Chereads / Cruel Of Love / Chapter 20 - Kendali

Chapter 20 - Kendali

Wajah Robi terlihat kusut, terlebih semalam dia kesulitan untuk tidur setelah keributan yang terjadi. Karenanya, Robi dan Amelia harus tidur sementara waktu di kamar tamu, setidaknya sampai kaca kamar mereka selesai diperbaiki.

Selain itu, dia juga meminta jasa penyalur tenaga penjaga keamanan untuk segera mengirimkan orang sewaannya tadi pagi. Padahal, tadinya dia tidak ingin tergesa-gesa, ingin memastikan terlebih dahulu latar belakang serta kepribadian sang petugas. Namun, dia resah karena kejadian semalam dirasa janggal.

Melalui CCTV perumahan, tidak ada orang mencurigakan yang masuk ke sekitar rumah Robi, membuat mereka kesulitan untuk mengidentifikasi pelaku sebenarnya.

"Apa di rumah Bapak tidak ada CCTV satu pun?" tanya seorang petugas Komplek semalam.

"Ti-tidak, kami memang tidak pernah pasang CCTV," sela Amelia.

"Ada baiknya pasang untuk berjaga-jaga, Bu."

"Sebelumnya tidak pernah terjadi hal seperti ini! Kalian saja yang tidak becus menjaga keamanan sekitar!" sentak Amelia.

"Maaf, Bu. Ruang lingkup wilayah yang kami jaga bukan hanya rumah Ibu, jadi adakalanya kami berkeliling memeriksa blok lain. Kedepannya, kami akan coba lebih waspada lagi, tapi saran kami CCTV tetap diperlukan—"

"Tidak! Jangan mengatur-atur saya, ya. Jika saya bilang tidak, artinya ya tidak!"

Robi berusaha menenangkan Amelia kala itu, sudah pasti penolakan seperti itu akan terjadi jika dia jujur ingin menyetujui usulan dari sang petugas.

"Maafkan istri saya, Pak. Terima kasih sudah mau membantu."

"Baik, Pak. Saya akan perketat pengawasan di sekitar rumah Bapak, tapi ada baiknya Bapak pikirkan usul kami baik-baik."

"Terima kasih atas masukannya, Pak."

"Apa Bapak mau kami carikan satpam khusus?"

"Tidak usah, Pak. Saya sudah pesan pada penyalur petugas keamanan, semoga besok pagi atau siang sudah bisa datang."

"Syukurlah kalau begitu, setidaknya itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Kalau begitu, kami permisi dulu, Pak."

Sepulangnya mereka, malam kemarin Robi beradu argumen dengan Amelia. Dia meminta persetujuan sang istri untuk memperkerjakan seorang petugas keamanan khusus untuk rumah mereka. Meski awalnya Amelia menolak, akhirnya dia setuju dengan syarat dia sendiri yang akan memilihnya.

Semua itu tentu saja beralasan, Amelia takut kebebasannya terbatasi, jadi dia harus menyimpan orang-orangnya di sekitar rumah agar sandiwara yang dia mainkan aman.

Robi kini mencoba menikmati kopi miliknya, menghilangkan rasa kantuk agar jauh lebih segar karena masih ada rapat di divisinya siang nanti.

"Kamu enggak tidur, Bi?" tanya Adit yang sedang sibuk menyiapkan bahan materi rapat.

"Semalam ada keributan di rumah, bagaimana bisa aku tidur?"

"Keributan apa?"

Robi menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya semalam, termasuk pertengkarannya dengan Amelia yang berujung pada keputusan Amelia.

Adit hanya bisa tersenyum getir, tentu saja dia tahu alasan kenapa istri sahabatnya itu bersikukuh seperti itu. "Jadi, Amelia yang pilih petugas keamanannya?"

"Iya, dia yang meminta seperti itu. Padahal, aku ingin lebih selektif memilih, kamu tahu sendiri aku tidak bisa mudah percaya pada orang lain, bukan?"

"Lantas, kenapa kamu menyetujuinya?"

"Daripada terus bertengkar. Amelia sedang mengandung, tidak baik untuknya kalau terlalu emosional."

Robi memang sulit mempercayai orang lain, tapi jika sekalinya dia percaya, Robi berubah menjadi orang yang naif—batin Adit.

"Kamu sangat percaya istrimu, ya."

"Tentu saja, bukankah itu dasar dari suksesnya suatu hubungan? Awalnya memang sulit untukku, tapi Amelia bisa menunjukkan diri bahwa dia layak untuk diberi kepercayaan."

Adit tersenyum kecut mendengarnya. "Luar biasa."

"Apanya?"

"Kamu ... sungguh cinta yang luar biasa."

"Kamu juga harus kembali mencoba merajut kasih, Dit. Tasya butuh sosok Ibu."

"Dia tidak kekurangan kasih sayang, jadi keberadaan ku saja sudah cukup."

"Hm ... baiklah, semua keputusan ada padamu. Bagaimana keadaannya?"

