"Hero kecil," sapa laki-laki yang Roger panggil paman.
"Om Diego, sibuk terus ya?" tanya si kecil Roger.
"Iya, Hero kecil kangen ya? Maaf, Om Diego lagi banyak kerjaan di kantor," balasnya.
"Iya, Roger kan ngga ada teman main, Om. Kalau main sama Mesi, Roger cape lari-lari terus." Bibir mungilnya membentuk kerucut, cemberut saat membayangkan harus lari mengejar Mesi.
"Gitu ya? Kalau gitu, mulai besok Om Diego akan main sama Hero lagi deh," balasnya.
"Asyiikk," seru Roger, girang.
Ananda Diego, laki-laki yang telah berjasa menyelamatkan hidup mereka bertiga. Malam itu, tanpa sengaja dia melihat ada rumah yang terbakar. Api yang menyala merambah dari arah depan menuju ke seluruh bagian rumah. Bayangan seseorang di dalam rumah, membuatnya bertekad untuk memasukinya.
Tanpa memandang siapa pun, Diego menyelamatkan Riana dan Tante Rena. Saat itu, Riana tidak berdaya karena asap tebal mulai merasuki sebagian nafasnya. Sedangkan Tante Rena, tidak bisa membawa keponakannya untuk keluar melewati kobaran api yang semakin besar.
Malam belum begitu larut, tapi tidak ada yang mendengar jeritan minta tolong mereka.
Brak.
Pintu rumah didobrak dengan keras. Seorang laki-laki muda terlihat di pandangan Riana sebelum dia benar-benar kehilangan kesadaran.
"Ayah," jeritnya, bangun dari pingsan.
"Ada apa? Kamu mimpi buruk?" tanya Tante Rena.
"Ayah, Tante. Riana mimpi kalau ayah tidak akan merestui hubungan kami," jelasnya.
"Sudah ya, itu hanya mimpi. Jangan terlalu dipikirkan," bujuk Tante Rena.
Beberapa menit setelahnya, Riana muntah-muntah. Dokter pun kembali memeriksa kondisinya.
Riana dibawa ke rumah sakit karena terlalu banyak menghirup asap, untung saja tidak berakibat fatal untuk dia dan bayinya.
"Apa? Saya hamil, Dok?" tanya Riana, syok.
"Iya, kandungan Ibu Riana sudah memasuki usia enam minggu," jelas dokter.
Riana syok bukan main. Dia tidak tau harus bagaimana. Ayahnya telah tiada, rumah peninggalan kedua orang tuanya telah hangus terbakar. Sekarang, kenyataan ini membuatnya semakin syok. Bukan karena dia tidak menyukai bayi yang dikandungnya. Melainkan kakek dari ayah si jabang bayi, sudah pasti tidak akan menerima mereka, karena terhalang restu.
"Tante," lirihnya, memeluk erat lengan Tante Rena.
"Maaf, kenapa Ibu Riana terlihat tidak senang? Mulai sekarang Ibu Riana harus bisa mengontrol emosi dan suasana hati ya," saran dokter.
"Baik, Dok. Terima kasih, kalau begitu kami permisi dulu," ucap Tante Rena.
Tante Rena mengajak keponakannya untuk mengunjungi pasien di kamar 201. Dia adalah pasien yang dibawa ke rumah sakit bersama mereka.
"Ini ruangan siapa, Tan?" tanya Riana.
"Masuk saja dulu," saran Tante Rena.
Riana mengikuti saran dari tantenya, masuk ke kamar yang ia tidak tau siapa penghuni kamar tersebut.
"Lihatlah!" seru Tante Rena, menunjuk seorang laki-laki yang terbaring tidak sadarkan diri sejak tadi malam.
"Dia siapa?" tanya Riana.
"Namanya Diego, penyelamat kita. Laki-laki yang mengeluarkan kita dari kobaran api," jelas Tante Rena.
"Apa? Jadi, dia ... "
"Iya, dia yang menggendongmu keluar tadi malam. Masih belum sadar sampai sekarang." Tambahnya.
Sejak hari itu, Riana dan Tante Rena tinggal di rumah Diego. Selain tidak punya tempat tinggal, juga untuk merawat luka bakar yang Diego alami saat menyelamatkan mereka berdua.
Rumah itu cukup sederhana, tapi terbilang besar dan mewah untuk seorang laki-laki yang tinggal sendiri.
Beberapa hari tinggal di sana, tanpa sengaja Riana melihat berita di televisi. Alvin Ravendra, putra sulung dari pengusaha terkaya di kota mereka akan bertunangan dengan putri Walikota.
