Robi melepas jas miliknya, lalu menjatuhkan diri ke atas kursi kerja miliknya. Cukup lama juga rapat berlangsung, apalagi dia harus menggantikan Mayang yang tidak bisa hadir pagi tadi.
"David ke mana, ya?" tanyanya pada Adit.
"Asistennya bilang lagi ada urusan, makanya diwakilkan."
"Oh ... begitu. Aku lapar, tolong pesankan makanan, Dit."
"Mau makan apa?"
"Terserah, aku mau yang ringan dan segar."
"Salad?"
"Ya, boleh juga."
"Ya sudah, aku punya menu rekomendasi yang enak."
"Ya, atur saja. Eh ... sekalian pesan untuk Alan, suruh dia datang ke ruangan ku supaya bisa makan siang bareng."
"Oke."
Adit berlalu pergi, mengerjakan perintah sang atasan segera, sedangkan Robi kini berkutat dengan ponselnya. Amelia belum juga membalas pesan darinya, bahkan saat dia mencoba untuk menghubungi lewat panggilan video, Amelia tidak menjawabnya.
Robi beralih menelepon Narsih, tidak butuh waktu lama mereka terhubung dalam saluran telepon.
"Halo, Bi."
"Ha-halo, ini Tuan Robi?"
"Iya, ini saya. Istri saya ke mana, ya? Saya telepon kok enggak diangkat."
"Ah ... Nyonya lagi mandi, Tuan. Siap-siap pergi ke rumah Nyonya besar."
"Pantas kalau begitu. Tolong bilang sama istri saya, kabari kalau sudah selesai."
"Ba-baik, Tuan."
Saluran telepon terputus, setidaknya Robi kini tidak khawatir lagi. Semenjak Amelia hamil, dia banyak mengkhawatirkan banyak hal tentang kandungan Amelia, itulah kenapa hatinya selalu gelisah.
Andai dia bisa seperti Adit, saat khawatir pada putrinya, dia akan memeriksa kamera CCTV untuk memastikan keadaan sekaligus melepas rindu.
Selama ini dia bukan tidak terpikirkan hal itu, tapi Amelia sempat marah saat dirinya mengutarakan ide tersebut. Amelia merasa adanya CCTV di dalam rumah seperti sedang diawasi, jadi Robi kembali urungkan niat itu. Namun, dia merasa sekarang harus melakukan itu demi kebaikan Amelia serta ketenangan hatinya, dengan begitu kapan pun dia bisa mengawasi Amelia meski berjauhan.
"Bi, makanannya sudah datang," ucap Adit seraya masuk dan membawa serta makanan yang mereka pesan.
"Alan mana?"
"Tadi aku telepon ruangannya, tapi katanya dia izin telat hari ini."
"Ada apa, ya?"
"Entah, mau aku cari tahu?"
"Enggak perlu, mungkin dia ada urusan. Makanan yang satunya kamu kasih Bella saja, Dit."
"Oke, Bos."
Selagi menyantap makanannya, Robi terus memeriksa ponselnya, berharap Amelia segera memberi kabar padanya. Tidak lama kemudian ponselnya bergetar, orang yang sedari dia tunggu akhirnya membalas pesan.
[Aku mau siap-siap ke rumah mami, Mas.]
[Bawa mobil sendiri?]
[Naik taksi saja, Mas. Sorenya Mas jemput ke rumah mami, ya.]
[Oke, hati-hati di jalan, Sayang.]
[Iya, Mas.]
Ada rasa kelegaan setelah berbalas pesan dengan istrinya, seolah sesuatu yang mengganjal dalam hatinya sirna begitu saja.
"Amelia?" tanya Adit yang tengah sibuk menyantap makanannya.
"Iya, katanya dia tadi lagi mandi dan siap-siap mau ke rumah mami."
"Ya ampun, Bi ... bucin akut deh."
"Biar! Apa salahnya cinta mati pada istri sendiri."
"Iya deh, susah ngomong sama kamu. Aku sudah atur jadwal sama tukang pasang CCTV, kabari jamnya, ya."
"Thanks, Dit."
"Lanjut dulu makannya, aku lapar banget."
Robi kembali melanjutkan santap siangnya, apalagi kini sudah tidak ada yang perlu dia khawatirkan lagi. Dia sendiri heran, kenapa bisa setiap harinya merasa jatuh hati pada Amelia. Padahal, jika dia mau wanita mana pun bisa didapatkannya.
Robi yang selama ini salah mengartikan perasaannya, akhirnya semakin terjebak dalam jerat cinta yang semu.
