"Riana, ini sudah siang. Kenapa tirainya belum di-"
"Apa ini? Kaca jendelanya pecah?"
Riana berjalan masuk menghampiri sang tante. Riana tidak ingin masalah kaca pecah terlalu dibesar-besarkan.
Yang ingin Riana fokuskan adalah Roger. Mencari keberadaannya adalah hal yang paling penting untuk saat ini.
Sedangkan mengenai Alvin, Riana sudah melaporkannya pada polisi. Semoga saja segera mendapat kabar baik.
"Tan, biarin ini dulu. Nanti aku suruh orang buat perbaiki. Sekarang kita harus terus nyari Roger," ujarnya.
"Mau nyari Roger di mana? Kita bahkan ngga tau posisinya di mana, kan? Lagipula, bukannya dia lagi sama kakek neneknya, ya?" balas sang tante.
"Tapi, Tante-"
"Udah, kamu tenang ya, duduk dulu. Tante bawa makanan buat kamu, sarapan dulu ya. Tante tau kamu pasti belum makan apa-apa." Tambahnya, meminta Riana duduk di sofa.
Tante Rena meletakkan makanan yang dibawanya ke dalam piring. Lalu memberikan makanan tersebut pada Riana.
"Ini, sarapan dulu"
"Tapi, Tan-"
"Seenggaknya perutmu terisi sedikit makanan. Biar kuat, katanya mau nyari Roger," bujuk Tante Rena.
Riana mengangguk, lalu mengambil piring berisi makanan yang disodorkan oleh tantenya. "Iya. Makasih, Tante," ucapnya.
Orang bilang ... berpisah dari buah hati yang kita sayangi, jangankan untuk tidur, untuk menelan makanan pun kita tidak sanggup.
Kali ini, Riana harus menepis semua anggapan tersebut. Justru demi bisa bertemu lagi dengan sang buah hati, kita harus punya banyak kekuatan dan stamina yang kuat.
Karena dengan begitu, besar kemungkinan kembali bertemu pasti datang memihak. Itulah yang Riana coba tanamkan dalam pikirannya saat ini.
"Habiskan, biar tante yang minta orang buat perbaiki kacanya." Tante Rena turun ke lobi apartemen, meminta pihak apartemen untuk memperbaiki kaca jendela yang pecah.
..
"Alan, ada apa?" Riana janji bertemu Alan di lobi apartemen.
Sesaat Tante Rena pergi, Riana mendapat telfon dari Alan. Dia meminta bertemu, karena ada hal penting yang ingin dia tanyakan.
"Aku baru sadar. Kenapa setelah Kak Alvin telfon kemarin pagi, dia ngga telfon lagi. Awalnya aku pikir karena kamu udah telfon makanya Kak Alvin ngga hubungi aku, tapi-"
"Tapi apa, Lan? Apa yang ingin kamu katakan sebenernya?" tanya Riana mendesak. Perkataan menggantung Alan membuatnya khawatir, apa lagi hal yang Alan bicarakan mengenai Alvin.
"Semalam aku coba hubungi nomornya. Beberapa kali panggilan ngga dijawab, lalu saat panggilan terakhir ... aku denger suara, su-"
"Suara? Suara siapa yang kamu denger? Itu nomor Alvin, kan? Terus siapa yang jawab?" Riana bangun dari posisi duduk. Khawatir, cemas, penasaran, takut, semua menjadi satu.
"Alan?" panggil Riana cukup keras.
"Aku denger suara ... " Alvin kembali menggantung kalimatnya. Meski hanya sekilas, tapi ada hal negatif yang muncul dalam benak. "Suara siapa, Alan?" sentak Riana.
"Suara wanita," jawab Alan.
"Wa-wanita? A-apa ... apa maksud kamu, Alan?"
Alan tampak menarik napas pelan juga menghembuskannya perlahan. "Aku mau tanya sesuatu dulu. Ke mana kalian pergi kemarin?"
"Kemarin? Kami ke rumahmu untuk menemui Roger, tapi dia ngga ada di sana. Waktu Alvin telfon, kamu bilang Roger pergi bareng kakek neneknya - orang tua kamu. Terus kami pergi belanja di minimarket dekat rumah kalian-"
Sementara Riana menceritakan hal apa saja yang terjadi kemarin, Tante Rena sudah selesai dengan urusannya.
"Riana, Alan," sapanya, saat berada di lobi.
"Tante," ucap Riana dan Alan hampir bersamaan.
