Saheera sedang berada di ruang tengah sore itu. Bogor kembali hujan, membuat Saheera perlu mengenakan kardigan rajut buatan tangan ibunya untuk menghangatkan tubuh. Secangkir cokelat hangat tak lupa terhidang di atas meja, dibuatnya sebelum memutuskan untuk mengerjakan beberapa hal di ruang tengah. Gadis itu merasa bosan di kamar seharian, Ia butuh penyegaran. Setidaknya empat pohon kopi dan palm di green house disamping kanan dan kiri ruang tengah bisa lebih mendatangkan inspirasi dan ketenangan dari matanya.
Tangannya kembali bergerak di atas iPad dengan iPad pencil putih miliknya. Tabel-tabel ada disana. diwarnai dengan warna pastel dan tulisan tangan tinta hitam. Timetable untuk tahun ajaran baru. Ya, time management sangat diperhatikan oleh Saheera, menjaga dirinya lebih produktif.
SREEKK!
Satu suara menarik Saheera dari fokusnya. Nalesha, menaruh carrier warna merah-abu nya di atas sofa. "Ngapain Saheera?" tanyanya tanpa menoleh. Sibuk mengetikkan sesuatu di ponsel.
"Hah? Planning, buat tahun depan," jawab Saheera.
Nalesha mengangguk-ngangguk, kemudian duduk di sofa single samping Saheera, setempat dengan carrier yang ditaruhnya tadi itu. "Itu apa?" tanyanya lagi.
"Apa?"
"Tuh," tunjuknya pada cangkir cokelat panas yang benar-benar masih mengepulkan asap.
"Cokelat panas. Masa gak tau?"
Nalesha tersenyum tipis nyaris tak terlihat, "Basa-basi namanya. Sekaligus kode," ujarnya. Kembali matanya menatap Saheera. Maklum, tipikal orang yang selalu menatap lawan bicara dan tak suka ditatap balik.
"Kode apaan? Kamu mau?"
"Betul. Boleh dibuatin?" tanya Nalesha lagi.
Tak banyak bicara, Saheera beranjak dari sofa menuju dapur. Nalesha hanya tersenyum sekilas, kemudian kembali sibuk dengan ponselnya. Lalu apa yang tertampil di iPad Saheera di meja cukup menarik perhatiannya. Nalesha mencondongkan tubuhnya ke depan, melihat apa yang sedang dikerjakan Saheera lebih dekat tanpa menyentuhnya.
Beberapa detik kemudian, Nalesha kembali tersenyum tipis, "Rapi banget kerjanya. Calon dosen," gumamnya pelan, kemudian kembali pada aktivitasnya semula. Namun tak lama, karena Saheera sudah kembali dengan secangkir cokelat panas. Harumnya sudah membuat Nalesha ingin segera meneguknya panas-panas.
"Makasih ya."
"Sama-sama. Kamu mau kemana? Muncak lagi?" Saheera mengambil kembali iPadnya. Nalesha menoleh sekilas dari aktivitasnya meniup cokelat panas, "Iya. Terakhir tahun ini," jawabnya.
"Minumnya jangan ditiup." Saheera menegur sopan, Nalesha berhenti, "Oh? Memang kenapa sih kalau ditiup?" tanyanya, entah memang karena tidak tahu atau sekedari ingin dijelaskan kembali oleh yang lebih ahli.
"Ada anjurannya dalam agama, dan secara ilmiah gak baik. Masa gak tau?"
Nalesha tergelak pelan, sudah dua kali mendengar 'masa gak tau' yang konon menjadi kalimat andalan Saheera menurut anak-anak yang lain. "Iya, Saya gak tau. Lupa mungkin tepatnya. Bagus ada Kamu yang ngingetin," ujarnya, lalu impulsif saja mengambil kipas tangan Saheera di meja. "Dingin-dingin kok bawa kipas," komentarnya.
"Gak ada yang jamin selama hujan gak kegerahan. Bogor makin ekstrem aja cuacanya."
"Iya juga. Kamu pakai jilbab apalagi. Lebih berpotensi gerah dibanding yang enggak kayak Saya."
Saheera tertawa pelan tanpa menoleh, masih asik dengan tulisannya di iPad, "Ya masa Kamu pakai jilbab juga. Aneh namanya. Ada-ada aja."
Nalesha menghela nafasnya dalam setelah berhasil menyesap cokelat panas yang mulai mendingin terbantu suhu udara yang dingin. "Apa yang Kamu rencanakan tahun depan? Saya kadang iri ngeliat Kamu selalu produktif, gak pernah males, apa sih rahasianya?" tanyanya.
"Rahasia? Aku rasa itu bukan rahasia sih Lesh. Aku juga gak produktif-produktif banget," kilah Saheera. Nalesha hanya tersenyum miring, "Merendah untuk meroket?"
"Beneran. Teorinnya kan gak lepas dari konsistensi, komitmen, dan patuh pada diri sendiri."
"So ... do you think that you're hard to yourself? Is it good? So far?"
Saheera berhenti, tampak berpikir, mendonggakkan kepalanya sedikit ke atas, "Yes. I was hard to myself, and sometimes that was good, and sometimes wasn't. Tergantung mood, emosi."
Nalesha mengangguk-ngangguk paham, "Don't too hard to yourself Saheera," ujarnya, membuat Saheera menoleh padanya yang kembali menyesap cokelat panas. "Why?"
