Gil dan Vin telah siap kembali ke Alam Dewa, tempat asal mereka. Mereka berpamitan pada Yushen dan Sifeng.
"Terima kasih atas semua bantuan kalian pada kami!" Gil menaruh tangan kanannya di dada dan sedikit menunduk.
"Tidak masalah! Kalian sudah saya anggap seperti keluarga sendiri." Yushen membalas sambil mengangguk.
Mata Vin mulai berkaca - kaca. Sifeng menatap lekat wajah Vin. Sifeng merangkul pundak Vin setelahnya, seperti sosok kakak yang menenangkan adiknya.
"Aku malu mengakuinya, tapi aku mulai menyukaimu, Vin. Aku merasa memiliki adik kecil ketika bersamamu. Dapatkah kita bertemu lagi? Suatu saat nanti mungkin?" ucap Sifeng.
"Tenanglah, Kak Sifeng. Aku akan sering berkunjung ke Dunia Manusia ini. Aku berjanji!" Vin berucap, sambil melepaskan pelukan Sifeng. Vin tidak suka diperlakukan seperti itu.
"Kenapa tidak kalian saja yang ikut bersama kami ke Dunia Para Dewa?" Gil berucap. Dia seolah mendapat ide untuk mengajak manusia-manusia yang telah menolong mereka itu.
"Kami sebenarnya ingin, tapi bagaimana pekerjaan saya di sini? Aku datang ke Guangzhou ini hanya untuk bekerja."
Raut muka Yushen berubah sedih, saat mengatakan itu.
"Kalian boleh ikut mereka."
Sebuah suara muncul dari balik pintu. "Papa akan mengurus pekerjaan di sini, A-Shen. Anggap saja ini cuti bagi kalian! Kalian sudah bekerja keras selama ini." Tuan Zhang yang baru saja datang ke tempat itu, berucap.
"Sungguh, Papa?" sahut Yushen dan Sifeng bersamaan.
"Sungguh! Papa berkata serius saat ini. Walau Papa sebenarnya tidak tahu tempat mana yang akan kalian akan datangi. Tapi, Papa yakin jika kedua pria ini adalah pria baik-baik." Tuan Zhang berkata, ramah. Saat mengatakan kalimat itu, Tuan Zhang melihat ke arah Gil dan Vin.
"Tenanglah, Papa! Kami masih akan tetap berada di sekitar Guangzhou saja. Tidak sampai ke luar negeri." Yushen menjawab.
Yushen menaik-turunkan alisnya pada Sifeng. Menyuruh adiknya untuk menambahkan kalimat agar ayah mereka semakin percaya dan tidak khawatir.
"Hahaha ... iya, Papa. Kita tidak akan pergi jauh-jauh. Dan maafkan kami sebelumnya! Mungkin nanti kami akan mematikan ponsel kami, selama kami berlibur bersama teman kami." Sifeng berucap. Dia mengedipkan mata ke arah Yushen, saudaranya.
Mata milik Yushen langsung melotot. Dia belum mengerti kenapa adiknya berucap seperti itu.
"Kenapa harus mematikan ponsel kita segal, A-Feng?" Yushen berbisik pada Sifeng.
"Di dunia mereka mungkin saja tidak ada sinyal, Yushen! Kenapa kamu kini jadi telat berpikir seperti ini, hah?" Sifeng berkata, kesal.
Tuan Zhang melirik bergantian Yushen dan Sifeng. Dia menatap curiga ke arah putra-putra dari wanita-wanita yang dia cintai.
"Ada apa, A-Feng?" tanya Tuan Zhang ketika dia melihat Sifeng membentak-bentak Yushen. Tuan Zhang juga mendengar jika anaknya menyebut 'Dunia Merdeka' tadi. Tuan Zhang tidak paham apa yang diucapkan putra kecilnya.
"Hao ... sepertinya A-Feng masih demam, Papa. Sepertinya, aku salah memberi A-Feng obat, Pa. Jadi, A-Feng berbicara melantur," ucap Yushen.
Yushen terlihat begitu gugup saat ini. Dia tidak ingin jika ayahnya mencurigai tempat tujuan mereka. Yushen menarik tangan Sifeng untuk menjauhi ayah mereka, agar Sifeng tidak berbicara aneh-aneh seperti tadi lagi.
Yushen mendekat ke telinga Sifeng dan berbisik,
"Kamu sungguh bodoh, A-Feng! Kamu hampir membuat ayah curiga pada tempat tujuan kita, Bodoh! Sepertinya, aku harus memukul kepalamu sekali lagi, agar kamu bisa menjaga rahasia kita!"
To be continued ....