Kelaparan di malam hari sepertinya memang bukan hal aneh bagi para remaja. Perut selalu lapar akibat kepala yang selalu bekerja dan berpikir. Setidaknya itu juga yang turut menyababkan Lim turun ke dapur jam sembilan malam ketika yang lain mungkin sudah masuk ke kamar masing-masing. Oh, namun sepertinya tidak. Masih ada pergerakan di dapur dari seseorang.
Lim memicingkan matanya akibat tidak menggunakan kacamatanya di malam hari. Banyak lampu sudah dimatikan kecuali dapur dan kamar mandi.
"Ndaru?"
"Eh? Ya Tuhan! Kaget Ko!"
Orang yang dipanggil Lim dengan suara bariton yang menggem di sepi hari terperanjat kaget. Hampir saja air panas di panci itu gagal masuk ke dalam mangkuk dan mengenai kaki si perebus. Aroma kuah mie instan menguar disekitar dapur. Andaru sedang memasak rupanya, membuat Lim semakin ingin makan.
"Sorry sorry. Lagian sendirian aja di dapur, masak masak sendiri ... makan makan sendiri." Lim mencatut sebaris lirik lagu jadul yang sering dinyanyikan Haikal ketika ditinggal dinas Adriana dan pindah ke asrama. Ya, begitulah melankolisnya Ayah mereka.
"Dangdut banget Ko. Mau ngapain sih ke dapur? Biasanya juga ngurung diri di kamar." Andaru membawa mangkuk sakral berisi makanan ke meja makan.
"Nyari makanan. Yang tadi sore udah kecerna semua."
"Makan apa?"
"Apa ya?" Lim membuka kulkas. Meringis, yang dilihatnya hanya buah dan sayur, musuh bebuyutannya. "Kenapa sih orang-orang suka banget makan buah sama sayur?" ujarnya kembali menutup kulkas. Ganti Lim mengambil garpu dan sendok, tau apa yang menjadi sasarannya setelah gagal menemukan makanan.
"IH! Bikin sendiri Ko! Cuma dikit!" Andaru berusaha menarik kembali mie yang sudah terlilit di garpu Lim.
"Gak usah pelit. Makan yang sedikit itu lebih enak," kilahnya, berhasil memasukkan beberapa utas mie ke dalam mulut. Tidak peduli Andaru yang sudah menatap membunuh. Namun akhirnya gadis itu mendorong mangkuknya ke tengah, berbagi bersama Lim. Kasihan juga kelaparan seperti itu.
"Kalau belum tidur ngapain Kamu?" Lim sekedar berbasa-basi. Tidak enak juga hening setelah memalak makanan.
"Berpikir." Andaru kembali menyuap mie nya.
Lim mengangguk-ngangguk, "Apa yang dipikirin? Sekolah? Kelulusan? Kerjaan?"
"My next project. Gue mau bikin perusahaan rintisan. Start-up dari sekarang, belakangan di sekolah ada semacam ... ekstrakurikuler business development, salah satu peminatannya itu tentang pendirian start-up, terutama di bidang teknologi dan digitalisasi," jelas Andaru.
"Oh. Kayaknya dari dulu ya, yang digaungkan itu itu mulu. Dari Aku SMP udah denger tematik pengembangan bisnis Indonesia yang menyasar anak muda itu ya teknologi, digitalisasi."
"Iya sih Ko. Tapi kan teknologi itu berkembang terus. Dinamis. Mungkin pemerintah mengarahkannya ke yang lebih berkembang dan advanced setiap tahunnya. Gak jalan di tempat." Andaru memberikan sudut pandang lain bagi Lim yang notabene seorang calon pegiat IT.
Lim kembali dari mengambil dua gelas air mineral, "Paham. Tapi emang ada semacam inkubasi yang luas untuk mendukung itu? Ide bisa aja bagus, tapi kalau budgetnya mandek, ya gak bisa Ru."
"Iya sih Ko. Masih terbatas. Kalaupun ada investornya, itu harus ... bener bener idemu mengubah dunia, mendisrupsi banyak hal. Which is ... so hard, this world is such already evolving that much!" Andaru ekspresif menjelaskan. Selalu seperti itu memang.
"Ya. Tapi pasti ada celah dimana Kita setidaknya ... memperbaiki didalam kotak sebelum membuat sesuatu diluar kotak."
"That's why, generating ideas is really ... takes our time. Belum lagi validasi ide. Kadang udah susah susah dibuat, pas di test, taunya idenya such a waste."
Lim tersenyum miring, menyendok kuah mie kali ini karena mienya sudah habis secepat kilat. "That's what I feel di tim robotik ketika kompetisi, berhadapan denga juri yang juga pengusaha dan investor. Berapa kali ya ideku dan tim itu ditolak mentah-mentah, dihina bahkan."
Andaru membulatkan matanya, "Oh really? You're such amazing tech-savvy and still got rejection?"
Lim mengangguk, "Real. It's happening Ru. We live in really really competitive, perfectionist world. It's exhausting nowadays, serasa skill yang sudah ditekuni sejak kecil itu belum kerasa dampaknya sama Aku," curhatnya. Lim, menekuni dunia IT sejak SD mulai dari programming sederhana sampai mengembangkan AI di masa SMA nya.
Andaru menepuk-nepuk lengan Lim, "Sabar Ko. It would be paid off soon. Keep up on the good work!" ujarnya menyemangati.
Lim tersenyum tipis, "Thanks Ru. You too."
Hening kemudian, hingga sesuatu terlintas di benak Andaru, "But anyway Ko. Memang Lo gak tertarik buat start-up juga? Kita bisa kolaborasi loh. Gue punya skill bisnis walaupun masih pemula, so do you! Why don't we try to validate our ideas together!" ujarnya heboh. Lim masih memproses sembari memperhatikan Andaru.
"Are you sure, Ru? Bisa sih, tapi it would be a long journey than if you work after you finish college, or ..."
Andaru menggeleng, "No, Koko Lim. We have to start earlier to win this competition."
"What competition did you mean?"
"Whatsoever competition, and it's about our own future, in our hand! We can't depend on something, a company, or whatever if we can make one!" jawabnya. Sampai sini Lim paham, kalau Andaru memang memiliki jiwa hustler, independen, menyukai tantangan. Dirinya bahkan tak terpikirkan untuk sampai membuat perusahaan dan produk sendiri.
"Ko! Please banget pertimbangin. Gue punya banyak list kompetisi start-up funding yang bisa Kita ikutin kalau Lo mau," lanjutnya.
"Andaru, this is too fast! Yet challenging!" Lim sudah tergerak motivasinya.
"Yes!"
"So what now?"
"Let's discuss. A lot!"