"Kalau Kamu terlalu keras, dengan harapan paid off nya suatu saat nanti bakal Kamu terima, artinya Kamu sangat berekspektasi. Ekspektasi yang terlalu tinggi meski usahanya juga tinggi itu gak terlalu baik. Pasir yang Kamu genggam terlalu kuat atau terlalu lemah pada akhirnya akan lepas dan jatuh," jawab Nalesha panjang lebar. Saheera mendengarkan penuh respect, Nalesha memang seperti itu di matanya dan yang lain. Bijaksana dibalik sifat cuek dan kesan malasnya.
"Saya gak pernah lihat Kamu bersenang senang kecuali berdiam diri seperti ini di ruang tamu. Selama Kita satu atap ini. Sesekali hibur diri Kamu, lakukan hobi Kamu, Saheera," lanjutnya.
Saheera menghela nafasnya panjang, mengangguk kemudian. "Saran yang bagus Lesh. Tapi, Aku gak bisa kayaknya, melakukan itu dengan mudah."
"Kenapa? Kamu merasa sangat bertanggung jawab?"
"Mungkin."
Nalesha menggelengkan kepalanya, "Kurang apa sih Kamu itu? Sekolah di sekolah elit, kompetitif, berkualitas. Berprestasi. Mungkin setelah lulus tahun depan Kamu akan mudah aja dapat kerja atau berbisnis atau apalah karir yang Kamu pilih."
"Manusia gak pernah puas Lesh. Selalu ingin lebih."
"Ya. Saya paham. Tapi saran Saya tetap sama. Hibur diri Kamu. Apalagi ... kegiatan Kamu nambah satu sebagai pengurus asrama ini. Gak mudah loh itu."
Saheera tersenyum dan mengangguk, "Bener. Gak mudah memang. Aku pikir, selama ini Aku gak terlalu melihat dimana aja kemungkinan pertengkaran atau pergesekan antarkita disini."
"Ke depan mari Kita lihat. Pengalaman Saya SMP asrama dulu, pasti ada aja konfliknya. Ya semoga aja sih SP ini anak-anaknya kan udah dewasa, konflik itu bisa dihindari."
Saheera hanya mengangguk sebagai respon.
"Aduh asik banget ini ngobrol. Mau kemana Lo Lesh?" Iqbaal tiba-tiba muncul dari belakang, sepertinya dari kamarnya langsung.
"Mendaki gunung. Titip asrama ya."
"Kok Gue? Wakil Lo kan ada nih Saheera," tolak Iqbaal.
Nalesha berdecak pelan, kembali pada ponsel, "Beda lah Bal. Tetap butuh cowo meskipun kesetaraan gender atau apapun. Perempuan dan laki-laki itu saling melengkapi, ada bagiannya masing-masing," ujarnya.
Iqbaal tertawa pelan, "Lo ngomong gitu di depan Abidin kena semprot Lo pasti."
"Kenapa emang?"
"Abidin kan feminist. Gak tau Lo?"
"Oh. Tau kok. Emang kenapa?"
"Ya sensitif Pak bahasannya."
"Emang iya?" Nalesha bertanya pada Saheera. Gadis itu malah mengedikkan bahunya, "Kalau Aku sih biasa aja. Gak tau kalau Abidin yang pandangannya lain kan?"
"Iya sih. Tapi kenapa ya beda paham dan idealisme diantara Kita ini jadi sensitif?" Iqbaal melipat tangannya diatas dada, mulai berpikir sendirian.
"Sebenarnya gak masalah Bal. Setiap manusia itu unik, punya pendapat masing-masing. Yang bermasalah itu kalau dia memaksakan pendapatnya pada orang lain. Jerry contohnya, salah tuh yang begitu," ujar Nalesha. Masih ingat kejadian beberapa waktu lalu di ruang makan.
"Nah. Terus apa Lo ngomong gitu soal Jerry juga termasuk memaksakan pendapat Lo?" Iqbaal semakin kritis. Siswa SMA jurusan Matematika dicampur filosofi politik memang jauh lebih kritis dan penasaran sifatnya.
Hening, Nalesha dan Saheera tidak ada yang menjawab.
"Gak perlu dijawab. Gue cuma bingung dimana batasan relativism culture? Such no firm standard gak sih? Lo bilang A bener, yang lain bilang B bener, jadi sama-sama bener. Apa gak membuat orang itu sulit menentukan prinsip?"
"Memang jadi sulit. Makanya butuh landasan yang superkuat, yang gak bisa diutak-atik oleh manusia untuk jadi standar benar atau salah. Landasan moral dan sosial sekarang terdisrupsi, gak kuat dijadikan standar." Saheera berkomentar.
Nalesha mengangguk setuju, "Jadi menurut Kamu tetap agama yang jadi landasan ya?"
"Ya. Kalau menurut Aku begitu. Karena ... agama itu sebenarnya didesain untuk manusia secara komprehensif. Baik waktu, perkembangan zaman, dan lainnya."
"Tapi sekarang manusia itu malah menuntut agama untuk menyesuaikan diri dengan kondisi zaman Heer." Sudut pandang lain dari Iqbaal.
Saheera mengangguk paham, "From the root of our ... religion, in this case, Islam. Pedoman dalam agama itu tidak berubah sampai akhir zaman. Kita yang harus selalu menyesuaikan, bukan sebaliknya, Bang Iqbaal."
"I see." Iqbaal kembali mengangguk paham.
Nalesha tersenyum simpul, "Ini topik seru deh, yang menurut Saya perlu diluruskan kembali dan di take mana opini yang benar dan salah dalam forum."
"Kerjaannya Saheera tuh." Iqbaal setengah tertawa.
"Oke. I'll do it as our program. Thanks saran kalian."