Mimpi yang Alvin alami, membuatnya terus memikirkan anak kecil yang baru ditemuinya beberapa hari yang lalu.
Meski penasaran dengan arti dari mimpinya, Alvin tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia hanya bisa berharap, semoga bisa kembali bertemu dengan anak kecil itu suatu hari nanti.
Mengingat anak kecil bernama Roger, membuat Alvin teringat akan Riana. Jika hubungan mereka dulu mendapat restu, mungkin saat ini keduanya sudah menikah dan telah dikaruniai seorang putra atau putri.
"Riana, kapan aku bisa bertemu denganmu?" gumamnya. Meratapi foto sang kekasih yang sengaja dia simpan di dalam laci.
Tidak ada wanita yang bisa menggantikan posisi Riana di hati Alvin. Bagaimanapun, itu adalah cinta pertamanya dan semoga menjadi yang terakhir.
Empat tahun adalah waktu yang lama. Alvin bahkan sempat berpikir, jika sang kekasih mungkin sudah menikah dengan laki-laki lain.
Saat itu berita antara dirinya dan putri walikota yang akan menikah, menyebar di seluruh media. Mungkin saja, Riana sudah menyaksikan berita tersebut.
Mengambil kesimpulan bahwa kekasih hatinya sudah menikahi gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya.
"Bagaimana kabarmu? Tidakkah merindukanku?" gumamnya lagi.
Tok-tok-tok.
"Masuk," ucapnya mempersilahkan.
"Kak Alvin," panggil Alan memasuki ruangan kakaknya.
"Ada apa?" tanya Alvin, segera menyimpan foto Riana kembali ke dalam laci.
Alvin belum sepenuhnya percaya pada adiknya. Dia tau kalau Alan menyukai Riana. Jika Alan tau kalau kakaknya masih menyimpan foto Riana, hal itu bisa saja bocor sampai ke telinga orang tua mereka.
Alvin tidak peduli jika dia yang mendapat amarah ayahnya, tapi tidak dengan Riana.
Cukup sekali saja. Peristiwa kebakaran rumah ayah Riana, sudah membuat Alvin merasa sangat bersalah.
Dia gagal berkali-kali. Gagal memperjuangkan cintanya, gagal melindungi orang yang dia sayang dan sekarang, Alvin gagal untuk mencari keberadaan Riana.
Bisa saja Alvin menyewa detektif untuk mencari tau bagaimana kabar sang kekasih. Namun, mata-mata ayahnya ada di mana-mana.
Alvin takut, jika apa yang dia perintahkan pada si detektif akan tercium oleh Tuan Rames.
Hanya keajaiban yang bisa dia harapkan saat ini. Semoga bisa bertemu Riana, melihatnya saja sudah membuatnya tenang.
"Aku sudah mengecek setiap berkas dari beberapa perusahaan. Salah satu dari perwakilan mereka datang ke Ravs Corp, setelah aku membalas email mereka," jelas Alan.
"Lakukan saja. Kamu tangani sesuai dengan yang aku jelaskan kemarin," balas Alvin, beranjak dari duduknya.
"Kakak mau ke mana?" tanya Alan.
"Aku ada urusan sebentar, tolong kamu tangani semua pekerjaan hari ini," ucap Alvin.
Alan hanya bisa memandang kepergian kakaknya, tanpa bisa memprotes.
Dia tau kalau Alvin menyimpan foto Riana di dalam laci ruangan, juga di laci kamarnya.
.
Alvin membuang penat dengan mengunjungi taman bermain. Duduk di ayunan, di mana hanya ada dia seorang.
"Andai, dulu aku ngga minta kamu buat kasih tau orang tua kita, mungkin sampai saat ini, kita masih bisa ketemu," lirihnya.
"Aku harus gimana, Ri?" Bayang kenangan masa lalu kembali hadir dalam ingatan.
Saat-saat kuliah, di mana keduanya baru menjalin kasih. Semua terasa indah, meski Alvin dan Riana harus bertemu secara sembunyi-sembunyi.
"Om Mesi." Suara dan julukan itu, terdengar tidak asing.
Alvin melihat ke arah sumber suara. Benar, itu adalah suara Roger. Anak kecil yang memberinya julukan yang sama dengan nama kelincinya.
Alvin mengucek kedua mata, mungkin saja dia salah lihat.
"Tidak, itu benar Roger," batin Alvin, meyakinkan diri.
