"Nanti mau Mas bawain oleh-oleh apa?" Tanya Robi pada istrinya—Amelia.
"Mas pulang dengan selamat saja sudah cukup untukku."
Robi menatap istrinya dengan penuh rasa cinta. "Kamu memang jodoh terbaik yang Tuhan berikan untuk Mas," bisiknya.
Amelia tersenyum tipis. "Mas gombal."
"Enggak apa-apa kalau sama istri sendiri, halal."
"Udah ah, ayo cepat siap-siap ... aku enggak mau sampai mami nanti marah dan mikir kalau aku yang nahan Mas."
"Iya, ini Mas pakai baju dulu."
Robi segera memakai bajunya, bersiap untuk pergi menjemput oma dan juga maminya. Sedangkan Amelia, sudah tidak sabar karena ingin segera bebas dari belenggu yang mengikatnya walah hanya sesaat.
Amelia mengantar suaminya hingga ke teras, membantunya memasukkan barang-barang pribadi yang sudah dia siapkan untuk suaminya selama bermalam di luar kota.
"Sudah semua, Mas."
"Makasih, ya. Mas jalan dulu, kamu hati-hati di rumah, kabari kalau ada sesuatu."
"Iya, Mas."
"Bi Narsih, saya jalan dulu. Titip istri saya, ya."
Narsih hanya mengangguk pelan, tentu saja dia tidak bisa menjanjikan hal itu karena mungkin tidak lama kemudian pria itu akan kembali datang untuk menggagahi majikannya.
Mobil yang Robi bawa sudah melesat pergi. Benar saja, tidak lama kemudian seseorang datang menghampiri dan langsung memeluk Amelia dengan mesra tanpa tahu malu.
"Bi, ngapain masih di situ?!" sentak Amelia.
"Sa-saya permisi, Nyonya."
Amelia menggandeng mesra pria itu masuk. Belum lama kamar itu ditinggalkan pemiliknya, Amelia sudah membawa pria lain untuk kembali memadu kasih.
"Sudah siap ... aku tidak akan membiarkanmu istirahat," bisiknya mesra.
Amelia menggelinjang, setiap sentuhan pria itu bagai candu untuknya. "I am yours, Baby ...."
Pria itu kembali memagut bibir mungil Amelia dengan ganas, dia bahkan tidak memberikan Amelia waktu untuk bernafas.
Siang itu, dua insan yang tengah dimabuk birahi saling menyalurkan hasrat mereka satu sama lain tanpa peduli pada hati yang mereka lukai.
***
Sebuah desa yang cukup terpencil di bawah kaki gunung menjadi tujuan keluarga Wijaya.
"Mam ... ini yakin alamatnya sudah betul?"
"Iya ... jalan saja terus, nanti ada pertigaan, belok kanan," jawab Mayang.
"Oma tumben amat berobatnya ke kampung gini? Kenapa enggak ke klinik atau Dokter Rayhan saja?"
Yustina mendelik tajam. "Kamu makin pandai membantah setelah menikah, Bi."
Robi tidak bisa berkata-kata, dia akhirnya memilih diam seribu bahasa daripada nantinya kembali mematik emosi mami dan omanya.
Sebuah rumah sederhana dengan hamparan taman yang cukup luas menjadi akhir dari perjalanan mereka. Sepasang suami istri menyambut kedatangan mereka dengan senyum yang ramah, bahkan sang istri langsung memeluk Mayang seolah mereka sudah sangat dekat sebelumnya.
"Ya ampun, May ... sudah lama sekali tidak bertemu."
Dua insan itu saling melepas rindu. Di adalah Lastri, sahabat masa kecil Mayang sewaktu tinggal di kampung.
Sebenarnya dulu Mayang dan keluarganya pernah tinggal di kampung itu, namun semenjak memutuskan untuk menimba ilmu di kota, dia jarang sekali datang karena sibuk.
"Bagaimana kabarnya, Las?"
"Baik, kamu sendiri bagaimana?"
"Seperti yang kamu lihat, aku baik."
Mereka menyambut keluarga Wijaya dengan hangat, namun yang mencuri perhatian adalah sosok gadis berusia tidak jauh dari Amelia yang sedari tadi hanya diam tanpa kata seraya menundukkan pandangannya.
"Jadi menginap 'kan May?"
"Tentu, dong."
Robi heran, sebenarnya apa yang maminya rencanakan. Bukannya mereka harus melakukan kontrol kesehatan oma-nya?—batinnya kala itu.
"Berobatnya besok, Bi ...," ucap Mayang seolah mengerti apa yang Robi rasakan.
"Iya, Mam."
"Maaf ya, Las ... aku enggak cerita sama anakku soalnya."
"Enggak apa-apa, May ... ini anakmu—Robi?"
"Iya, Las ... bagaimana, tampan 'kan?"
"Oalah, enggak sangka besarnya lebih ganteng."
"Terima kasih, Tante."
"Dulu waktu kecil, kamu sering main saya Ayu, ingat enggak?" tanyanya.
Tentu saja Robi heran, entah siapa pula Ayu itu. "Ayu?"
"Ya ampun, May ... semua gara-gara kamu jarang bawa dia main ke kampung, lihat saja, dia lupa sama teman masa kecilnya," protes Lestari.
"Maaf, Tante ...."
"Enggak apa-apa. Ayu, sini!"
Gadis yang sedari tadi hanya diam itu menghampiri keluarga Wijaya lebih dekat. Robi tidak menyangka punya memiliki teman dan kenangan di kampung itu, wajar saja dia lupa, toh sudah lama berlalu.
"Hai, saya Robi."
"Hai ... saya Ayu," lirihnya.
