi Alan belum pulang, Bu," sela Mayang.
"Yu, apa kamu sudah coba telepon calon tunangan mu itu?"
"Belum, Oma. Tapi, tadi Mas Alan bilang akan pulang sedikit telat."
"Ya sudah, ayo kita makan duluan. Sarah, tolong sisihkan untuk Alan," titahnya pada sang pelayan.
"Baik Nyonya Besar."
Di meja makan yang sama, mereka menikmati makanan yang tersedia. Hanya ada satu orang saja yang tidak berselera, apalagi saat pujian demi pujian terus mengalir pada Ayu. Amelia, dia terus menggerutu dalam hatinya, dirinya seolah kembali tidak di anggap diantara mereka.
Sedangkan di sebelahnya, Robi mencoba mengalihkan perhatiannya pada makanan yang sedang dia santap. Ayu yang dia lihat saat ini berbeda jauh dari Ayu yang dia lihat di kampung.
Meski berusaha sekuat tenaga, Robi akui bahwa Ayu memang orang yang menarik dan murah tersenyum. Dia bersyukur bahwa Mayang mencarikan jodoh yang tepat untuk Alan.
Dari arah lain, Alan baru saja pulang. Matanya berbinar-binar saat melihat Ayu yang tengah sibuk melayani sang Oma. Meski dia tahu bahwa mungkin ini terlalu dini, tapi Alan akui bahwa dirinya sangat tertarik pada sosok itu.
"Malam semua," sapanya. Sontak saja mereka langsung beralih menatap Alan.
"Cepat cuci tangan lalu makan," titah Yustina.
"Iya, Oma."
Alan berlalu untuk membersihkan diri, sedangkan Ayu langsung bangkit untuk membantu pelayan bernama Sarah itu menyiapkan makanan yang sudah disisipkan.
Ayu melakukan itu bukan karena cari muka dan tata krama semata, tapi memang dia sudah terbiasa terutama dia memang sedang mencoba memberikan kesan baik pada calon suaminya itu.
Ada rasa miris dalam hati Mayang melihatnya. Harusnya gadis sebaik Ayu menjadi istri dari putra kesayangannya, bukan untuk Alan. Tapi, tidak ada keluarga lain yang bisa dia ajak kerja sama untuk membantu menekan posisi Alan agar tidak menghalangi Robi nantinya, kecuali keluarga yang sudah dia kenal sejak lama itu.
Amelia memang sudah mengandung dan berhasil mengamankan posisi Robi, namun perangai serta asal-usulnya tetap saja tidak berubah.
"Silakan dinikmati, Mas," ucap Ayu seraya menyiapkan satu piring nasi dan lauk untuk Alan.
"Makasih, Yu."
Jangan ditanya bagaimana harmonisnya mereka, Robi yang selama ini merasa kisah cintanya dengan Amelia adalah romantisme terbaik saja sampai iri dibuatnya.
Semua orang ikut senang dengan hubungan Alan dan Ayu yang ternyata bisa terjalin baik, kecuali satu orang; Amelia.
***
Di bawah langit malam, Alan menatap terangnya bintang yang berkelap-kelip ditemani Ayu.
Gadis itu menyiapkan minuman hangat untuk mereka nikmati bersama, juga beberapa kudapan manis untuk pelengkap.
"Bintangnya indah, bukan?" tanya Alan.
"Iya, indah sekali."
"Jika sedang rindu dia, aku akan menatap bintang itu sampai fajar."
"Dia? Siapa?" tanya Ayu heran.
"Hmm ... dia, wanita paling berharga dalam hidupku."
Ayu mengangguk-angguk pelan. "Kekasihmu?"
"Jangan salah paham, aku sungguh tidak punya kekasih."
"Atau ... mantan kekasihmu?"
"Bukan juga. Bisa dibilang, dia cinta pertamaku ... ibuku."
"Bu-bukankah Tante Mayang ...."