***
Mayang menyambut kedatangan Amelia, bahkan senyumnya terus mengembang begitu menantunya itu datang.
Di taman, sudah ada beberapa teman sosialitanya yang tengah menikmati waktu mereka dengan berbincang kecil, mereka juga ikut menyambut Amelia dengan ramah.
"Kamu masih belum pakai sopir?" tanya Mayang.
"Besok sopir dan ART-nya baru datang, Mam."
"Ya ampun, padahal harusnya biarkan Mami yang urus itu semua, Mel."
"Enggak usah, Mam."
"Kamu dan Robi sama saja! Sama-sama keras kepala," protesnya.
Amelia merasa kebahagiaan yang kini dia rasakan seolah hanya ilusi belaka, semua itu akan sirna jika dia mengakhiri permainan sandiwaranya segera. Meski begitu, Amelia tidak akan pernah melupakan perhatian Mayang padanya, walaupun dia melakukannya hanya karena anak dalam kandungannya.
Mayang memperlakukannya dengan sangat baik, apalagi ada teman sosialitanya yang tidak memberikan perhatian mereka meski sebagian darinya hanya melakukan itu demi cari muka saja.
Setahu Amelia, sebagian besar tamu mertuanya ini adalah istri para dewan direksi perusahaan sekaligus istri partner bisnis perusahaan Wijaya, pantas saja mereka terlihat begitu berkelas—pikirnya.
Mereka berbincang-bincang kecil, namun karena hari ini bintang utamanya adalah Amelia, fokus mereka semua tertuju padanya.
"Jadi kapan mau buat acara Baby Shower, Jeng Mayang?" celetuk salah seorang diantaranya.
"Saya sih maunya dalam waktu dekat, tapi karena Robi baru saja pindah rumah, sepertinya biar mereka istirahat terlebih dulu. Iya 'kan, Sayang?"
Mendengar sapaan mesra dari sang mertua membuat Amelia bahagia. Senyumnya tidak bisa berhenti mengembang, apalagi saat Mayang terus menyanjungnya di hadapan para tamu.
Namun, tiba-tiba dari dalam rumah keluar seseorang yang asing baginya. Gadis cantik nan anggun keluar mencuri perhatian semua orang termasuk dirinya.
Amelia selama ini merasa percaya diri atas wajah dan tubuhnya, namun saat melihat gadis itu, dia merasa dirinya bukanlah apa-apa.
"Selamat siang," sapanya pada mereka semua.
"Siang ... ini siapa, Jeng Mayang?"
"Ah ... ayo duduk dulu, Sayang. Perkenalkan, ini calon istri Alan—Ayu."
Mendengar itu Amelia terkejut, karena tidak ada yang memberitahukan soal ini padanya termasuk Robi. Kenapa tiba-tiba sekali—batinnya.
"Salam kenal semuanya, saya Ayu ...."
Bukan hanya wajahnya saja yang mampu membuat orang berpaling, bahkan suaranya yang lembut membuat Amelia semakin merasa rendah diri.
"Sini duduk, Sayang. Ini calon kakak iparmu, Amelia."
Mayang mencoba mendekatkan Amelia dan juga Ayu, gadis muda itu tersenyum ramah namun tidak dengan Amelia yang merasa terancam keberadaannya.
Orang-orang yang tadinya bertanya soal dirinya, kini beralih pada Ayu. Mulai dari asal tinggal hingga banyak hal lainnya.
Amelia menggerutu kesal, apalagi saat para tamu memuji kecantikan Ayu yang memang jauh berbeda dengan Amelia.
Jika Amelia terkenal karena keseksiannya, Ayu memang memiliki kecantikan alami layaknya gadis desa. Awalnya Amelia pikir dia hanya gadis kampung biasa yang beruntung, tapi nyatanya Ayu bukanlah gadis biasa.
"Ayu ini kuliah di Fakultas kedokteran loh, Jeng."
"Ya ampun, pantas saya merasa memang Dek Ayu ini berbeda," celetuk yang lainnya.
Amelia semakin merasa kecil di sana. Dibanding yang lainnya, hanya Amelia yang pendidikannya rendah, bahkan SMA saja tidak sampai lulus. Wajah dan kemolekan tubuhnya yang selama ini dia banggakan, seolah tidak ada apa-apanya dibandingkan Ayu.
Akhirnya, acara yang dia harap mampu menonjolkan keberadaannya justru berbanding terbalik dengan apa yang dia harapkan. Ayu mendominasi acara hingga akhir, sampai dia merasa hanya jadi pajangan saja di sana.
Kenapa tidak ada yang bicara soal ini—batinnya.