"Sudah jauh lebih baik."

"Apa kamu yakin tidak butuh bantuan?"

"Bantuan apa?"

"Uang. Pengobatan Tasya pasti butuh banyak uang, bukan?"

Adit menggeleng pelan. "Tidak usah, aku ada uang."

"Sungguh?"

"Ya, tentu saja."

"Kalau butuh, bilang saja. Aku akan berusaha membantu."

Adit semakin merasakan kegetiran dalam hatinya. Uang yang dia terima dari sang tuan jauh lebih banyak dari yang Robi bisa berikan padanya. Dia tahu dirinya tidak ubahnya seperti sampah, mengorbankan persahabatan demi uang dan kesehatan sang putri.

"Lalu, bagaimana dengan keputusanmu soal CCTV, Bi?"

"Sepertinya memang harus pasang, Dit. Aku jadi khawatir pada orang-orang yang bekerja di rumahku, apakah mereka bisa dipercaya atau tidak."

Adit tersenyum lebar mendengarnya, dengan begitu dia tidak perlu khawatir rencananya dan sang tuan gagal. "Kalau begitu, bukankah rumahmu harus dalam keadaan kosong?"

"Agak sulit, ya? Akan mencurigakan kalau aku ajak mereka keluar dari rumah secara bersamaan."

"Untuk para pembantu, ajak saja mereka pergi ke rumah Wijaya. Kamu bisa beralasan agar mereka bisa membantu acara di sana, bukan?"

"Iya juga, sih. Toh, mereka jadi bisa belajar dari pelayan oma yang jauh lebih pengalaman."

"Nah, itu jauh lebih masuk akal. Amelia juga tidak akan curiga."

"Ya sudah, aku kabari mami dulu. Lalu, satpam batu itu bagaimana?"

"Serahkan itu padaku."

"Sungguh?"

"Ya, tenang saja."

"Ya sudah, aku serahkan sisanya sama kamu. Aku pergi dulu."

"Ke mana? Rapat mau mulai 30 menit lagi."

"Nemuin Alan dulu."

"Oh ... ya sudah, segera kembali."

"Ok."

Robi berlaku pergi, meninggalkan sahabatnya yang masih sibuk memeriksa bahan materi. Setelah Robi benar-benar pergi, Adit meraih ponselnya lalu menghubungi sang tuan untuk memberi tahunya bahwa semua berjalan sesuai rencana.

"Semua berjalan sesuai perintah anda, Nyonya."

Mendengar kabar itu, sang tuan memuji Adit dan menjanjikan hasil yang setimpal sesuai dengan kesepakatan mereka sejak awal. Adit merasa bersyukur, hanya tinggal sedikit lagi dia bisa pergi sejauh mungkin dan memulai hidup baru bersama sang putri tanpa harus kembali terlibat dengan konflik keluarga Wijaya. Meski, dia harus memutuskan persahabatannya dengan Robi.

***

Amelia mengumpulkan para bawahannya termasuk sang petugas keamanan baru yang dia rekrut. Dia harus memastikan mereka semua berada di bawah kendalinya.

Petugas keamanan itu bernama Abas, pria gagah dan masih berusia sekitar 30 tahunan yang direkomendasikan khusus oleh salah satu sahabatnya.

Gara-gara kejadian semalam, Amelia harus bergerak cepat dan menghalangi Robi memilih sendiri petugas keamanan nya. Kini dia bisa bernapas lega, setidaknya kini hanya tinggal memberikan arahan pada mereka—pikirnya.

"Tugasmu di sini hanya menjaga keamanan, dan laporkan yang perlu saja."

"Baik, Bu."

"Tutup mata, telinga dan mulutmu jika ingin bisa berlama-lama kerja di rumah ini."

Pria itu awalnya bingung, dia tidak mengira akan terjebak dalam permasalahan rumah tangga sang majikan dan tidak bisa menolak karena suatu kebutuhan.

"Kamu paham?" tanya Amelia menegaskan.

"Pa-paham, Bu."

Tidak lama setelah itu, datang seseorang yang sudah dia tunggu kedatangannya. Pria itu tanpa berbasa-basi langsung mengecup Amelia dengan mesra dan para bawahan itu hanya bisa menundukkan kepala mereka dengan penuh kebimbangan.

"Kembali pada kerjaan kalian masing-masing. Ingat ...! Tutup mulut kalian," ancamnya.

"Ba-baik, Bu."

Pria itu membopong Amelia menuju kamar, lalu menjatuhkannya ke atas ranjang dan langsung menciuminya dengan buas.

"Dav ... pelan-pelan sedikit."

"Maaf, aku terlalu senang karena kamu memintaku kembali datang. Aku rindu kamu, sayang."

Amelia hanya bisa tersenyum getir mendengarnya. Bukan dirinya yang mengharapkan pria itu datang, tapi tubuhnya yang terus merasa haus akan sentuhan sedangkan sang pria idaman terus saja menolak untuk datang.