"Jadi itu yang kalian pikirkan? Baik, kalian memilih untuk menikah. Kapan pesta pernikahan akan diadakan?"
"Mungkin lusa. Lebih cepat lebih baik," balas Alvin.
"Jika itu sudah menjadi pilihan kalian. Maka, jangan pernah menyesalinya." Sahut tuan Rames sebelum meninggalkan Alvin dan Riana di ruang kerja.
Sepeninggal tuan Rames dari ruang kerja, terjadi kontak saling lempar pertanyaan dari raut wajah Alvin dan Riana.
Mereka tidak mengerti akan ucapan tuan Rames tentang penyesalan yang beliau maksud. Apa mungkin beliau telah merencanakan suatu hal?
Saat rasa bimbang memenuhi pikiran, tiba-tiba terdengar tawa renyah Roger dari arah luar. Mereka pun segera menuju tempat terakhir kali Roger berada.
Itu Roger, malaikat kecil mereka. Dia tengah bermain bersama Alan dan nyonya Rini. Kebahagiaan tampak jelas menyelimuti ketiganya, tapi tidak pada satu laki-laki yang duduk di suatu sudut sedang memperhatikan ketiganya.
Alvin tidak bisa membaca apa yang tuan Rames pikirkan saat ini. Mengapa di saat istri dan anaknya gembira menemani sang cucu bermain, beliau justru menyiratkan mimik muka seperti itu?
Khawatir, takut, mungkin itu yang tuan Rames rasakan, tapi kenapa? Apa yang beliau khawatirkan?
Alvin berjalan menghampiri sang malaikat kecil, diikuti oleh Riana.
"Tunggu," cegah tuan Rames. Suaranya menggema di dalam ruangan yang tertutup. Membuat Roger, Alan dan nyonya Rini teralihkan untuk sementara.
Beliau berjalan menghampiri putra sulungnya. Menyampaikan maksud ucapannya menghentikan langkah dua sejoli itu.
"Apa? Kenapa harus seperti itu? Biarkan Roger melihat pernikahan kami, Pa." Alvin memohon akan persetujuan sang ayah agar Roger diperbolehkan hadir.
"Tidak, hari ini adalah hari terakhir kalian melihat anak itu. Sedangkan kalian menikah lusa, maka jangan harap kehadiran anak itu, karena Papa tidak mengizinkannya." Tuan Rames tetap menolak permohonan putra sulungnya.
"Jika kalian ingin berpamitan, maka katakan. Jangan berlama-lama lagi." Tambahnya.
Riana mendekati malaikat kecilnya. Seorang putra yang telah bersamanya selama 4 tahun itu, kini harus terpisah jarak.
"Mami." Suara panggilan itu, mungkin akan lama tidak Riana dengar.
Anak kecil yang tampan dengan rambutnya yang bergelombang, berlari ke pelukan sang mami. Senyum sempurna mengembang di bibirnya, masih terus mengucap panggilan tersebut.
Pelukan erat kala perpisahan akan terjadi. Pada saat seperti ini, Riana merasa sangat menyesal karena harus meninggalkan Roger.
Airmata yang menggantung di pelupuk mata, kini mulai terjatuh membasahi pipi, bahkan kaos yang Roger pakai juga ikut basah.
Menyadari sang mami menangis, Roger melepas pelukannya. Mengusap airmata yang membuat jelek penampilan maminya.
"Mami jangan nangis, nanti Roger akan sering telfon Mami kok," ucapnya membujuk, supaya Riana tidak bersedih lagi.
Riana mengangguk, mengulas senyum tipis pada bibirnya. "Roger janji ya," balasnya meminta janji kelingking pada malaikat kecil.
Roger membalas janji kelingking tersebut. "Roger janji, setiap hari akan minta Om Alan buat telfon Mami," tegasnya, yakin.
Acara perpisahan antara Alvin dan Riana dengan malaikat kecil mereka telah usai. Tuan Rames meminta keduanya untuk segera meninggalkan rumah itu, sebelum rasa penyesalan datang.
Sungguh egois memang. Namun, jika dilihat lebih seksama lagi, mereka hanya sedang menitipkan Roger pada neneknya untuk sementara waktu. Seperti yang dilakukan para ibu muda saat pergi bekerja.
"Sudahlah, Roger pasti baik-baik saja di sana," ucap Alvin berusaha menenangkan sang calon istri.
