Chereads / Roger (Sang Pahlawan Kecil) / Chapter 13 - Episode 13. Roger, Si Buah Hati

Chapter 13 - Episode 13. Roger, Si Buah Hati

Deg.

Kenyataan apa ini? Alvin jelas dibuat terkejut karenanya.

"Ap-apa maksud kamu? Roger ... dia ... "

"Iya, dia anak kamu," tegas Riana.

"Bagaimana itu mungkin? Jika Roger putraku, jadi, waktu itu kamu sudah hamil?" tanya Alvin.

Riana mengangguk yakin. Perasaan lega menyelimuti hatinya, saat kebenaran itu telah terungkap.

Jika orang tua Alvin tetap tidak menyetujui hubungan mereka berdua, setidaknya Alvin tau, bahwa Riana telah melahirkan seorang putra untuk keluarga Ravendra.

Alvin menghampiri Riana, ditatapnya wanita yang telah dia cintai selama beberapa tahun ini.

"Aku minta maaf, kamu pasti menderita selama ini. Seharusnya aku ngga menyerah sama hubungan kita. Seharusnya aku ada di sampingmu, saat masa-masa sulit itu. Maaf, aku bersalah pada kalian." Alvin memegang kedua lengan sang kekasih. Tatapan penuh rasa penyesalan. Kini pandangannya mulai kabur karena bulir air yang menghalangi.

"Sudah, itu semua sudah berlalu. Aku ngga nyalahin kamu kok. Kita berdua sama-sama egois waktu itu," ucap Riana.

Saat Riana dan Alvin saling mengungkapkan isi hati. Roger hanya diam memandangi. Bingung dengan apa yang terjadi, meski dia tau, bahwa sosok papi yang dia cari selama ini adalah Alvin.

Teman baru Roger yang baru ditemuinya beberapa kali. Pantas saja Roger langsung akrab saat kali pertama bertemu.

Ternyata ada ikatan kuat di antara keduanya.

"Mami," ucapnya, saat dua orang dewasa di hadapannya saling memeluk erat satu sama lain.

Melihat ke arah Om Mesi dan Maminya secara bergantian, lalu menunjukkan senyum manis diiringi panggilan Papi pada Alvin.

"Apa? Roger panggil Om Mesi apa tadi? Coba ulangi sekali lagi," pinta Alvin. Tidak percaya jika anak kecil itu memanggilnya Papi. Itu artinya, Roger menerima kehadiran Alvin tanpa menanyakan kenapa baru muncul sekarang.

"Papi," ulang Roger.

"Nanti kalau panggil Om Mesi lagi, dimarahin Mami." Curhatnya, dengan wajah cemberut. Membuat Riana semakin merasa bersalah.

"Mami minta maaf ya, sayang. Mami ngga bermaksud marahin Roger kok. Roger kan anak yang baik, penurut, manis lagi," puji Riana.

Roger memeluk sang mami, tanda jika dia sudah memaafkannya.

"Ehm, ehm." Deheman yang Tante Rena buat, sontak mengalihkan perhatian ketiganya.

Tante Rena menunjuk jam tangan yang masih melingkar di tangan kirinya. Tanda jika hari sudah malam, sudah waktunya bagi Roger untuk pergi tidur.

"Maaf, Tante. Sebentar lagi ya," ucap Alvin memohon.

"Oke." Tante Rena berlalu memasuki kamarnya sendiri, setelah menyetujui permohonan Alvin.

"Sekarang Roger tidur ya, sudah malam. Papi pulang dulu," ucap Alvin, meminta izin pada putra kecilnya.

"Kenapa Papi pulang? Tidur sama Roger aja," pintanya.

Alvin bingung bagaimana harus menjelaskan hal ini pada putranya. Hal itulah yang Riana khawatirkan saat akan memberitahu mereka mengenai kebenaran ini.

Alvin dan Riana saling pandang. Menyuruh masing-masing dari mereka untuk bertanggung jawab memberikan penjelasan pada Roger.

"Bilang aja, kalau Alvin lagi sibuk. Harus pulang ke rumahnya dulu. Kalau urusannya sudah selesai, dia pasti tidur di sini." Sahut Tante Rena. Memberikan saran untuk dua sejoli yang baru bersama lagi.

Setelah mengatakan hal tersebut, Tante Rena kembali masuk kamar.

"Benar apa yang Tante Rena katakan," ucap Riana.

