"Lan, sapalah Amelia dengan benar!" protes Robi pada Alan—adiknya.
Alan terkekeh. "Ya ampun, Kak ... galak bener. Hai, Kakak Ipar, bagaimana kabarnya?"
"Ah ... hai. Kabarku baik ...."
"Lihat, aku jadi canggung, Kak!" protes Alan.
"Biasakan diri, meski kalian memang seumuran, dia tetap Kakak Iparmu."
"Sudah lama tak bertemu, sekalinya pulang ngomel-ngomel," gumam Alan seraya mencebikkan bibirnya.
"Apa?!"
Alan menggeleng pelan. "Bukan apa-apa Kakakku sayang, sudah jangan marah-marah, nanti cepat tua," ledek Alan.
"Anak ini ... benar-benar minta dipukul."
Meski hubungan Alan dan Mayang bagai air dan minyak yang tak bisa disatukan, tapi justru hubungannya dengan Robi baik selayaknya seorang kakak beradik.
Robi tidak pernah memperlakukan Alan sama seperti anggota keluarga lainnya, bagaimanapun juga, mereka tetap saudara kandung meski beda Ibu—pikirnya.
Masih ingat dalam bayangan saat Alan pertama kali menginjakkan kaki di rumah megah Wijaya, hanya Robi yang menyapa dan mau bicara dengannya.
Orang yang tak mengenalnya mungkin akan merasa iri karena dia hidup dalam kekayaan berkat wasiat terakhir papinya, tapi sebenarnya dia hidup bagai burung dalam sangkar emas.
Tidak, mungkin lebih buruk daripada itu ... karena kenyataannya, dia tidak pernah dianggap ada di rumah nan megah yang lebih disebut sebagai istana.
Pergi dari rumah pernah dia lakukan, tapi itu malah memperkeruh suasana karena Mayang sempat terkena skandal akibat rumor bahwa dia menelantarkan putranya.
Pada akhirnya dia kembali dan bertekad akan bertahan hingga saatnya tiba. Terbang bebas dan pergi menjauh sebisa mungkin tanpa harus takut hidup dalam bayang-bayang keluarga Wijaya.
"Robi ini memang bucin, enggak bisa istrinya dicolek dikit," ledek Adit—teman baik Robi.
"Terserah apa kata kalian, bilang saja iri."
Mereka bertiga tergelak, sedangkan Amelia masih tetap resah apalagi saat mata mereka bertemu.
"Aku nemuin Oma dulu, ya."
"Ya, nanti kami setelah kalian berdua saja."
Robi menggandeng istrinya tercinta, tak peduli pada bisikan saudara lainnya yang masih asyik menggunjing di belakang mereka.
Sebuah kamar dengan pintu besar nan megah menjadi tempat istirahat ratu di rumah keluarga Wijaya—Yustina.
"Jangan tegang, biasa saja ... ada aku," ucap Robi mencoba menenangkan Amelia.
Amelia mengangguk pelan, toh, bukan kali pertama dia menghadapi situasi seperti itu—pikirnya. Seorang asisten membukakan pintu untuk mereka, seketika saja aroma wangi lavender yang menjadi kesukaan Yustina menguar memenuhi rongga hidung mereka.
"Oma ...,"sapa Robi seraya menghampirinya yang duduk di sebuah kursi empuk nan mewah.
"Bagaimana kabarmu, baik?"
"Aku baik-baik saja, Oma sendiri bagaimana kabarnya?"
Yustina menatap tajam ke arah Amelia yang bersimpuh di samping suaminya. "Tentu saja Oma baik-baik saja."
"Syukurlah kalau begitu— "
"Tapi belum tentu besok atau lusa," potong Yustina.
Robi terbelalak mendengar ucapan oma-nya tersebut. "Jangan bilang begitu, Oma. Oma harus sehat, panjang umur."
"Untuk apa?"
"Bukankah Oma bilang mau menyambut cicit penerus keluarga Wijaya? Jadi, tetaplah sehat."
"Sampai kapan kamu membuat Oma menunggu?! Amelia ... jawab Oma!"
Amelia gemetar hebat, tapi dia mencoba menenangkan dirinya sebisa mungkin. Nasi sudah menjadi bubur, dia rasa memang harus memakai ide gila yang sudah dia rencanakan bersamanya.
"Amelia yakin bisa memberikan Mas Robi keturunan, Oma."
"Kapan? Ini sudah lima tahun, sampai kapan kami harus menunggu?"
"Oma, tolong jangan desak Amel begitu. Kami mau mencoba inseminasi, bayi tabung dan apa pun itu dalam waktu dekat," sela Robi mencoba membela Amelia.
Yustina mendengus kesal, batas kesabarannya sudah habis sejak lama. Andai Robi tak bersikukuh, mungkin dia sudah melakukan banyak hal untuk memisahkan mereka.
"Jangan menguji kesabaran kami, Bi. Oma tunggu secepatnya kabar baik itu, atau ... kami terpaksa mencarikan istri baru untukmu."
Robi yang khawatir dengan mental Amelia langsung pamit untuk undur diri dari sang oma. Menanggapinya juga percuma karena Yusnita adalah pemimpin keluarga Wijaya yang sebenarnya.