Pyaarrr.
Gelas berisi teh panas yang dibawa Riana terlepas dari genggaman.
"Astaga, Riana. Kamu ngga apa-apa?" tanya Diego, yang kebetulan saat itu dialah pelaku yang menonton berita tersebut.
"Sshh, awww," rintih Riana. Teh panas yang terjatuh, mencipratkan airnya pada kaki Riana.
"Riana, apa yang terjadi?" tanya Tante Rena berlari dari arah dapur.
Beliau sama terkejutnya dengan sang keponakan. Televisi itu masih menampilkan berita tentang Alvin yang akan bertunangan.
"Alvin," gumamnya.
"Riana, mana yang sakit? Coba Tante lihat." Beliau langsung menghampiri Riana, mengajaknya ke kamar dengan alasan mengobati luka yang terkena air panas.
"Alvin, Tante. Dia ... "
Riana tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Satu-satunya orang yang dia harapkan akan memperjuangkan cinta mereka, justru mengumumkan kabar pertunangannya dengan wanita lain.
"Gimana nasib bayi ini, Tante?" isaknya.
"Gimana aku harus membesarkannya seorang diri? Alvin, aku harus memberitahu dia tentang bayi ini," tekad Riana.
"Tunggu, Ri. Kamu jangan gegabah, pikirkan apa yang akan mereka perbuat kalau sampai mereka tau tentang kehamilan kamu," cegah Tante Rena.
"Jadi, tante juga melarang hubungan kami? Meskipun kami ngga bisa bersatu, tapi bayi ini ngga bersalah tante. Alvin dan keluarganya juga harus tau." Dengan tekad yang kuat, Riana berjalan keluar dari rumah Diego. Si pemilik rumah sempat memanggilnya, tapi Riana sama sekali tidak mempedulikannya.
Sedikit lagi, Riana akan sampai di kediaman Ravendra. Rumah megah itu, kini dijaga ketat oleh beberapa pengawal.
"Mmmmhhh, mmmhhh." Seseorang membekap mulut Riana, tepat saat dia akan memasuki gerbang rumah Alvin.
"Ssstt, ini aku." Suara laki-laki terdengar tidak asing.
Saat Riana tidak lagi memberontak, laki-laki itu melepaskan tangannya.
"Alan," seru Riana.
"Iya, ini aku, Alan. Kamu ngapain di sini?" tanyanya.
Alan membawa Riana menjauhi kediaman Ravendra. Kebetulan dia baru saja pulang kuliah, lalu melihat kekasih kakaknya ada di depan rumah.
"Jawab jujur, apa Alvin akan menikah dengan putri Walikota?" tanya Riana.
Meski Alan tidak mau melihat Riana sedih dan kecewa, tapi, cepat atau lambat dia harus mengetahui kenyataan ini.
"Iya," jawab Alan.
"Alvin tau apa yang terjadi padaku?" tanya Riana pada Alan.
"Iya, Kak Alvin melihat sendiri kobaran api melahap habis rumah orang tuamu," jawab Alan.
"Terus kenapa sekarang dia malah mau menikahi putri Walikota?" protes Riana.
"Riana, dengarkan aku baik-baik. Kak Alvin senang saat mengetahui bahwa kalian masih hidup, tapi, dia tidak bisa melakukan apa pun. Apa kamu tau, kenapa rumah orang tuamu bisa terbakar?" tanya Alan. Riana membalas pertanyaannya itu dengan gelengan kepala.
"Karena ada orang yang sengaja melakukannya. Mendapat perintah untuk membakar habis rumah orang tuamu," terang Alan.
"Siapa? Siapa yang memberikan perintah seperti itu? Apa salahku kepadanya?" tanya Riana, mengguncang tubuh Alan.
"Ayah dan ibuku." Jujur Alan.
"Apa? Mereka ... ?"
"Ya, mereka bisa melakukan hal apa pun. Itu sebabnya Kak Alvin langsung kembali setelah mengetahui mereka pergi ke rumah orang tuamu," jelas Alan.
"Baik, Alvin sudah menyerah untuk memperjuangkan cinta kami. Jangan salahkan aku kalau dia akan menyesal di kemudian hari," ancam Riana.
Setelah hari itu, Riana memutuskan untuk melupakan Alvin.
Ketika salah satu dari dua orang yang saling mencintai mulai menyerah, maka tidak ada lagi yang bisa diperjuangkan.
bersambung...