"Roger. Jagoan Papi. Untuk saat ini Papi ngga bisa tidur di sini, Papi masih ada banyak pekerjaan yang harus cepat diselesaikan. Kalau pekerjaannya sudah selesai, Papi pasti pulang ke rumah Roger," terangnya, memberi sebuah janji yang belum tentu bisa dia buktikan.

"Papi harus janji ya," ucap Roger. Memberikan jari kelingkingnya sebagai pengikat janji.

Untuk sesaat Alvin melihat ke arah Riana. Tidak tau apa dia harus membuat janji itu, atau bagaimana.

Riana mengangguk, agar Alvin mau menyetujui janji putranya itu. Meski hanya sedikit, tapi Riana yakin, dengan hadirnya Roger, keluarga Alvin akan menerima mereka berdua.

Sebuah keyakinan kecil akan terasa menyakitkan jika tidak sesuai harapan. Namun, akan membuat kebahagiaan yang berlimpah saat seseorang berusaha untuk mewujudkannya, meskipun itu sulit.

"Oke, Papi janji." Alvin menautkan jari kelingkingnya di jari Roger. "Tapi, Roger juga harus janji. Kalau Roger sama Mami akan selalu menunggu Papi pulang," pintanya.

"Roger janji," ucapnya tersenyum lebar.

Alvin kembali ke apartemennya. Tinggal seorang diri, membuatnya ingin segera kembali bersama Riana dan Roger.

"Aku salah selama ini. Andai dari dulu aku mencari Riana dengan serius, menyuruh detektif profesional, mungkin saat ini kami bertiga sudah hidup bersama dengan bahagia." Alvin meratapi kebodohannya setibanya di Apartemen.

Baru saja beberapa menit berpisah, Alvin sudah sangat merindukan keluarga kecilnya.

Diliriknya jam dinding yang berada di kamar, pukul 11 malam. Sudah cukup larut baginya untuk kembali lagi ke rumah Riana.

"Aku harus segera membawa mereka ke sini. Mau bagaimanapun caranya, akan kulakukan agar Papa sama Mama bisa menerima Riana dan Roger sebagai keluargaku," gumamnya, meyakinkan diri.

Seperti biasa, Alvin selalu membersihkan diri sebelum tidur. Baru saja memejamkan mata, dering ponsel mengganggu waktu istirahatnya.

Satu panggilan, Alvin abaikan. Siapa juga malam-malam begini telfon? Salahkan diri sendiri kalau tidak diangkat oleh si pemilik nomor.

Dua panggilan, masih tetap Alvin abaikan, hingga tiga kali ponsel di atas nakas mengeluarkan tanda. Alvin mengambilnya karena merasa risih.

Alan memanggil, begitulah yang tertulis.

"Alan? Ada apa malam-malam telfon?" gumamnya.

"Halo," ucap Alvin mengangkat telfon sang adik.

"Halo, Kak. Kenapa baru diangkat sekarang?" protes Alan.

"Aku baru mau tidur, ada apa?" tanya Alvin, malas.

"Papa sama Mama udah tau, Kak," terang Alan.

"Tau soal apa?"

"Tau kalau Kak Alvin masih mencari keberadaan Riana," jelas Alan.

"Bukannya mereka udah tau dari dulu? Kenapa baru ribut sekarang?" balas Alvin.

"Iya, Kak. Itu benar, tapi selain itu, Papa sama Mama juga udah tau kalau Kak Alvin udah ketemu Riana."

"Iya, terus?" Alvin terdengar malas menanggapi peringatan adiknya. Dia memang sudah tau kalau Tuan Rames menyuruh orang untuk mengikuti putra sulungnya secara diam-diam.

Sudah pasti mereka tau kalau Alvin pergi menemui Riana.

"Kak, kenapa kakak diem aja. Kalau Papa sudah tau, Papa pasti ngga akan tinggal diam," tukas Alan kembali mengingatkan sang kakak.

"Iya, kakak tau, cepat atau lambat Papa pasti melakukan sesuatu. Kakak juga sudah memikirkannya," balas Alvin.

"Baik, kalau kaka memang sudah memikirkannya. Aku tutup dulu, selamat beristirahat," pamit Alan.

Alvin kembali membaringkan dirinya di tempat tidur. Apa yang Alan katakan memang benar, Alvin harus bertindak lebih cepat. Jika tidak, bisa saja kejadian 4 tahun yang lalu terulang kembali.

Alvin tidak mau hal itu sampai terjadi lagi.

"Besok pagi aku harus menemui Papa sama Mama, sebelum apa yang Alan katakan tadi menjadi kenyataan," lirihnya.

bersambung...