Robi melirik ke arah istrinya yang sedang termenung. Setelah keluar dari Bioskop, Amelia seolah tidak bertenaga, bahkan saat dirinya mengajak makan malam saja ditolaknya.
"Kamu kenapa, kok bengong aja dari tadi?" tanya Robi pada istrinya.
"Eh ... masa, sih?"
"Iya, ada apa?"
"Bu-bukan apa-apa, Mas ...."
Robi menghentikan laju kendaraannya. "Apa mau Mas antar ke Dokter? Kamu kayaknya kurang sehat, terlihat pucat."
Amelia menggeleng pelan. "Tidak usah, Mas ... cukup istirahat di rumah saja, aku cuma kelelahan."
"Kamu yakin?"
"Tentu, Mas ...."
Robi kembali melajukan kendaraannya menuju rumah, sedangkan Amelia sedang gelisah karena permasalahannya seolah menjeratnya erat hingga sulit untuk bernafas.
Setibanya di rumah, Amelia langsung membaringkan tubuhnya. Rasa mual sudah tidak bisa dia tahan, tapi bisa bahaya jika Robi curiga—pikirnya.
"Mas mandi duluan, ya ... gerah," ucapnya seraya mengipasi tubuh dengan tangan.
"Ya sudah, Mas saja duluan ...."
"Atau ... mau mandi bareng?" godanya.
Amelia tahu betul itu adalah tanda ajakan dari Robi. Sebenarnya dia enggan, apalagi hasratnya hanya bisa terpuaskan oleh pria yang berada di celah hubungannya dengan Robi.
Robi membuka pakaiannya, lalu beralih pada pakaian Amelia. Dia melucutinya satu persatu hingga tidak bersisa sehelai benang pun. "Kamu cantik, Mel ...," bisiknya.
Bibir mereka saling memagut, desahan nafas yang memburu membakar suasana sore itu.
Robi beralih pada tubuh Amelia, menciuminya dengan mesra membuat Amelia merasakan desiran halus di tubuhnya.
Digendongnya Amelia menuju kamar mandi, peluh sudah membasahi tubuh mereka berdua. Namun tiba-tiba saja ponsel milik Robi berdering.
Kring'
Suara dering ponsel milik Robi membuyarkan suasana romantis mereka. "Mas ...."
"Biar saja, Mel."
"Kalau penting bagaimana?"
Robi menghentikan langkahnya lalu menatap mata istrinya. "Kamu jauh lebih penting."
Amelia tersentuh, bagaimanapun juga dia tahu betul Robi begitu mencintainya. Dilingkarkan tangannya pada bahu Robi. "Love you, Mas."
"Love you more ...."
Robi kembali berjalan menuju kamar mandi di kamarnya, melanjutkan yang sempat tertunda tadi.
Di bawah guyuran air yang menyegarkan, mereka berdua larut dalam lautan birahi untuk saling memuaskan hasrat.
Pada kenyataannya Amelia tidak bisa merasa puas, seolah dahaganya belum sepenuhnya hilang. Dia masih haus, tapi sang suami sudah mencapai puncaknya jauh sebelum dia mencapai rasa puas.
Bayang-bayang pria yang jauh lebih mengerti dirinya membuat Amelia merasa hambar, yang dia lakukan dengan Robi hanyalah sebatas kewajiban belaka.
"Terima kasih, Mel," bisik Robi.
"Sama-sama, Mas."
Amelia kecewa, rasanya ingin sekali dia menuntaskan hasratnya pada orang yang tepat—kekasih rahasianya. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa selagi Robi terus berada di rumah.
***
Robi merapikan pakaiannya. Rasa lelah karena pergumulan tadi masih terasa, tapi dia tidak bisa terus berleha-leha di rumah karena Mayang sudah memintanya untuk datang.
Ditatapnya Amelia yang sedang duduk seraya menikmati teh hangat dan sedikit kudapan, alangkah baiknya jika sore itu bisa ikut bersamanya.
"Maafkan Mas ya, Mel."
"Padahal enak kalau bisa Tea Time bareng, Mas."
Robi mengecup pucuk kepala istrinya dengan mesra. Jika mengikuti kata hati, dia juga ingin tinggal dan menghabiskan waktu bersama sang istri, tapi rasanya sulit untuk meninggalkan tugas yang sedang menunggu.
"Mas usahakan pulang cepat, jadi jangan ngambek, ya?"
Amelia membuang muka. Rasanya seolah privasi rumah tangga mereka tetap diganggu meski sudah pergi menjauh—batinnya.
"Mas jalan dulu, ya ...."