Mobil Alvin perlahan mulai melaju dan meninggalkan halaman rumah keluarga Ravendra. Tampak jelas dari jendela, jika Alan menemani Roger mengucapkan selamat tinggal pada kedua orang tuanya.
.
Saat ini, Alvin mengajak Riana ke sebuah tempat, di mana mereka akan memilih pakaian untuk pernikahan keduanya.
Tidak banyak waktu yang diperlukan. Riana menjatuhkan pilihannya pada sebuah gaun berwarna putih tulang dengan ekor yang cukup panjang. Tidak memiliki lengan. Namun, banyak renda yang menghiasi area pundak hingga ke dada.
Sangat cantik, apalagi jika saat dipakai lalu ditambah aksesoris mahkota kecil yang bertengger di atas kepala sang mempelai wanita, dengan rambut yang dibentuk sedemikian rupa. Pasti akan menampilkan seorang wanita yang cantik, sederhana, tapi tetap elegan.
Riana hanya mencoba gaun itu sebentar, tanpa memperlihatkannya pada calon suaminya. Sontak membuat Alvin kesal, karena tidak bisa melihat panampilan sang kekasih saat percobaan gaun pengantin.
"Kamu bisa melihatnya besok, saat semua perlengkapan bisa kukenakan dengan sempurna. Kamu akan melihat keindahan yang terindah di dunia," jelas Riana, membujuk Alvin. Namun, justru terkesan membanggakan diri sendiri.
"Baiklah, aku akan mengalah untuk saat ini, tapi ... ." Alvin menggantung kalimatnya, sengaja membuat Riana penasaran.
"Tapi apa?" tanya Riana.
"Tapi, aku ngga akan mengalah untuk malam pertama kita," bisik Alvin, memberikan kedipan mata untuk menggoda Riana.
Malam pertama? Apa yang dimaksud dengan dua kata tersebut, saat dua sejoli sudah memiliki seorang anak? Apa tetap dikatakan malam pertama ... atau ... malam terakhir?
Riana menahan senyum, pipinya memerah layaknya seorang gadis yang tengah dimabuk asmara.
"Udah deh, kita pulang aja. Udah selesai kan milihnya?" ajak Riana, berlalu keluar meninggalkan butik pengantin.
Alvin menjatuhkan pilihan pada pakaian yang mereka coba hari ini. Lalu meminta mereka untuk mengantarkan pakaian tersebut besok malam.
Untuk masalah tempat, sebenarnya Alvin belum menemukannya. Apakah indoor atau outdoor. Mungkin akan mereka pikirkan lagi saat diperjalanan nanti.
"Di rumah?" tanya Alvin terkejut dengan pilihan Riana.
"Rumah siapa?" Tambahnya.
"Rumah kamu, masa rumahku. Rumahku kan kecil," terang Riana.
"Riana, aku itu tinggal di sebuah apartement di lantai 23. Tidak mungkin mengadakan acara pernikahan di sana," jelas Alvin.
"Terus di mana?" tanya Riana, saat 2 tempat tinggal keduanya tidak menjadi kandidat yang cocok.
"Nanti aku minta asistenku di kantor untuk mengatur tempatnya." Sahut Alvin, menemukan ide.
"Oke, gimana baiknya aja, aku ikut," balas Riana, menyetujui ide Alvin untuk menyerahkannya pada sang asisten.
Tidak terasa hari sudah mulai sore saat keduanya sampai di rumah Riana. Tante Rena tentu menanyakan keberadaan Roger karena Alvin dan Riana yang membawa Roger pergi.
Mereka belum menjelaskannya pada sang tante, membuatnya syok karena harus berpisah dengan cucu yang sudah dianggapnya sebagai anak.
Alvin dan Riana meminta maaf. Mereka tidak bermaksud untuk menutupi hal tersebut darinya.
Keadaan. Keadaan yang memaksa mereka untuk diam karena belum menemukan pilihan yang tepat saat itu.
"Baiklah, tante hargai keputusan kalian berdua untuk menikah. Semoga masa depan kalian bertiga tidak ada suatu masalah apa pun nantinya," ujar Tante Rena.
"Iya, makasih karena tante selalu mendukung setiap pilihan yang aku ambil. Setiap hari, kita bisa video call Roger lewat Alan, adik Alvin. Tante jangan khawatir ya," balas Riana, menenangkan sang tante.
bersambung...