Tante Rena ikut duduk di samping Riana. Suasana di sana terasa begitu tegang. Apa yang terjadi? pikirnya.
"Jadi, Kak Alvin dibawa orang tak dikenal, setelah kalian kembali ke rumah papaku?" tanya Alan, memperjelas situasi.
Riana mengangguk. "Alvin," gumam Tante Rena. "O iya, tante nemuin ini tadi," ucapnya mengeluarkan sebuah kertas dari saku celana.
Itu surat kaleng yang Riana terima pagi ini. Kenapa ada di tangan Tante Rena? Surat itu sudah dibuang Riana, apa jangan-jangan.
"Tadi tante liat ada di tempat sampah," jelasnya.
Ternyata seperti itu. Alan membuka kertas ancaman yang sudah diremas-remas. "Jangan cari Roger, atau Alvin dalam bahaya." lirihnya.
"Apa ini? Ada orang yang mengancam kamu?" tanya Alan pada Riana.
Riana mengangguk. "Itu surat kaleng yang kuterima pagi ini," terangnya.
"Surat kaleng itu yang mecahin kaca jendela apartemen Alvin. Bukan cuma itu, tadi di depan pintu juga ada tulisan ancaman. Isinya sama, Riana dilarang mencari keberadaan Roger." Tambah Tante Rena.
Alan terlihat kesal, kertas yang baru saja dibaca diremasnya begitu kuat. "Aku harus cari mereka," ujarnya, bangkit dari duduk.
"Tunggu." Cegah Riana.
"Siapa yang kamu maksud?" tanyanya.
"Apa kamu tau ... siapa dalang dibalik ini semua?" Tambahnya.
"Aku belum tau pasti, tapi aku akan mencari tau," jawab Alan.
Tante Rena memberikan kode pada Riana untuk mengikuti Alan. Karena dia pasti tau siapa pelaku sebenarnya.
"Eh, tunggu-tunggu." Riana mengejar Alan.
"Aku ikut," pintanya.
Alan menghentikan langkah, menatap wanita yang berdiri di sampingnya lekat-lekat. "Enggak usah, biar aku aja yang urus ini semua," tolaknya.
"Lan." Riana berdiri di depan laki-laki itu. Mencegah kakinya kembali melangkah.
"Pliss, semua ini menyangkut Roger dan Alvin. Aku ngga bisa diem aja menunggu di sini," ucapnya, memohon.
Alan berfikir sejenak, sebelum menyetujui permohonan Riana. "Oke, kamu boleh ikut," balasnya.
Riana pergi bersama Alan dan meninggalkan sang tante di sana. Entah ke mana Alan akan mulai mencari Alvin, semoga saja tebakannya salah.
Mobil melaju di jalanan kota yang cukup padat. Mulai weekend, semua orang pasti berbondong-bondong mencari tempat untuk berlibur.
Riana memperhatikan sekitar, jalanan begitu padat saat menjelang siang. Alan harus mencari cara untuk keluar dari sana.
"Kita turun di sini," ajaknya.
"Apa? Turun? Terus gimana kita cari mereka?"
"Kita ngga mungkin terus di sini, akan butuh waktu untuk keluar menggunakan mobil. Kamu tunggu di sini sebentar." Alan meninggalkan Riana di depan warung kecil pinggir jalan.
Beberapa menit kemudian, Alan kembali dengan mengendarai sepeda motor. "Riana, ayo naik," pintanya. Memberikan helm pada Riana.
Sepeda motor yang Alan kendarai melesat dengan kecepatan sedang. Alan tidak mau mempercepat lajunya dengan Riana di belakang.
"Alan, cepetan dikit dong. Kalo gini terus, kapan sampenya." Protes Riana, menepuk bahu si pengemudi.
"Jangan cepat-cepat, yang penting selamat dan sampe tujuan," balas Alan, setengah menengok ke belakang agar Riana bisa mendengar suaranya.
"Tapi kalo jalannya kayak gini, bisa sore kita nyampenya"
"Aku takut kamu jatuh," timpal Alan.
"Ngga akan. Aku pegangan kok," ucap Riana, setengah teriak.
Alan menyetujui permintaan Riana untuk mempercepat laju sepeda motornya. 15 menit kemudian, keduanya sampai di depan sebuah rumah yang cukup mewah.
"Ini ... rumah siapa?" tanya Riana.
"Kamu akan tau setelah kita masuk."
next...