Awalnya hanya berniat mengantar saja. Namun, munculnya Roger menahan kepergian Alvin.
Ketiganya kini duduk di ruang tengah. Riana mengajak Alvin karena permintaan putra kecilnya.
"Om Mesi, kok tau rumah Roger?" tanyanya, memecah keheningan yang terjadi antara Alvin dan Riana.
Keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Tidak tau harus mulai darimana jika membahas mengenai Roger.
"Iya, ketemu mama kamu di depan. Kebetulan kami teman," jawab Alvin, asal.
"Sayang, Mama Rena mana?" tanya Riana.
Dia harus menitipkan Roger pada sang tante. Ada hal yang harus Alvin ketahui tentang Roger, mereka harus membahasnya di luar anak itu. Riana takut, Roger akan syok jika tau ayahnya adalah orang yang dia temui beberapa kali.
"Kenapa? Cari tante?" Sahutnya, muncul dari balik pintu. Rupanya Tante Rena sedang keluar tadi.
"I-iya, tante. Bisa minta tolong temenin Roger tidur ngga, Tan? Bentar aja, ada hal yang mau aku omongin sama Alvin," pintanya, mengukir senyum lebar.
"Oke"
"Roger sayang, kita tidur yuk. Nanti Mama Rena bacain dongeng lagi," bujuknya.
Riana langsung mengajak Alvin keluar. Dia akan memberitahu kebenarannya, lalu bersama-sama mencari ide agar kenyataan jika Alvin adalah ayahnya, tidak terlalu mengejutkan bagi Roger.
"Ada apa? Kenapa kita harus bicara di sini?" Alvin bingung saat Riana menariknya keluar dari rumah.
"Kamu tau anak kecil yang sama Tante Rena itu siapa?" Pancing Riana.
"Roger, kan? O iya, aku juga penasaran. Sebenarnya Roger itu kamu angkat dari mana?" Alvin langsung menyampaikan rasa penasarannya begitu saja.
Tanpa memilah kata, agar tak terdengar menyakitkan.
"Angkat? Maksud kamu?" Niat hati ingin memberitahu kebenaran, Riana justru dibuat bingung oleh tebakan tak masuk akal Alvin.
Sebenarnya masuk akal saja, karena Riana memang tidak mengatakan jika dia sudah menikah. Itu artinya selama 4 tahun ini, dia hidup sendiri tanpa adanya pengganti Alvin.
"Roger ... anak angkat kamu, kan?" tanya Alvin, penuh penegasan.
Apa? Anak angkat? Bagaimana bisa Alvin mengatakan hal seperti itu? Roger. Dia anak kandung Alvin.
"Apa aku salah ngomong?" Alvin merasa bersalah dengan apa yang dikatakannya tadi. Karena ekspresi Riana berubah dalam sekejap.
"Roger. Sebenarnya dia ... dia anak ... "
"Riana." Di saat kebenaran sudah di ujung lidah, mengapa harus ada yang mengganggu?
"Diego?" Riana dikejutkan dengan kedatangan laki-laki itu di depan rumah. Ini sudah malam, kenapa Diego bertamu?
"Maaf, kalau kedatanganku mengganggu kalian berdua," ucap Diego, melihat ada sesuatu antara Riana dan laki-laki yang tengah bersamanya.
"Oh, tidak apa-apa. Kami hanya berbincang sebentar. Kamu ... ada apa malam-malam begini?" tanya Riana.
"Maaf, kalau kedatanganku, mungkin mengganggu. Ini terlalu mendadak, karena besok pagi, aku harus terbang ke LA karena ada urusan penting," terang Diego.
"Jadi?"
"Jadi aku datang malam-malam, cuma mau pamitan sama Roger. Karena mungkin aku akan tinggal cukup lama di sana." Tambahnya.
"Roger, dia ... sebenarnya sudah tidur, tapi aku coba liat bentar." Baru saja masuk berniat untuk melihat sang buah hati, ternyata Roger sudah berdiri di depan pintu kamar.
"Om Diego," ucapnya, berlari ke pelukan laki-laki yang disebutnya tadi.
Alvin melihatnya. Melihat adegan yang cukup membuat hati tersentak. Pelukan yang Roger berikan pada laki-laki bernama Diego memperlihatkan hubungan yang sangat dekat.
Di mana seorang anak yang menunggu kepulangan ayahnya yang sedang bekerja. Dekat sekali.