Amelia enggan menjawab, dia tetap menatap langit dari balik jendela besar di kamar mereka.
Robi berjalan pergi, menuju Istana keluarga Wijaya untuk memenuhi panggilan sang ibunda.
Amelia menatap kosong langit-langit. Akibat hasrat yang tidak tersalurkan hingga tuntas, serta rasa kesalnya karena waktunya bersama Robi terganggu, Amelia merasa suasana hatinya sore itu sangat kacau.
Drrttt'
Amelia meraih ponselnya, lalu membuka pesan yang masuk dari orang yang sudah dia tunggu-tunggu.
[Aku masuk, ya.]
[Masuk saja, aku sudah enggak tahan.]
Amelia segera membuka pakaian tidurnya, menampilkan tubuh moleknya tanpa sehelai benang pun. Tidak perlu menunggu terlalu lama, pria itu datang memasuki kamarnya.
Bak serigala yang menemukan mangsa, pria itu langsung menciumi Amelia dengan nafas memburu. Amelia langsung berubah seperti anjing liar yang, dia melucuti pakaian pria itu hingga terlepas semuanya.
"Tunggu ... apa di luar sudah aman?" tanya Amelia seraya menahan bibir yang sedari tadi menyerang tubuhnya.
"Tenang saja."
"Apa kamu yakin kalau Bi Narsih tak akan buka suara?"
"Dia bisa apa? Sudah ... aku tidak tahan lagi."
Pria itu kembali menciumi tubuh Amelia dengan menggila, sedangkan Amelia hanya bisa menikmati hal yang memang dia butuhkan saat itu.
Kepuasan itulah yang tidak bisa dia dapatkan dari Robi, bahkan sedikit saja tidak bisa dia bandingkan dengan apa yang dia rasakan dari pria itu.
Setiap sentuhannya mampu membangkitkan gairahnya yang tadi sempat meredup. Pria itu menggendong Amelia menuju kasur mewahnya, mereka bergumul di tempat yang suci, tempat di mana harusnya hanya menjadi milik Amelia dan Robi saja.
***
"Mam, yang benar saja ... Robi baru saja pulang dinas selama beberapa bulan, lalu sekarang Mami minta Robi ikut temani oma ke luar kota?!" protes Robi.
"Mau bagaimana lagi, Bi ... oma minta kamu temani, enggak lama ... sekitar 2 hari saja."
Robi memijat keningnya, dia tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Amelia saat tahu harus kembali berpisah setelah sekian lama.
"Robi ajak Amelia saja, ya."
"Kamu tahu betul kalau Mami enggak suka dekat-dekat dengan wanita kampung itu!"
"Tapi, Mam ... dia tetap menantu Mami, Please."
Mayang bangkit dari tempatnya duduk. "Apa susahnya Mami minta waktu 2 hari saja? Sedangkan dia, sudah merebut kamu dari Mami selama bertahun-tahun ini."
Robi tidak bisa mencari jalan keluar lain selain mengalah. Dia tidak mau ambil risiko jika kelak akan terjadi keributan karena penolakannya, Amelia pasti mengerti—pikirnya.
Robi meraih pundak Mayang, laku memijatnya dengan perlahan agar maminya sedikit lebih tenang.
"Ya, sudah ... Robi setuju. Kapan kita pergi?"
"Besok siang, Mami sudah buat janji dengan Dokternya."
"Oke, nanti Robi jemput. Kalau begitu, Robi balik dulu."
"Enggak dinner di sini saja?"
"Amelia kasihan, Mam. Lagipula, kalau terlalu malam bahaya juga, apalagi nyetir sendirian."
Mayang mendengus kesal. "Makanya pekerjakan sopir, Bi ... kamu itu kalau dibilangin enggak nurut, seperti orang susah saja."
"Amelia enggak suka banyak orang di rumah, Mam ... kalau Robi enggak paksa, mungkin dia sendiri yang akan urus rumah tanpa bantuan Bi Narsih."
"Wajar saja, dia kan memang pada dasarnya layak jadi pembantu," hardik Mayang.
"Mam ...."
"Oke, bela saja terus istrimu itu. Pokoknya, besok jangan terlalu siang, kasihan oma."
"Iya, Mam. Robi jalan dulu, ya ... Bye, Mami."
"Bye, Sayang ... hati-hati."
Robi berlalu pergi, bayang-bayang Amelia yang mungkin sedang merajuk masih terus menghantuinya. Andai dia tahu, justru istrinya sedang asyik bergumul dengan pria lain, mungkin dia akan menyesali segala pengorbanan yang telah dia berikan pada Amelia.