Anak kecil itu menghampiri ayunan Alvin. Duduk di sebelahnya. Mulai menggerakkan ayunan ke depan dan ke belakang.
"Om Mesi lagi ngapain di sini?" tanya Roger.
"Roger, kamu di sini?" Tanpa menjawab pertanyaan Roger, Alvin justru balik bertanya.
"Iya, Roger sering main ke sini kalau lagi bosan di rumah. Om Mesi ngapain?" ulangnya.
"Om Mesi juga lagi bosen di kantor. Dulu, Om Mesi sering main ke sini waktu kecil." Cerita Alvin.
Roger tampak senang saat mendengar Alvin menceritakan kisah masa kecilnya.
"Seneng ya jadi Om Mesi, Roger pengin deh," ucapnya, menundukkan kepala.
"Roger jangan mau jadi Om Mesi. Dari dulu Om jarang main sama teman-teman, soalnya Om harus belajar ini itu. Pusing Om Mesi mikirnya," balas Alvin.
"Om Mesi punya orang tua?" tanya Riger tiba-tiba. Namun, Alvin tidak menganggapnya aneh.
"Punya, masih lengkap malah, ada dua. Kenapa?" tanya Alvin.
"Iya, seneng jadi Om Mesi. Punya orang tua, kaya lagi, bisa beli apa aja yang Om mau." Curhat Roger.
"Memangnya orang tua Roger ke mana?" tanya Alvin masih belum sadar.
"Roger cuma punya Mami, ngga punya Papi kayak temen-temen," terangnya.
"Roger pengin banget punya Papi, tapi Mami ngga mau bilang siapa Papi Roger," jelasnya lagi.
Alvin sempat bingung dengan cerita Roger. Saat mendengarkannya, lagi-lagi Alvin kembali teringat sang kekasih.
"Memangnya Papi Roger ke mana?" tanya Alvin.
Roger hanya diam saja. Setelah mengatakannya, Roger takut kalau Mami-nya marah karena dia menceritakan hal seperti itu pada orang asing.
"Roger, ada apa?" tanya Alvin, melihat anak kecil di sampingnya menutup mulut dengan kedua tangan.
"Maaf, Om Mesi. Roger salah ngomong, Roger pulang dulu ya." Tiba-tiba saja Roger langsung berdiri dan berlari entah ke mana.
"Eh, Roger tunggu," seru Alvin memanggil anak itu.
Roger tidak mengindahkan panggilan Alvin, dia terus berlari entah ke mana.
Alvin dibuat bingung dengan cerita Roger yang hanya setengah, sikapnya juga terlihat aneh.
Baru saja berniat menyusul. Namun, Alvin sudah kehilangan jejak anak kecil itu.
"Ke mana dia? Cepet banget perginya, " lirih Alvin.
Alvin bisa melihat kesedihan Roger. Dia tau bagaimana rasanya tidak mendapatkan kasih sayang seorang ayah sejak kecil.
Alvin tau itu. Meskipun ada Tuan Rames sebagai ayahnya, tapi Alvin tidak mendapat kasih sayangnya saat masih kecil dulu.
"Kayaknya ke arah sini dia larinya, tapi kok ngga ada ya" gumam Alvin.
Saat Alvin melangkahkan kaki hendak kembali ke tempat awal. Sayup terdengar suara anak kecil dari balik semak.
Alvin berjalan perlahan, takut Roger lari saat melihatnya nanti.
"Roger," panggilnya, membuka semak tersebut.
Bukan, dia bukan Roger. Memang ada anak kecil di sana, tapi, itu bukan anak kecil yang dia cari.
Alvin ingin mencarinya, tapi getar ponsel di dalam saku menghentikan langkah.
Alan. Nama adiknya tertulis di sana.
"Halo, ada apa?" tanya Alvin menjawab panggilan telfon dari sang adik.
"Kak Alvin, cepat ke sini, Kak." Tanpa bicara lagi Alan langsung menutup telfon.
"Apa yang terjadi? Sebaiknya kutelfon balik,"
"Alan, ada apa?" tanya Alvin, saat beberapa panggilan telfonnya baru diangkat oleh si penerima panggilan.
"Kak Alvin cepat kembali, Kak. Papa sama Mama ada di kantor," jelas Alan, kembali menutup telfon.
Alvin tidak ingin menuruti perkataan Alan. Orang tuanya sudah terlanjur tau kalau dia tidak ada di kantor. Maka, biarkan saja seperti ini.
bersambung...