Amelia menahan amarahnya di dalam dada. Harga dirinya sudah terluka cukup lama, jika memang mereka sangat menginginkan anak, maka akan aku kabulkan—batinnya.
***
Amelia menatap kosong makanan yang ada di hadapannya, rasa mual kembali mendera saat mencium aneka bau makanan menyengat memenuhi rongga hidungnya.
Dia berusaha keras menahannya, agar tidak ada seorang pun yang curiga. Robi sedang berbincang dengan paman dan bibinya. Biasanya, mereka membahas urusan bisnis dan sebagainya, jadi Amelia putuskan untuk diam menunggu saja.
Bukan tidak mau membaur, toh keberadaannya juga tidak pernah mereka anggap meski Amelia berdiri tepat di hadapan mereka.
Ddrttt'
Ponselnya kembali bergetar, Amelia berdecak kesal saat membaca isi pesan yang dia terima.
[Kamu pasti mual, kan? Jangan makan kalau memang kamu tak kuat, makanlah buah-buahan.]
[Tak usah pedulikan aku.]
[Hei, kamu sedang mengandung anakku, bagaimana bisa aku tak peduli?]
Amelia mengedarkan pandangan mencari sosok yang sedari datang membuatnya gelisah, tapi dia tak bisa menemukannya.
[Kamu dimana?]
[Kamu rindu? Bukannya kita baru saja bertemu?]
[Aku ingin membicarakan sesuatu.]
[Boleh saja, tapi aku meminta sedikit bayaran.]
Amelia berdecak kesal, tangannya langsung kembali membalas pesan.
[Jangan macam-macam.]
[Tidak ada yang gratis di dunia ini, Sayang.]
[Bayaran apa?]
[Hanya bayaran kecil, kecup aku.]
[Dasar gila. Kita ada di lingkungan keluarga Wijaya, banyak mata yang bisa saja melihat kita!]
[Lihatlah ke arah jendela, temui aku. Tenang saja, Di sini aman.]
Amelia merasa frustrasi. Dia tak ada pilihan lain selain pergi, belum tentu dia bisa bertemu kembali dengannya, apalagi kini Robi ada di rumah.
Semua orang sedang sibuk dengan dunianya sendiri, ada baiknya juga tak di anggap karena mereka tak sadar bahwa kini Amelia tak ada di tempatnya.
"Apa semuanya lancar, Om?" tanya Robi pada salah satu pamannya.
"Sejauh ini masih lancar, semuanya berkat bantuan dari Ibu."
"Robi ikut senang dengarnya. Oh ya, katanya Anita sedang mengandung, ya?"
"Iya, sudah dua bulan. Kamu kapan, Bi? Apa tak bosan hidup hanya berdua saja?"
Tentu saja Robi juga berharap mereka segera memiliki anak, tapi memang belum juga berhasil membuat Amelia hamil.
Memeriksakan diri sempat ingin dia lakukan, tapi kekhawatiran kalau justru dia yang bermasalah membuatnya takut, dia khawatir jika itu terjadi Amelia akan pergi meninggalkannya.
Seiring berjalannya waktu, justru sikap egoisnya itu malah melukai Amelia. Segala tuduhan mengarah padanya, sedangkan dia tak bisa berbuat apa-apa selain mencoba membela istrinya dengan tetap bertahan.
Melihat Amelia yang terus tersiksa, Robi menguatkan tekat untuk memeriksakan diri, sekaligus mengikuti program kehamilan yang dianjurkan salah seorang temannya.
Meski nantinya mungkin dia harus menerima kenyataan pahit sekalipun, Robi sudah siap karena yakin Amelia akan menerima segala kekurangannya.
"Doakan saja segera, Om. Kami mau coba inseminasi."
"Nah, itu bagus. Kenapa tidak langsung bayi tabung saja, jauh lebih besar keberhasilannya."
"Ya, nanti akan coba Robi bicarakan dengan Dokter Rayhan."
Robi mulai jengah menanggapi pertanyaan soal keturunan, tidak akan ada habisnya mereka terus membahas itu. Dia mencoba mencari Amelia, tapi hasilnya nihil karena istrinya tak ada di tempat dimana dia duduk sebelumnya. Robi meraih ponselnya, ternyata ada pesan masuk dari Amelia di sana.
[Aku ke kamar mandi dulu, Mas.]
Robi tersenyum simpul, istrinya begitu pengertian dengan mengirimkan pesan meski hanya pergi ke kamar kecil—pikirnya.
"Om, lihat Alan?"
"Entah, untuk apa cari dia?"
"Ah ... tidak. Kalau Adit, lihat enggak?"
"Aditya? Sepertinya tadi dia izin ke luar."
Robi merasa jengkel sendiri, di saat dibutuhkan tidak ada seorang pun diantara mereka berdua yang bisa diajak bekerja sama. Akhirnya, dia terpaksa menanggapi pembicaraan menyebalkan dengan saudaranya satu itu.
Cepatlah kembali, Mel ... aku bosan—batin Robi.