"Aku anak dari istri simpanan papi, kamu harus tahu itu."
Ayu memang terkejut, tapi dia rasa hal seperti ini pasti lazim terjadi pada pria kaya, memiliki istri lebih satu dan anak dari beda ibu.
"Oh ... begitu."
"Apa kamu menyesal?"
"Menyesal untuk apa?" tanyanya heran.
"Aku tidak punya kuasa apa-apa di rumah dan keluarga ini, bisa dibilang hanya numpang nama besar saja ha ha ha."
Bibirnya memang tertawa, namun jauh dalam hatinya dia merasa miris pada nasibnya sendiri. Ayu sadar akan hal itu, tangannya dengan refleks menyentuh wajah pria di hadapannya itu.
"Pasti berat untukmu, bukan?"
Pertanyaan sederhana namun mampu menggetarkan sanubarinya. Selama ini tidak ada yang bisa memahami perasaannya, bahkan Robi sekalipun juga tidak mengerti. Betapa sulitnya bertahan dalam keluarga yang seolah mencoba menghilangkan eksistensinya, rasanya seperti setiap harinya dia habiskan hanya untuk bertahan hidup meski dalam tidur sekalipun.
Bukan hanya itu, dia juga harus bersusah payah meyakinkan Mayang kalau keberadaannya bukan ancaman bagi putranya, itu melelahkan sekali.
"Kamu—"
"Aku tidak paham masalah seperti ini, tapi menurutku kamu bisa bertahan sejauh ini saja sudah bagus."
"Apa kamu sungguh tidak menyesal? Aku mungkin tidak akan menerima hak waris yang banyak—"
"Awalnya aku menerima perjodohan ini karena tertarik ketika melihat fotomu, juga karena tidak enak hati pada Tante Mayang. Namun, setelah bertemu langsung, aku rasa keputusanku saat itu sudah tepat."
"Mungkin kamu akan menyesal kemudian hari, bukan sekarang."
"Aku sudah biasa hidup sederhana, jadi untuk apa aku berharap sesuatu yang diluar biasanya? Lagi pula, aku akan lebih bangga jika kekayaan itu kamu dapatkan dengan usahamu sendiri."
Alan menatap gadis itu, tidak ada keraguan dalam sorot matanya, semua murni dan tulus. Apa aku layak memilikinya—batinnya.
"Jika aku dikeluarkan dari keluarga ini, apa kamu akan berubah pikiran?"
"Tergantung alasannya."
"Kalau aku keluar dari rumah ini tanpa harta benda sedikit pun, apa kamu juga akan tetap bertahan?"
"Uang bisa dicari dengan banyak cara, selagi kamu mau. Aku akan carikan pekerjaan untukmu, mudah bukan?"
"Kamu membuat hal yang kupikir rumit menjadi terasa mudah."
"Itu karena kamu berpikir terlalu rumit."
"Kamu memang unik."
"Terima kasih, itu sanjungan, bukan?"
"Tentu saja."
Mereka kembali menengadah menatap langit, namun sesekali Alan mencuri lihat wanita di sampingnya itu. Sebenarnya apa yang membuat dia begitu yakin—batinnya.
Dari jendela kamarnya, Yustina melihat mereka berdua dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia merasa bersyukur karena Mayang masih memiliki hati nurani memilihkan wanita baik untuk cucunya.
Yustina menatap foto mendiang putranya yang telah tiada. Berkatnya, bisnis keluarga kecil ini berkembang dan menuju masa kejayaannya, tapi justru dia tidak bisa menikmatinya karena meninggal dunia.
Sebuah buku catatan yang dia temukan belum lama ini selalu dia baca baik-baik, lalu setelahnya dia akan meneteskan air mata.
Di usia yang sudah senja, dia hanya berharap bisa hidup damai dan tenang. Namun, nyatanya dia harus mendapati kenyataan pahit.
"Ibu akan bantu kamu, sayang," lirihnya seraya menciumi foto itu dengan urai air mata.