"Apa mungkin, laki-laki itu adalah ayah kandungnya?" batin Alvin. Berbagai kemungkinan muncul begitu saja dalam benak.
"Om Diego, mau ke mana? Kenapa pergi jauh?" Terdengar ada kesedihan dalam kalimat Roger.
Laki-laki yang begitu dekat dengan Roger, menemaninya selama 4 tahun ini, akan pergi jauh dalam waktu yang tidak dapat dipastikan.
"Om Diego minta maaf, tapi Om janji akan sering telfon sama Mami. Nanti, kita bisa ngobrol lewat telfon, video call juga bisa," ucap Diego, lembut.
Deg.
Sedekat itukah hubungan mereka? Hingga harus menelfon sang mami saat merindukan si anak. Orang lain pasti akan menyimpulkan, jika mereka bertiga adalah satu keluarga yang terpisah jarak, hanya dalam sekali lihat.
Alvin merasa dirinya telah hilang dari dalam hati Riana. Kehadiran Roger, juga Diego, tentu mengobati luka yang Alvin berikan kepadanya.
"Maaf, aku pulang dulu. Kalian mengobrol saja." Alvin tidak bisa berlama-lama di sana. Menyaksikan adegan Roger dan Diego sudah membuat sakit hatinya. Bagaimana jika Riana yang berada di posisi Roger? Akan seperti apa kondisi hati Alvin?
Saat kaki mulai terasa berat melangkah, tidak sanggup untuk meninggalkan sang kekasih. Riana justru mencegah kepergiannya dengan mencekal lengan.
"Apa ini? Kenapa Riana harus mencegahku? Setega itukah dia menyuruhku melihat adegan mengharukan mereka?" batin Alvin.
"Tunggu sebentar, biarkan mereka saling melepas kerinduan. Masih ada hal penting yang harus aku katakan," ucap Riana, lirih.
Setelah adegan perpisahan antara Roger dan Diego selesai. Laki-laki itu pun pamit, untuk bersiap sebelum benar-benar pergi esok pagi.
"Dah, hati-hati, Om Diego. Roger sayang, Om Diego," ungkapnya sambil melambaikan tangan.
Riana akhirnya memanggil Roger dan memintanya duduk bersama di ruang tengah bersama Alvin.
"Alvin, Roger. Ada hal penting yang mau Mami sampaikan," ucap Riana, membuat keduanya terlihat bingung.
"Mami, ada apa? Roger udah ngantuk," keluhnya.
Pukul 10.30 malam, jauh melebihi waktu tidur Roger. Pantas saja jika anak itu mengeluhkannya.
Riana terlihat bingung, kalau tidak malam ini, tidak tau lagi kapan waktu yang pas. Lagi pula, dengan hadirnya Diego tadi, membuat Riana yakin untuk memberitahu hubungan ayah dan anak itu.
"Biarkan Roger tidur, masih ada banyak waktu. Kamu bisa memberitahu hal penting itu di lain waktu," ucap Alvin.
"Tapi ... "
"Bener, Mi. Roger setuju sama Om Mesi. Ini kan udah malem, Om Mesi pasti juga udah ngantuk, sama kaya Roger." Sahutnya.
"Jangan panggil Om Mesi lagi. Bukankah itu nama kelinci kesayanganmu?" Riana meninggikan suara. Hal yang tidak pernah dia lakukan sejak Roger kecil.
Entah kenapa hati Riana terasa sakit, saat mendengar Roger memanggil ayah kandungnya dengan panggilan yang sama dengan kelinci peliharaan.
"Ri, kenapa kamu membentaknya? Dia masih kecil, tidak seharusnya kamu bersikap seperti itu hanya karena sebuah nama panggilan," bisik Alvin.
"Mami," lirih Roger. Dia tau kalau Maminya sedang marah. Roger tidak akan berani melihat dan melawan ucapannya.
"Lihat? Kamu membuat Roger takut," ucap Alvin, melihat raut kesedihan dari wajah anak kecil yang sudah dia sayangi sejak kali pertama bertemu.
"Sayang, Mami minta maaf. Mami ngga bermaksud membentak Roger. Mami hanya ngga suka kalau Roger membuat panggilan seperti itu." Riana memeluk buah hatinya.
"Ngga apa-apa, Mi. Katakan, apa yang mau Mami sampaikan tadi," balas Roger, bijak.
"Sebenarnya, Mami mau jujur sama kalian berdua. Kalau, Om Mesi itu seharusnya kamu panggil Papi."
Deg.
bersambung...