Gadis itu sangat norak—batin Robi. Pakaian yang dia kenakan serta cara bicaranya juga sangat lembut, bukan tipe gadis yang Robi sukai.
"Robi enggak sama istrinya, May?" tanya Lastri.
"Tolong jangan bahas wanita itu dulu," sela Yustina.
"Baik, Nyonya. Aduh ... keasyikan ngajak ngobrol sampai lupa nawarin minum. Ayo, silakan dinikmati."
Mereka berbincang-bincang kecil, mengorek kenangan masa lalu, terutama masa kecil Robi dan Ayu di masa lalu.
Robi sebenarnya sudah jenuh, dia ingin sekali menghubungi istrinya, tapi Mayang pasti akan merasa tersinggung jika saat itu dia bermain ponsel.
Robi merasa sedikit gelisah, dia pikir mungkin karena belum bisa menghubungi Amelia sejak pertama datang. Padahal, kegelisahan yang dia rasakan karena alasan lainnya.
Istri yang dia khawatirkan justru sedang asyik bergumul dengan pria lain dengan panasnya. Amelia lupa sudah berapa kali mereka melakukannya, yang terpenting baginya semua hasratnya tersalurkan dengan tuntas.
Pria itu menarik rambutnya dan membuatnya mendongak, ditatapnya mata bulat Amelia. "Bagaimana ... aku atau suamimu yang payah itu?" bisiknya sambil menciumi tengkuk Amelia, sontak saja tubuhnya menggelinjang hebat.
"Bukankah sudah jelas ... tentu saja kamu, Mas," jawabnya dengan menahan desiran yang tengah dia rasakan akibat ulah pria itu.
"Maka, nikmatilah ... aku akan memuaskanmu."
Sore itu mereka kembali melanjutkan pergumulan di kamar mandi, di bawah guyuran shower yang membasahi tubuh mereka yang sudah bertelanjang badan.
Amelia yang merasakan kebebasan, mengerang tanpa ragu, menikmati setiap perlakuan pria yang kini sedang menggagahinya.
Pria itu kini menarik tubuhnya, lalu menggendongnya menuju kamar. Sudah seperti orang yang kesetanan, dia terus melakukan serangan pada tubuh Amelia yang sudah kepayahan.
Pergumulan itu berjalan hebat, sampai akhirnya usai setelah keduanya merasakan puncak kenikmatan bersama. Mereka lunglai, jatuh dalam pelukan di atas ranjang yang basah.
Amelia benci dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia terus menikmati perselingkuhan ini setiap kali melakukannya? Padahal, dia berjanji akan setia, tapi pria di hadapannya kali ini memang jauh lebih memuaskan hasratnya.
"Aku bersih-bersih dulu," ucapnya seraya bangkit dari pelukan Amelia.
Pria itu berlalu pergi, kini hanya ada Amelia yang masih bertelanjang badan di atas ranjang yang basah. Tangannya meraih ponsel di atas nakas, lalu membaca pesan yang masuk di sana.
[Apa dia masih ada?]
[Ya. Sepertinya dia akan menginap.]
Amelia terkesiap, saat tiba-tiba saja pria itu kembali dari kamar mandi. Dengan sigap dia menghapus pesannya.
"Siapa, Sayang?" tanyanya sambil melingkarkan tangan pada tubuh Amelia.
"Robi. Dia tanya, aku mau oleh-oleh apa."
"Oh, begitu."
Pria itu kembali menciumi tengkuk dan juga tubuh Amelia, seolah masih merasa kurang puas meski mereka sudah melakukannya kesekian kali hari ini.
Dia terus memberikan tekanan pada area sensitif Amelia. Meski dirinya hampir saja terbawa suasana, Amelia kembali menyadarkan diri bahwa dia sedang memiliki misi lain.
"Sayang ...."
"Ya, kenapa?"
"A-ah, sudahi dulu. Aku mau bicara."
"Oke, ada apa?"
"Apa semua persiapannya sudah selesai?"
"Tenang saja. Bidan, dokter dan beberapa orang sudah kusewa untuk menutupi usia kandunganku yang sebenarnya."
"Terima kasih."
"Kenapa kau tidak berpisah saja dan menikah denganku?"
"Maaf ...."
"Apa karena Robi adalah seorang pewaris utama Wijaya?"
Amelia mengangguk pelan. "Aku tidak mau munafik. Aku takut hidup susah, maka dari itu aku khawatir."
Pria tersenyum kecut. "Jika aku bisa membangun bisnisku dan bisa melebihi Robi, apa kau akan memilihku?"
"Tentu."
"Baik, aku akan berjuang untukmu dan anak kita. Tapi, janjikan sesuatu. Tetap layani aku seperti saat ini. Aku sudah terlanjur mencintaimu, Mel."
"Tentu saja, selagi Mas juga mau bantu."
Pria itu kembali mendekat. "Harusnya kita nikmati waktu di hotel saja, mungkin jauh lebih menyenangkan," bisiknya seraya menggigit ujung daun telinga Amelia.
"Masih ada kesempatan lainnya, Mas. Lagipula, mau dimana pun melakukannya itu tidak penting, bukan?"
Cinta, obsesi dan keegoisan menyatu menjadi satu. Amelia sudah lupa hakikat cinta yang sebenarnya, semua yang dia lakukan hanyalah sebatas mengikuti nafsu duniawi serta birahinya yang liar.
Amelia sadar, saat ini banyak hati yang dia sakiti, terutama sang suami—Robi. Tapi, hatinya kini sudah jadi milik orang lain, serta tubuhnya juga bukan hanya milik Robi.
Sungguh cinta yang menyakitkan.